Sabtu, 10 Desember 2011

Surat buat kekasih

Suratku waktu itu
Kau telusuri kata per kata
kau maknai dan hiasi kerinduan
dari musim hujan yang tak henti
dari rintik .....
rintik....
surat jingga itu
di atas aksara
dan di bulan desember

Fiqriah Ramadana Kekasihku

Terik matahari tadi siang membuat keringat menetes, lewat senyummu kamu menawarkan untuk menyatakan kalimat biarkan aku menyapunya dengan sebuah sapu tangan berwarna putih dengan ditengahnya ada gambar kartun, cukup kau tersenyum manis. Siang itu kau cantik, manis dan aroma surgawi seakan kuhirup bersamaan dengan kau mengucapkan kalimat bahwa aku menyimpan kalimar untukmu yaitu kalbuku ingin kau sebagai penndampingku sampai ke surga.
Fiqriah seperti itulah aku memanggilmu dengan rasa sayangku kepadamu, sejak perkenalan kita waktu itu pada jejaring sosial, seakan kau menjawab segala keresahanku tentang perempuan selama ini, beberapa perempuan yang telah berlabuh jauh, adapula yang men-cut-nya, ada pula yang menyuruhku untuk berbagi bukan dengannya. sekulumit kisah yang endingnya tak asyik dibahas, sebab derai air mata akan membasahi pipi. tetapi itulah masa lalu dunia remajaku yg kadang aku pun membiarkannya tertutup oleh lembar lain dalam buku diariku.
Fiqriah..kekasihku....sejak itu pula kau mengisi kalbuku, bahagia rasanya fiq...sungguh.... kau menjadi rusuk yang telah hilang dan kau menjadi pelengkap...namun entah ada apa denganku seakan aku tak bisa mengungkapkan kalimat bahwa aku terlalu sayang padamu kala itu, jika aku mengenang kembali awal kau menyatakan rasa sayangmu juga dan kita sepakat menjadi sepasang sejoli yg kisahnya sama dengan Ali anak dari nabi Muhammad dan Aisyah. 
"Ndi....telah kusematkan rinduku padamu"
"Daeng, telah kututup rapat-rapat rindumu untukku dan rinduku untukmu"
"bersambung...........
   

Rabu, 23 November 2011

standarisasi intensif guru honorer dengan UMP

Membaca berita yang akan dimuat besok ditribun timur tentang garis kemiskinan dilihat dari penghasilan Rp 167.000/bulan membuat saya heran, ternyata selama ini saya tidak sadar bahwa gaji dari guru honorer yang diceritakan oleh teman saya, yang pernah mendapat gaji dari pendidikan gratisnya per jam Rp. 1000 ini membuat saya menarik sebuah benang merah bahwa tenaga guru honorer ternyata masuk dalam kategori miskin, bahkan lebih dan tidak menuntut kemungkinan bahwa ada yang hanya mendapatkan intensif/gaji per bulan yaitu Rp 100.000, di bawah dari standar yang ada.
Sementara disisi lain bahwa UU telah menjamin bahwa semua warga negara berhak mendapat penghidupan yang layak, lantas dimanakah realisasi dari UU ini, kalau tenaga guru honorer mendapat gaji sekian. Beberapa tahun yang lalu sebuah negara yang pernah terkena BOM yaitu Jepang, seorang pemimpin menyatakan bahwa berapakah guru yang masih hidup? maka guru tersebutlah yang membangun negara itu. berbeda dengan bagsa ini, dengan menganalisis bahwa pemberian gaji untuk tenaga guru honorer tidaklah sepadan dengan kewajiban yang mereka pikul. dengan dasar kondisi ekonomi ini pula mereka berbondong memasukkan berkas untuk database, kalau seandainya pemerintah berinisatif untuk memberikan gaji sesuai dengan upah minimun propinsi, tunjangan hari tua, dan permuahan untuk mereka, dan jaminan kesehatan maka bisa saja mereka tak akan memasukkan data untuk berharap lulus pada pendatabasean K1 dan K2. Untuk itu pemerintah berhak mengkaji permasalahan ini agar terwujudnya amanah UU tadi.

