Rabu, 28 Maret 2012

PHINISI DI SAMUDERA HIDUP


Malam ini, sangat dingin, tubuhku telah kaku dengan suarau detak detik yang menertawai tentang gejolak batin yang semakin sekarat dan tak mampu bertahan sebab telah karam. Suara nyamuk, jangkrik tetap menghibur suasana batin yang kian lama tak kunjung surut.
Kretek dijemari hampir pupus tak terisap, bir dan gelas sebentar diteguk perlahan-lahan untuk menenangkan jiwa yang semakin meronta karena ketidakadilan. Sukma memberontak menggugat untuk mendapatkan haknya. Jarum jam menunjukkan setengah tiga, mata enggan tertutup padahal Rian berharap bir itu dapat membuatnya untuk terlelap tapi tetap saja mata mengalahkan hasrat Rian untuk terpulas.
Badan lemas tak memiliki kekuatan apapun yang ada hanya untuk melepaskan keletihan. Tanpa Rian sadari, mata yang terpejam tiba-tiba menjatuhkan butiran-butiran Kristal pada pipinya, walau ia telah berupaya untuk menahannya tapi tetap saja jatuh. Jika Rian kembali mengingat kalimat yang terlontar bahwa Maya memiliki warkat untuk berpisah, sementara Maya adalah sosok perempuan yang nyaris sempurna namun di balik itu adalah ego yang menghalanginya untuk lebih jauh meniti kehidupan bersama Rian.
“Rian, Aku tak mampu menjalani semuanya, sebab gejolak kalbuku berbeda dengan apa yang kita realitaskan, untuk apa lagi aku bersandiwara, mempermainkanmu dalam ketidakberdayaan, menginjak hakmu untuk memiliki jiwa ragaku tanpa batas. Sementara aku masih menyayangi lelaki yang pernah hadir dalam hidupku. Rian maafkan Aku, keramahan, kebaikan dan kesetiaanmu membuat aku untuk tidak melanjutkan sandiwara yang kita perankan sebagai kekasih dan menjadikan Aku sebagai perempuan dalam hidupmu”.
Kalimat ini tepat berada pada gendang telinga dalam intonasi yang jelas dan kompleks. Kalimat ini pula meremukkan tulang belulangku dengan tak ada lagi kata yang terlontar dari mulut Rian. Tetapi May…. Masih dalam ketidakpastian. Ketika dimaknai risalah romantisme mereka ternyata terlalu penuh nestapa yang urgen dan sangat krusial walau tanpa argument yang eksplisit.
“May…..engkau perempuan yang mengubah eksistensi masa laluku, engkau pengharapan yang tak surut, engkau mengubah, mengembalikkan, dan mengangkatku dalam injury time kehidupan tapi engkau pula yang tak menginginkan aku untuk menjadi Iman dari anak-anak kita dan engkau tak ingin menjadi makmunku. Hampir beberapa windu Rian mencari jawaban, mengapa May….ingin mengubah atensinya ending begitu saja”
“Rian.., maafkan Aku, Aku lebih memilih egoku daripada memilih untuk mengecewakanmu karena aku tak ingin engkau menderita”.
“May…..terkadang aku membuka pesan masuk pada ponselku, kudapati tertulis a’ja dipin’rai pa’pojinna ati’ta lao ri’aleku saba de’kuullei leppe ko ridi, idi’mi bawang pa’pojingnna atik’ku, canring’ku elo kupancaji imang ana-ana’ku. Romantis sekali May kalimat ini, tapi kalimat itu dulu ketika engkau merasakan apa yang kurasakan”.
“Rian, Manusia bisa saja berubah, kenapa aku tidak, walau air matamu habis Aku tetap memilih untuk tidak menjadikanmu iman dari anak-anakku dan tak akan kuizinkan engkau mengimaniku sebab tekadku telah bulat untuk mengakhiri semua narasi yang tak pantas dilanjutkan ini”.
Rian yang dilanda galau tak mampu berpijak sendiri, ke mana lagi ia akan bertumpu sebab bir yang ada dihadapnnya telah habis namun matanya enggan meninggalkan bintang yang indah.
Brum…brum…..brummm…., suara motor milik Rian berlalu dengan gesit tanpa ia sadar ternyata alkohol berbaur pada darahnya. Angin berhembus sangat nikmat menelan sedikit rasa kecewa. Laju motor mencapai kesempurnaan, jarum kilometer menunjukkan 120 Km/jam. Walau sebenarnya motor itu tak mampu menujukkan jarum 120 namun akan turun ke arena balap maka ia kerja mesinnya untuk balapan di Pinrang.
Laju motor itu berhenti tepat di depan rumah Aswar, dengan berjalan sempoyongan ia menghampiri dan mengetuk pintu rumah Aswar, Aswar yang mengucek matanya membuka pintu dan menemui Rian. Ternyata bau mulut Rian beraroma alcohol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar