Rabu, 12 Februari 2014

TOAKALA

Sore itu, langit agak mendung, sosok laki-laki duduk di depan pondoknya, 
bermain kecapi bersama alam  bernyanyi.

Suara riuh menderu memasuki relung kalbu Toakala, di balai depan pondoknya di Simbang Bantimurung, sambil memetik kecapi, pikirannya melayang, mengingat bayang wanita bernama Bissudaeng, seorang gadis yang ayu, perempuan yang menjadi rebutan para lelaki di kerajaan Simbang
Tak henti-hentinya ia menyelam ke dalam lamunannya, menjadikan ia semakin tak kuasa membendung perasaannya yang hampir tiap detik, menit, siang bahkan malam ia resah oleh tarian-tarian Bissudaeng yang ada pada pelupuk matanya.
“Oh.... Bissudaeng.....oh....Bissudaeng, kapan kita dapat bertemu?” lirihnya dalam hati.
Kecapi yang setia menemaninya, ia petik sambil menyanyikan lagu kesayangannya, untuk penghibur hatinya yang sedang galau. Tengah malam, tepat pukul 23.50, purnama tepat dihadapnya, ia membayangkan bayang wajah Bissudaeng pada purnama itu. Lamunannya tiba-tiba buyar dengan suara gemuruh...ia memalingkan wajahnya, Toakala mencari suara itu.
“Suara apa itu...?’ lirihnya dalam hati
Rasa penasaran melandanya sama halnya ketia ia mulai mencari nama Bissudaeng dalam hatinya.. suara gemuruh itu hampir sama, keraguannya mulai memuncak, ia mendekati suara itu...Toakala mulai menunjukkan sikap yang tidak seharusnya. Ia berkonsentrasi ingin mengetahui suara apa gerangan, kicauan jangkrik mulai memudar.
Benti merrung....iya ...Benti merrung (Benti:Air, Merrung: Suara)”
Toakala mulai berjalan menuju suara gemuruh yang ia sebut dengan benti merrung itu, medan yang terjal, semakin dekat, suara gemuruh itu perlahan-lahan menjadi jelas. Hari mulai pagi, namun Toakala belum jua menemukan suara air itu, namun semakin jelas suara itu ditelinganya, kokokan ayam satu per satu telah berbunyi, Toakala bersandar pada pohon di kaki bukit, kelelahanya ia lampiaskan terlebih dahulu kemudian melanjutkan perjalanannya, sinar matahari menyelusup masuk ke matanya hingga ia terbangun.
Rasa penasaran masih membayangi pikirannya, seperti apa Benti merrung itu, rasa lelahnya perlahan menghilang kemudian ia kembali melompat, berlari, berjalan tergopoh-gopoh, sambil nafasnya terengah-engah tetap ia berjalan menyusuri hutan, sungai, pepohonan, rerumputan, ia berjalan menyusuri lereng-lereng gunung.
Semakin dekat suara gemuruh itu, semakin membuat Toakala bersemangat untuk melihat air terjun tersebut, seperti apa keindahannya, seperti apa modelnya, bagaimana keadaan tempat tersebut, Toakalah terus berlari, hingga ia mendengar suara orang tertawa riang sambil memainkan percik-percik air, rasa penasaran, siapakah gerangan, semakin ia mendekat, suara orang tersebut semakin jelas.
“Aku pernah mendengar suara itu, tapi di mana...?” pikiran Toakala melayang, hati kecil Toakala bertanya-tanya, suara itu...suara perempuan...ya... suara perempuan, tapi siapa? Pikiran Toakala melayang-layang, ia menyusuri lorong-lorong kecil dibenaknya, Aku ingat...suara itu, Bissudaeng...iya ....gadis belia nan cantik itu....Tapi, Aku tak boleh melihat ia mandi, biarkan Bissudaeng mandi dulu baru Aku mendekatinya....”pikirnya
Kegirangan dalam hati Toakala karena bertemu dengan gadis yang ia dambakan, perempuan yang tercantik di kerajaan Simbang, seorang putri yang dipuja oleh banyak lelaki. Namun, Toakala berpikir sejenak, mana mungkin seorang Toakala akan mempersunting putri cantik itu, badannya ditumbuhi bulu-bulu lebat, dan tinggal di hutan, pasti ia akan heran melihatku kalau ia bertemu denganku.
Nyali Toakala kemudian menjadi ciut, ia tak berani menampakkan diri dihadapan Bissudaeng, jika disandingkan dengan dirinya pasti Bissudaeng tak akan mungkin memilih Toakala, semangat yang membara dalam dirinya kini padam sebelum ia melihat kemegahan lukisan Ilahi, dan bertemu dengan pujaan hatinya.
“Toakala....tetaplah bersemangat, pasti suatu saat ia akan bertemu dan melihatmu” suara ini berasal dari palung hatinya.
Dua jam, ia menuggu, matahari telah menampakkan diri, suara gadis-gadis itu pun semakin menghilang, perlahan-lahan Toakala merangkak, mendaki gunung untuk melihat jelas suara air terjun tersebut. Alangkah herannya Toakala melihat air terjun itu, sampai matanya tak berkedip, sungguh luar biasa katanya dalam hati. Ia duduk sambil menikmati air terjun tersebut, ia kemudian mendekati air terjun dan mandi, suatu kesegaran dalam tubuh Toakala.
Hampir tiga jam ia memanjakan tubuhnya di air terjun tersebut, sambil bermain sendiri, kupu-kupu beterbangan sebagai teman di dekat air terjun tersebut. Tiba-tiba selendang biru yang dibawa arus mendekatinya, pas dikakinya selendang itu berhenti, Toakala mengambil selendang itu dan berpikir mungkin ini selendang Bissudaeng, wanita pujaan hatinya.
Segera Toakala menyusul rombongan dari kerajaan Simbang tersebut. Namun, ia tak menjumpainya, hingga ia berada di hadapan kerajaan tapi tak bisa masuk, karena penjaga terlalu ketat, walau hajat Toakala amat ingin bersua dengan pujaan hatinya dan memberikan selendang tersebut namun, tak apa daya ia mesti memendam hasratnya tersebut.
Dengan rasa kecewa ia pulang ke pondoknya, dengan wajah murung, pikiran melayang ia menyusuri jejak-jejak setapak pinggir gunung, hingga sampailah ia kepondoknya, ia langsung mengambil kecapi dan memainkan kecapinya dengan rasa sendu di balik dadanya. Selendang biru yang ia dapat tadi sore di dekat air terjun, ia ikat dikecapinya dengan harapan ia tetap bersama dengan pujannya walau wujud eksistensinya tak tampak di depannya.
Dua hari berlalu, tak ada kabar, sahabat Toakala bernama La Beddu menjumpai Toakala dipondoknya, La Beddu khawatir jika Toakala menjadi sakit, karena suara kecapi tak pernah lagi terdengar, biasanya Toakala memainkan kecapinya pada saat sesudah sholat subuh atau pada saat senja.

“Toakala...ada apa gerangan denganmu?” kata La Beddu.
Toakala hanya diam, sambil memandang selendang biru yang ia ikat pada kecapinya. Seakan memberikan semiotik bahwa ia telah menemukan selendang miliki pujaan hatinya. La Beddu hanya mengamati sikap dari Toakala dan ikut menatap selendang tersebut.
“Toakala..bagus benar selendang itu, punya siapa, dan di mana kau membelinya?
“La Beddu, itu miliki Bissudaeng, Aku temukan ketika kudengar suara air di balik gunung itu”
“Toakala, sungguh cantik, pantas kau menatapnya terus, dan pantas petikan kecapimu tak pernah Aku dengar, ternyata kau telah jatuh hati pada Bissudaeng”
“Apa katamu? Toakala heran sambil memandang La Beddu
“iya...kamu jatuh cinta saudaraku”
“Tak mungkin La Beddu....tak mungkin....”
“Saudaraku, apanya yang tak mungkin...?”
“Kamu liat Aku, aku hanya orang biasa La Beddu...orang yang penuh dengan bulu, orang pinggiran semacam Aku tak mungkin berada di kerajaan saudaraku”
“Toakala...kemarin Aku mendengar bahwa, Kerajaan Simbang akan menggelar sayembara lomba kecapi, ikutlah saudaraku karena potensimu untuk memetik kecapi sangat luar biasa, konon katanya Putri kerajaan atau Bissudaeng lagi bersedih karena kehilangan barang sangat berharga dalam hidupnya”
“Betulkah, perkataanmu itu saudaraku....?”
“Iya...saudaraku, besok...jam 08.00 pagi, pendaftaran sekaligus pembukaannya”
“Kalau begitu, tolong temani Aku La Beddu ke kerajaan besok”
Spirit Toakala kembali memuncak, ia kemudian memainkan kecapinya dan larut dalam petikan-petikan kecapinya.
*****
Usai sholat subuh, La Beddu dan Toakala berangkat menuju ke Kerajaan, Ia berjalan kaki sejauh 10 Kilometer dengan berharap bahwa ia akan datang tepat waktu, kecapi yang dihiasi selendang biru yang terbuat dari sutra tersebut menjadi hiasan pada kecapinya dan ia bungkus dengan daun Lontar
Tepat dihadapan kerajaan, masyarakat Simbang telah memadati pintu masuk kerajaan, para penjaga memeriksa satu per satu pengunjung yang ingin menikmati sayembara tersebut, ternyata sayembara ini bukan hanya diikuti dengan oleh masyarakat Simbang tetapi juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan lain karena konon katanya bahwa barang siapa yang dapat membuat putri kerajaan tersenyum maka ia akan dijadikan sebagai pendamping putri tersebut.
Toakala dan La Beddu, akhirnya mendaftar pada sayembara tersebut, kecapinya ia bungkus agar tak nampak, ia gemgam terus sampai pada dihadapan ruang khusus di rumah panggung atau di kediaman raja Simbang.
“Hadirin yang saya hormati, bahwa hari ini, Raja Simbang mengadakan sayembara kecapi agar putri beliau yaitu Bissudaeng dapat tersenyum, karena sejak Bissudaeng pulang dari mandi yaitu di air terjun, wajahnya murung. Mungkin ada diantara saudara-saudara yang akan membuatnya tersenyum lagi”
“Baiklah hadirin sekalian, penampilan pertama, petikan kecapi dari kerajaan Cenrana, suara alunann musik kecapi dari putra mahkota kerajaan Cenrana tak mampu membuat tersenyum Bissudaeng hingga penampilan dari putra mahkota raja kerajaan Lau dan akhirnya penampilan terakhir adalah Toakala, masyarakat Simbang kaget dan heran, mereka bertanya-tanya dari mana Toakala, ia berasal dari kerajaan mana, mengapa ia menjadi peserta dari sayembara ini”
Toakala naik kepanggung, dan mengeluarkan kecapi yang ia bungkus dari daun lontar, Bissudaeng dengan kondisi tak bersemangat perlahan-lahan membuka bibir pas ketika ia melihat selendang biru yang terikat pada kecapi Toakala, lantunan musik petikan kecapi Toakala menjadi hangat di hati Bissudaeng, sementara Raja Simbang pun menikmati lantunan musik kecapi itu, Raja Simbang tak pernah mendengar seindah petikan kecapi dari Toakala. Bissudaeng yang duduk kemudian berdiri mendekati Toakala, namun Toakala tetap memainkan kecapinya dengan penuh hikmat, sesekali ia berdiri, duduk di tangga panggung, dan mendekati masyarakat yang telah menikmati petikan kecapinya seakan tersihir oleh kecapi.
Suara riak dari penonton tiba-tiba hening, mata mereka melotot, badan mereka menari-nari seperti terkena sihir. Dua puluh menit waktu yang diberikan Toakala untuk memetikkan kecapinya ia selesaikan dengan baik, susara sorak tepuk tangan menghiasi sayembara tersebut. Bissudaeng mendekati Toakala, dan membawanya ke atas rumah panggung Raja Simbang.
“Toakala..sudah lama saya menanti, orang yang membawa selendang biru tersebut, selendang pemberian dari Ibunda, Puang Bani”.  
 “Maafkan Aku puang....waktu itu Aku temukan di dekat Air terjun, sudah Aku upayakan untuk  mengembalikan akan tetapi senja telah nampak dan pintu gerbang kerajaan sudah tertutup akhirnya Aku membawanya ke pondokku”
“Naiklah...Toakala”
“Hadirin sekalian, inilah sang Juara kita, ia berasal dari sebelah gunung sana, ia adalah anak muda yang memiliki bakat alami, memainkan musik kecapi yang sangat indah, Ia adalah raja dari salah satu hutan menurutnya , mari kita tepuk tangan..puk...puk....pukk....”
Toakala yang tak pernah menyangka akan memenangkan sayembara ini, tersenyum, dalam dadanya cuma ingin bertemu dengan Bissudaeng...yah Bissudaeng, wanita yang ayu...cantik jelita...tak ada yang menandingi kecantikan di Kerajaan Simbang ini.