Rabu, 16 November 2011

Di Ufuk Barat Sana


Mataku tertuju pada senja di ufuk barat sana, rerumputan menyapaku dengan asyiknya dan berkata mestikah gelisah dan rindunya buatmu sementara ia telah berkelana dengan waktu yang tak berujung dengan seorang gadis yang mungkin saja akan memelihara ruang rindunya pada satu bilik hatinya bagian kanan, posisi yang strategis dan tak mungkin kau mengguggatnya dengan sebuah gelimang harta dan bahkan keperempuanmu pun tak mampu memasuki ruang itu.
Pelangi itu menawarkan warna yang indah, sejenak memberiku arti dari wacana yang menyatakan:
Andi, seddi elo kuparinggerakki, Tania doi ditiwi rewe lao puang Allah ’ta’ala”, (Bukan harta yang kita bawa mati, menghadap ke Allah SWT)”
 “Tania jabatan ditiwi lao lisu dipunna lino” (Bukan jabatan yang kita bawa menghadap ke Sang Pemilik Bumi)
Tapi iyaro ditiwi ede iyamiro ammalang.”.(Tapi, yang di bawa ke hadapan Allah SWT adalah amal jariyah ketika kita setelah meninggal.
Harta dan tahta yang selama ini ku dapati tidak membuatku bahagia, karena sang lelaki yang ku inginkan sebagai pendampingku kelak menjadi milik orang lain karena keegoanku dengan segala bentuk keduniawian, sehingga tak pernah ku lihat berapa tangis anak piatu yang telah ku sia-siakan, berapa luka hati yang telah ku torehkan dalam hati anak yatim, berapa duka yang telah ku sematkan di dada rakyat jelata sehingga aku mendapatkan gemilang harta, tapi ku sadari bukan itu ternyata membuatku bahagia, kebahagianku telah ku lelang dengan rupiah.
Terik matahari, perlahan tenggelam, rembulan pun beranjak sedetik demi detik, namun  Laila masih pada tempatnya, menatapi ruang kemahakuasaan Allah SWT, lukisan yang dilukis oleh sang pencipta tak ada yang mampu menyayangi pelukis duniawi.
Sendiri menatap ruang malam dengan cahaya lampu yang sedari tadi kerlap-kerlip dengan ditemani sebatang lilin, ku teringat dengan beberapa kalimat yang telah kulontarkan dengan gamblangnya kepada Ardi.
“Aku lebih leluasa dengan apa yang ku miliki, bahkan aku bisa menatap bumi di atas bulan, aku bisa membeli apa yang ku inginkan dan aku mampu mendapatkan apa yang kuinginkan”.
Kalimat ini pernah kulontarkan di hadapan Ardi, akan tetapi, sejak kepergian Ardi, aku merasa hidup bagaikan tak bermakna padahal aku lebih leluasa jika ingin memiliki apa yang ku inginkan tetapi aku tak mampu membeli kebahagian, aku tak mampu mendapatkannya walau secuil, laki-laki yang selalu menginginkan aku dengan impian sebagai pendamping hidupku bukan karena cinta, tetapi melaingkan karena harta yang kumiliki selama ini.
Tetas air mata membasahi pelipis hingga baju yang bermerek itu, sampai harganya bisa membuat sang anak jelata 5 bulan untuk makan, itupun sudah makan 3 kali sehari. Beberapa wejangan yang pernah dilontarkan Ardi tak pernah kuterima dengan baik, tak pernah ku analisa dengan baik hingga ia lebih memilih mundur dari kehidupanku daripada mempertahankan aku sebagai perempuan penutup masa lajangnya.
Lima bulan lalu aku masih tak pernah berpikir bahwa ia tak mungkin tak kembali karena aku perempuan yang sempurna, aku memiliki harta, kecantikan dan segalanya ku punya. Tapi setelah enam bulan penantianku, aku jenuh menunggunya hingga aku mencari tahu ke mana ia. Ke mana Ardi, karena tak pernah kudengar kabar, apalagi Ponselku enggan berbunyi dari panggilannya, Sehingga Aku memutuskn untuk mencari Ke mana Ardi sebenaranya, 2 bulan pencaharianku mencari ardi ternyata warta kudengar bahwa ia telah memilih gadis desa, dan katanya ia bahagia walau ia bekerja di sawah, dan ia berternak serta berkebun, dia meninggalkan harta dan jabatan yang pernah ia rasakan karena menurut Ardi semua itu hanya titipan dari sang pemilik bumi.
Laila yang mendengar warta itu, diam dan terpaku menatap gambar ukuran 5 R, gambar itu miliki Ardi dan Laila yang ketika itu ia berpose bersama di salah satu taman wisata alam di Maros. Sejenak ia termenung dan sambil tersenyum menatap gambar itu, tapi sesungguhnya dalam hati Laila sangat pilu dan menyakitkan karena mendengar kabar itu.
“Ardi, dulu engkau memberiku kebahagian yang tak terkira, dan kau membelaiku bukan karena Aku bergelimang kemewahan, bukan pula karena jabatan yang telah ku raih berkat motivasimu, tapi kini batinku telah terkoyak-koyakkan, itu karena diriku sendiri, Tutur Laila sembari menatap foto berukuruan 5 R tersebut”.
“Mengapa aku tak menuruti kalimat-kalimatmu waktu itu hingga aku mendapatkan kebahagianku bersamamu, mengapa aku lebih memiliki jabatan dan kekayaan yang tak bisa kutukar dengan kebahagian, Ardi aku menyesal dengan semua ini, aku sendiri Ardi, aku rindu dengamu Ardi, aku sangat menyesal, kalimat-kalimat ini terus berulang dalam hati Laila hingga ia memutuskan untuk menemui Ardi.
Esok kiranya aku akan datang menemuimu Ardi, moga saja ia masih di desa itu, desa yang terpencil dan tak cukup banyak mobil yang berlalu lalang, Setelah kusiapkan beberapa lembar baju dan peralatan yang kusiapkan tadi malam, ayam telah berkokok, ku stater mobil baleno ku, kali ini aku berangkat sendiri tanpa sopir, perusahaan hanya ku titip dengan mitra dan wakilku di kantor, aku hanya mengatakan aku akan berangkat berlibur. Sejam perjalanan di kampung itu, ku selidiki sendiri, aku bertanya kepada masyarakat di desa tersebut, yang pernah melihat Ardi atau melihatnya dengan memperlihatkan gambar Ardi kepada masyarakat di desa tersebut.
2 jam aku mencarinya di desa ini desa Bengo, namun tak jua ku dapati, azan Dzuhur berkumandang aku memarkir mobilku, dan shalat di masjid Babul Ar-Rahma, kepada siapa yang melintas di depanku aku menanyainya namun, tak ada yang mengenali Ardi.
Kulangkahkan kaki dengan sebuah harapan agar dapat melihat wajah Ardi yang terakhir kalinya sebab hanya ia yang mampu menjadi tumpuan hidupku, hanya dia Laki-laki yang memberikanku kebahagian dan kenikmatan yang tak bisa di beli dengan apa yang kumiliki sekarang.
Tiba-tiba seorang perempuan melintas di hadapanku, Aku menghentikannya sejenak dan kuperlihatkan foto Ardin perempuan itu bernama Mia.