Raja Simbang sesungguhnya tak sudi menjadikan Toakala sebagai Putra Mahkota, karena tubuhnya dipenuhi dengan bulu, maka dengan sigap iya memanggil pengawal dan menyuruhnya untuk menuruti satu permintaan sang raja yaitu membendung air yang mengalir deras di gunung dekat kerajaan dengan waktu semalam.
Suatu hal yang mustahil bagi Toakala membendung air terjun Gunung Saraung, apalagi dengan waktu yang diberikan hanya semalam. Bissudaeng mencoba untuk membujuk raja, namun raja simbang telah mengeluarkan kalimat itu maka secara otomatis ia tetap tidak akan menarik perkataannya, Bissudaeng tahu persis tabiat ayahandanya, Raja Simbang.
“Toakala....Aku tahu pasti kamu bisa membendung air terjun itu...”
“Bissudaeng....jika purnama kamu minta, maka akan Aku kabulkan, dan Aku yakin bahwa sukmaku telah menyatu dalam dirimu seperti itu pula sukmamu telah terpatri dalam darahku”
Toakala berlalu, menyusuri lorong menuju gunung Saraung, sebelum matahari tenggelam di ufuk barat ia mesti berada di air terjun tersebut. Bissudaeng hanya bisa menangis, dan berdiam diri dikamarnya karena permintaan Raja Simbang yang mesti terkabulkan untuk menyatukan mereka.
Matahari telah tenggelam, suara jangkrik telah menghiasi perjalanan Toakala, beberapa kera mengikutinya, kunang-kunang dan kupu-kupu juga turut menemani Toakala, mengikuti jejak Toakala, akhirnya ia telah sampai di air terjun tersebut.
Ada ratusan kera putih di dekat air terjun tersebut, seakan ia mengatakan Toakala, kami datang untuk membantumu, mari kita bekerja sebelum fajar berada pada peraduannya dan menggantikan malam menjadi pagi, menggantikan hari ini menjadi esok.
Satu per satu batu-batu diangkat oleh Toakala, yang dibantu oleh ratusan kera, mulai dari batu yang kecil hingga yang besar ia susun untuk membendung air terjun tersebut. Sudah hampir setengah tiga namun pekerjaan ini belum usai. Masih setengahnya sementara waktu makin sempit.
“Wahai pasukan kera...kuatkan kembali kekuatan kita, dan bantu Aku untuk membendung air terjun ini karena waktu kita semakin sempit”
Kera-kera mempercepat proses pembendungan, waktu semakin cepat berlalu tak sadar bahwa kokokan ayam sudah mulai terdengar satu per satu. Toakala......lembayung fajar telah nampak, matapagi mulai bersinar, Toakala, tak mampu membuat membendung air terjun tersebut. Suara bergelagar dari langit, petir menyambar-nyabar tak hentinya kera berjingkrak-jingkak tak karuan seakan membahasakan Toakala maafkan kami, kami telah mengerahkan kemampuan kami untuk membantumu namun apa daya waktunya telah sampai dan kita tak dapat membuat bendungan air terjun ini.
Toakala hanya dapat diam, matanya mengeluarkan kristal-kristal membanjiri pipinya yang berbulu lebat, kakinya menggigil, dan badanya kaku, ia bergegas melompat namun surata nasibnya berkata lain, keinginannya tak dapat terpenuhi dengan mempersunting Bissudaeng, kakinya perlahan-lahan menjadi batu sampai ia seluruh menjadi batu dengan gaya mengangkat batu di atas kepalanya.
Dan kini semua tubuhnya menjadi batu, suara petir perlahan-lahan mulai menghilang, awan pekat kembali menjadi terang, hujan yang turun kini menjadi reda, kupu-kupu mulai menghampirinya, suara air terjun jatuh berderai tak bisa dibendung, Bissudaeng yang telah mendapat kabar bahwa Toakala menjadi batu karena permintaan ayahnya sang raja tak dapat terpenuhi menjadi pendiam dan akhirnya meninggal dengan kenangan dari Toakala. Air tejun itu dinamai Benti merrung (Bantimurung) yang artinya air terjun.
****
Maros, 5 Desember 2012
Indra Anwar
Terinspirasi dari drama yang dipentaskan oleh Teater Kuman
yang distradarai oleh Husni siame
Catatan:
·         Puang ( Gelar kebangsawanan daerah Maros Sulawesi Selatan)

·         Benti Merrung (Air Terjun)