Millau dampenga maraja, Ki dissengi tauwe iyae laleng foto?” (Maaf yang sebesar-besarnya dinda, apakah kamu mengenal laki-laki yang ada di foto ini?
Tega’e mullemuika ku ita madeceng-deceng pa sippada sedding ku isengi iyae urane’de” (Apakah Aku dapat memegangnya agar aku apat melihat dengan jelas siapa laki-laki yang anda maksudkan) kata perempuan itu.
Kebahagian Laila mendengar kata-kata yang dilontarkan dalam kalimat perempuan itu, Setetes harapan dari pencaharian Laila.
Tabe, ku itani, iyae urane’de ku sappa-sappa, engkana kasi 2 uleng sappa-sappa iyae, na aseng tau di kampongnna, iya’e urane enggai gae ko mai di kampong ede” (Ini lihatlah dengan jelas, karena lelaki itu sudah dua bulan aku cari, kabar yang aku dengar bahwa laki-laki tersebut berada di kampong) Sambil memberikan foto itu kepada Mia, gaya perempuan itu berbeda dengan Laila, Laila yang modis, HP di tangan kanan, kunci mobil di kiri.
Sementara Mia hanya memakai daster, rambut dikepang dua, dan alas kaki sandal jepit, harapan menemui Ardi telah terbuka jalannya.
Iya’e urane engkau ko romai, iyaro desa diaseng Desa Malaka Dusun La Colla” (Laki-laki itu ada di Desa Malaka, Dusun La Colla)
Menre ni ko di oto’e, nappa lokkaki di bolana ki diasengi denre, (naiklah ke Mobil dan kita menemui laki-laki tersebut di kampong yang anda tadi sebutkan)
“iye,
Gadis dan perempuan desa itu menelesuri jalan setapak, dan beberapa jalanan yang tak beraspal, yang ada hanya pengerasan dan beton serta jalan mendaki, Laila yang menyetir sangat hati-hati karena kalau tidak maka akan menabrak gunung dan jatuh ke dalam jurang.
Sesampainya di Desa itu, Laila melihat Ardi dengan memakai pakaian yang tak pernah ia lihat sebelumnya dengan seorang anak kecil yang ia gendong. Laila memarkir mobilnya pas dihadapan Ardi.
Ardi yang melihat mobil Baleno menghampirinya tiba-tiba kaget dan ia melihat siapa pemilik mobil itu dengan menghampirinya tapi sebelumnya anak yang ditimangnya ia berikan kepada istrinya.
“Ardi, sudah lama aku mencarimu, Aku tak sanggup berpisah darimu” (Sambil memeluk Ardi)
“Laila, Aku bukan Ardi yang engkau kenal lagi, Ardi yang engkau kenal dulu adalah Ardi yang mencintai Laila dengan memberikan kasih saying yang tulus tapi karena harta engkau mencampakkan aku dan kuputuskan untuk menikah di sini tanpa kuberitahu engkau karena pasti engkau akan merasakan sakit Laila, hapuslah air matamu Laila, esok pasti aka nada laki-laki yang lebih baik dariku hingga engkau menjalin kisah romantisme yang indah sampai kepelaminan kelak.”
“Ardi, lantas apakah aku mesti menyerah begitu saja, sementara penantianku telah usang dengan waktu yang memaki, Ardi, aku ingin engkau lagi seperti dahulu, yah… seperti dulu, engkau membelaiku dengan kehangatan.”
“Laila, tidak Laila, aku telah berkeluarga, ini istriku dan anakku, aku telah bahagia walau hanya hidup sederhana seperti ini, tapi itu tak dapat ditukar dengan nilai rupiah”.
Setelah Ardi menjelaskan kepada Laila bahwa Allah SWT, menggariskan yang lain maka dengan lapang dada Laila menerima kenyataan ini walau terasa pahit yang ia rasakan.
Malaka, 1 Februari 2010

Sabtu, 12 November 2011

Bandara saksi Bisu

Menyambut fajar dengan butiran kristal
ke arah timur engkau terbang bersama kenangan
ingin rasanya menitip pesan pada camar bahwa kuingin engkau tetap disisiku tapi tak mungkin
bandara terpaksa menjadi bisu menatapmu

kapan berujar untuk menitip pesan bahwa engkau pergi untuk kembali
sejak malam itu tanda perpisahan ternyata .....
sepucuk kenangan kau titip untuk menulis sejarah
kau dan impiam....
merampas hak dan realitasku
elegi di Bandara kini sekadar memory
karena waktu memfonisku untuk tak bersua

23 Mei 2010
Didekat Bantaran Sungai
Kalbumu Memanggil jiwaku

Jumat, 11 November 2011

Ku tukar isak tangisku dengan sure' pappikatu

Terpaku dalam sepi, ombak menerawang dalam riangnya ke sana kemari, tanpa beban, tanpa rasa oleng, kadang karangpun menjadi penghalang bagi ombak yang berlabuh tapi ombak itu tetap dengan pendiriannya, walau kapal dan karang tak jua menyurutkan ia untuk berenang dan mengalir dalam riangnya.
Berlalu dengan dekap yang tak henti, masa demi masa pasti berlalu, tetapi gelisah menuang dalam secarik kertas dengan tinta hitam yang tak lagi membicarakan tentang rindu, kangen apalagi berbicara tentang kita. Naif, memang ketika itu dinikmati dalam sepi apalagi mesti ditukar dengan sakit yang mendahsyat. Ingin berlari dari waktu yang kian menjebak, tapi tak mampu dengan beberapa paras wajah dengan bibir mungil itu.
Sudah beberapa warsa tak memberi coment, pegal jua jemariku memencet tombol dengan asa bahwa suatu saat nanti engkau mau membacanya apalagi menikmatinya dengan secangkir susu dan oreo, tapi itu impasibble, yah mustahil sebab telah kau tukar torabikaku dengan teh pahit dan hambar.
Detak dan getar masihkah kamu merasakannya, ketika tubuh kaku dengan sebuah harapan yang tanpa batas? Ataukah Aku mesti berlari dari fajar yang terbit lalu menyelimuti? Apalagi ketika embun menjadi padu dengan butiran kristal yang berhamburan tanpa kadar? Sulit untuk mengelak hanya nafas yang dihempaskan dan membuangnya lalu berlari di tengah kemalangan dengan takdir yang disepakati.
Ruang-ruang rindu yang terbengkalai dan telah berpenghuni, namun telaga masih kering dengan verbamu, dengan bahasa manis yang tertuang dengan kodratnya. Setelah abstain dengan pilar yang tak lagi kelam. Indah memang tapi itu subyektif bukan obyektif karena urgensial dan subtanisal air mata yang tumpah bukanlah kerinduan yang terbengkalai tapi musnahnya benang merah asmara.
Nadiku berujar masihkah riang itu berarti, sementara isak dan iba ada pada jelajah setapak pada bingkai kebun cengkeh, yang tertinggal hanya sukma di sana dan tanpa menoleh untuk menjadikannya hadiah yang berharga. Nurani yang telah beradu dengan nasib, bak laksana pada padang panjang sehingga seorang insan haus tentang wujudmu.
Inikah dibalik topeng kegalauan itu? Ataukah mesti mencari yang mana hak dan batil? Sedangkan tak ada eksistensi dari balik topeng itu. Setiap nadi yang berdenyut masih memberikan pengharapan yang sia-sia, yah pengharapan yang sia-sia dan tak pantas untuk diapresiasi pada khalayak umum, ingin rasanya ku buktikan pada dunia bahwa warkat ini mengglobal tanpa ada generalisasi, hajat yang suci memang tapi itu hanya sebongkah sampah yang telah busuk untuk dihirup.
Bram . . . . terlalu dalam makna wacana yang tersebar itu, sampai pada pelosok desa mananti mendengar kabar itu, tapi apakah kau tahu? Bahwa ia telah menjadi milik orang lain dengan hiasan lamming dan beberapa orang penjemput tamu yang memakai baju bodo dan ia telah naik dipelaminan dengan seorang pria yang berbaju seragam dan berwibawa. Tutur mbak Lena
Bram . . . kesepian dan penantianmu itu hampa, kaupun tahu hal itu sebab tak ada yang patut memikirkan laki-laki semacam kau yang nilai tukarnya tak ada, penghasilan kadang terbuang dengan sebatang kretek, hidup menjadi sepasang insan kamil itu tak mudah dengan hanya mengadalkan permata dari palung hatimu itu, karena mesti ditukar dengan kadar yang paling berharga yaitu intan dengan balutan emas yang berkilo-kilo, kaupun mesti tahu itu, sapa mbak kiky,
Lena...., kiky.... Mesti alumunium diapakan tetap ia akan menjadi almunium, Aku tahu hal tersebut, tapi Lena mestika kita menukar cinta dengan balutan intan permata dengan emas berkilo-kilo, atau paling tidak jabatan yang mapan. Aku tahu tentang apa yang seharusnya kulakukan, engkau akan mengatakan iklaskan ia sebagai rani orang lain, sebab genderang bertalu-talu telah ada pada depan rumahnya dan sarappo dengan pacar ada di tangannya. Tapi ruang rindu yang tak paham. iya, ruang kalbu yang tak paham tentang hal itu, sebab darahku telah mengalir darahnya, dan ia bagian dari sudut ruang dan bilik tawaran yang tak ending.
Sejak awal kau tawarkan tentang asamu itu kepada keakuannya, tetapi di balik itu semua dari kesadaran yang jauh lebih bijak ia memberikannya kepadamu tentang apa yang kau rasakan, impati yang tak mestinya dia berikan tetapi ia memberikannya kepadamu sebab darahmu pun mengalir dalam darahnya, tapi ini konsekuensi dari koflik yang konfrontasinya mesti diminimanilisir dengan sebuah kebijakan dan kesabaran. Sapa Mbak Dian Tapi, apakah tidak wajar jika kutorehkan gelimang harta nuraniku kepadanya dengan sosok airmata yang kuberikan, walau beberapa lamunan ada dia disana, apakah kejenuhanku tak mampu memberikan sebuah kepastian tentang apa yang mesti dilakukan. Yah, Aku memang salah dengan undur dari kehidupannya, tetapi kesempatan telah ia berikan kepadaku dengan sebuah pengorbanan bahwa esok akan lebih cerah bagi kami.
Terlalu naif, dinda ketika airmata yang mesti kau tukar dengan embun karena semua ada prosesnya. Semua ada langkah yang mesti disikapi, dan membutuhkan strategi jitu untuk menganalisis stekholdernya. Wacanamu terlalu pahit dinda, bahkan kepahitan itu membuatnya mesti jauh dari kamu.
Daeng, mestikah kuganti air laut dengan air tawar? Apakah mesti kuputar waktu agar ia tak menjadi milik orang lain dan kupinang ia dengan hanya sebuah cincin putih? Ataukah mesti kujalani dengan sebuah kepedihan. Ah.... tidak, tidak, ku tepuk dinding tembok dihadapanku dengan segala sesal yang kian mencekam.
Resahmu dan gelisah itu tak pantas lagi ditukar dengan ruang bahagia, karena perjalanan romans yang kamu lalui telah pupus dengan pinangannya, malam ini ia telah duduk di pelaminan dan tak ada yang mesti diperbuat sebab ikrar seumur hidup telah terpatri, lihat ke arah kananmu, beberapa passolo telah datang dengan restu, liat juga kegeringan yang dipancarkan dari sudut matanya yang elok, liat bibirnya yang mungil itu ia memberikan semiotik bahwa pria itulah yang pantas menjadi pendampingnya sampai pada ia ada kebahagian ataupun konflik-konflik yang tak ada pada permukaan.
Ku hirup udara dan membuangnya . . . Bram menoleh ke arah Luna, tatapan matanya memancarkan ketidakadilan dan kesembrautan, proses ini tak boleh terjadi gumamnya dalam hati tetapi suara genset terlalu besar hingga suara kalbu itu tak didengar oleh Luna,
Tubuh yang mampu bergerak dan tak bergetar, karena ia mesti menatap langsung sebuah ijab qabul yang sesungguhnya ia yang mengucapkan ijab itu. Walau perih yang dirasakan Bram ketika menerima sure pappikatu sebagai passolo bukan sebagai laki-laki yang bersama Luna di pelaminan.
Bram . . . liat pula kegeringan yang diberikan orang tua Luna, Ima dan saudara-saudaranya yang lain, meskipun pernah terlontar di desa ini namamu dan nama Ram... tapi itulah realita, realita yang mesti kamu terima dengan sebuah kesabaran.
Lena, Kiky, Ram, Ati . . . entah dengan apa kutukar kekecewaan ini kepada waktu, entah dengan apa kulelang rasa ini dengan ketidakbahagianku, ataukah Aku mesti berdiri di sini sementara jemarinya dan jemariku telah berjabat tadi.
Bram.... restu dan doa yang Luna butuhkan sebab tak ada lagi peluang dan kekuatan untuk ditembus sebab pintu telah rapat untukmu. Bahagianya membuatnya telah melupakan dirimu walau ia tahu betapa besar rasa yang kau miliki, mesti terawat pada rumah sakit akibat kecelakaan itu, mesti dirawat secara insentif akibat butir-butir kristal yang kau isap, bubuk putih yang membuatmu tenang ketika bayangnya menjelma pada ruang kamar tamunya, atau engkau tanyakan saja pedihmu itu pada botol-botol yang berisi ukiran di depannya dengan sebuah sebutan wisky, donal, bir bintang, atau apakah, yang jelasnya itu tak menyurutkannya dengan sebuah paradigma yang seharusnya ia kembali kepadamu sebab telah banyak ia ditawar dengan isak tangis akibat kelakuanmu.
Kak . . . pintu terbuka lebar untukmu dulu, ketika warkat bahwa kakak akan datang dengan sebuah harapan dari keluarga kami bahwa kakak akan menjadi b
agian dari keluarga kami, sebagai ipar kak, tapi setelah sekian lama tak ada lamaran dari kakak maka, Luna . . . berpaling dengan laki-laki yang kini menjadi suaminya malam ini, sebab warkat kakak tak ada, berita dari kakak tak ada, lantas dengan apa kami mesti menanggung rasa malu keluarga, sedangakan wacana telah tersebar bahwa akan ada sosok pria yang akan mengikat tali silaturrahim dengan keluarga besar kami.
Ima . . . kesepakatan yang telah kami buat adalah empat tahun, Luna pun tahu hal itu, kini genap empat tahun, pas ketika aku dari perantaun, menginjakkan kaki dihadapan rumahku, kabar dan sure pappikatu itu membuatku mesti berlari ke sini, sebab sosok seorang Luna telah menjadi pendamping hidup laki-laki idamannya. Kemarin di pelabuhan Aku berpikir bahwa indahnya pengembaraan ini pulang ke kampung halaman dengan dinantikan seseorang perempuan yang sampai hari ini tak ada yang menggantikannya bahwa hari kamis kakaklah yang akan langsung meminang Luna, tapi tiba-tiba dik sesampainya kakak di rumah kabar kudengar dari ibunda bahwa perempuan ayu yang pernah kau perkenalkan dengan ibu, nak, kini menjadi milik orang lain, engkau mesti ke sana, katanya.
Tapi, sesampainya disini hanya ini yang ada ditanganku Ima, yah sure pappikatu yang seharusnya didalamnya ada namaku dengan nama Luna tetapi kini hanya ada nama Luna dan laki-laki yang menjadi pendampingnya itu bukan Aku, walau pernah terpahat di hati kami bahwa tak ada yang saling berpaling. Karena darah kami telah menyatu.
Dik . . . Tuhan telah menggariskan jodoh hambanya masing-masing, kami sekeluarga telah membantumu dengan menolak beberapa orang yang melamar Luna agar engkau menjadi bagian dari kami, tetapi ini orang ketiga, laki-laki itu memang menjadi kekasih Luna ketika engkau berangkat, karena engkau tak memberi kabar.
Kak, tak ada lagi sebuah harapan yang adik banggakan, setelah dari perantauan karena studi, Aku tak mampu menjawabnya, kesibukan study akhir yang membuatku meluangkan waktu agar aku menjadi cum laude, tapi hanya beberapa bulan ini kak, aku tak memberikan kabar karena kesibukan dan penelitian yang menyita waktuku.
Dik, kakak tahu hal itu, tapi kehendak Tuhan tak bisa dilawan, manusia hanya berencana Tuhanlah yang menentukan. Iklaskan Luna keringkan airmatamu, lalu jabatlah kembali tangan Luna dan tangan bunda serta ayah, kehidupanmu akan cerah nantinya, sebab ini bukan akhir dari segalanya.
Nafasku tersendak-sendak, kutarik nafas dalam-dalam bahwa Luna telah jauh dan tak mungkin kembali sebab perahu telah karam dan tak mungkin berlayar sebab perahu itu telah bocor dengan konsekuensi yang tak logis. Makasaih kak.
Mananti, 24 September 2009

Kamis, 10 November 2011

Suatu Senja di Warkop

Di penghujung senja ini
kau memberiku warta tentang berlabuhnya dirimu
Hujan tadi kabar dan sekaligus wejangan semiotik darimu
bahwa telah kau cermati kata demi kata hatimu

senja di bantaran sungai ini
wartamu melalui musik poliponik
bahwa engkau telah berlabuh
di ujung pantai losari sebelah barat
dengan membawa kalimat-kalimat impian

Senja di Butta salewangang
Wartamu mencabik naluriku untuk berlari di hamparan laut
untuk menghetikan sekoci di Pulau Barrang Lompo
agar kata dan kalimat itu mesti kau analisa dengan bijak

pagi

Detik ini
Aku ingin melaluinya dengan kata rindu
Sejak kau merinduiku

Menit ini
Pelangi pagi menawarkan embun
ku basuh dengan matahari pagi
bahwa kau mengemaskan

Detik ini
Menit ini
rindui aku berabad-abad

Rabu, 09 November 2011

Nadia

Sudah larut malam tapi mataku belum berasa untuk tertutup, entah pemikiran apa yang ada pada benakku, lama aku membaringkan tubuhku tapi gelisah saja yang aku dapat. Suara muadzin terdengar, sudah subuh rupanya, tapi tetap mataku tak kunjung berkompromi. ku telusuri ruang-ruang yang membuat galau, kegalauan itu mengantarku pada satu ttik yaitu dibalik senyuman manismu ada keganjalan dan ada keraguan tapi entah apa. rupanya ini yang membuat nanar Ami tak mau ke bunga mimpi.
Nadia.....kemudian membalikkan tubuhnya didapati sebuah ilusi yang kerap menghantui tentang siapa wanita yang selalu tertera pada panggilan keluar handphone  Iksan. dan apa posisinya dibenak Iksan, inilah keganjalan yang membuat Nadia tak berkutip apa-apa. Lama Nadia memendam rasa penasaran ini selalu ia inging menanyakan tentang wanita itu ke Iksan tapi Nadia tak mampu mengucapkan bahasa verba dibibirnya karena takut kalau nanti Iksan tersinggung dan marah.
Masih teringat jelas di broka Nadia pada saat selesai nonton disalah satu bioskop di Makassar, Ia duduk berdua dicafe dengan Iksan, sambil meminum minuman dingin  Iksan sibuk mengotak-atik HP-nya dan memanggil nomor yang namanya  tertera Windy.
Windy....siapa wanita ini dan apa posisinya dihati Iksan, muncul pertanyaan yang ada dalam hati Nadia, dia telusuri nama Windy dibenaknya...ternyata ia temukan bahwa Windy ini adalah wanita satu instansi dengan Iksan. Iksan selalu mengantarnya karena jarak antara Windy dan Iksan tak terlalu jauh. Nadia ingat pula pada suatu tamasya Iksan mengajakku kesana karena ia ingin memperkenalkan Aku dengan rekan-rekan kantornya tapi disana ku dapati mata Iksan dan mata Windy bertemu dan sambil melempar senyum serta melambaikan tangan. Dalam hati Nadia begitu sakit tapi ia berpura-pura untuk tak terlihat cemburu.
   Kokokan ayam menandakan fajar telah terbit genap semalam Nadia tak pulas dengan pertanyaan ini. Pertanyaan yang menghantuinya. Petanyaan yang mungkin tak butuh jawaban atau juga harus dilenyapkan dalam pemikiran Nadia sebab Nadia Sadar bahwa tak pantas ia bersanding dengan Iksan apalagi bersaing dengan Windy karena Nadia tak mampu membahagiakan Iksan dengan Materi.
Suara melodi dari Hp Nadia berbunyi, sms itu dari Iksan..."Pagi adalah awal untuk memulai perjalanan mari kita sematkan pagi ini dengan mengucapkan basmalah" kalimat ini adalah kalimat yang baik tapi tidak menyenangkan hati Nadia. Iksan kalau saja kau jujur kepadaku tentang hubunganmu dengan Windy aku akan rela...iklas Iksan karena untuk kebahagianmu aku akan melepaskanmu walau aku tahu rasaku tak mungkin akan hilang karena kau pria yang baik buatku, yang dapat menjadi pemimpin bagi kaum hawa.gumam dihati Nadia.
Nadia...Nadia... suara ibu yang memanggilnya
Iya bu....
Nak....mandi sana..sebentar lagi kamu ada kuliah..
Baik bu....
Nadia bergegas mandi dan setelah sarapan ia pamit kepada ibunya untuk ke kampus walau matanya agak berat karena semalam tak tertidur, tapi ia berusaha untuk tak memberikan semiotik kepada ibunya bahwa kegalauan dalam hatinya tentang kehidupan pribadinya.
Sesampainya dikampus turun dari angkot ia melihat Iksan membonceng windy, kelihatan mesra, mereka bercanda di atas motor Iksan, hati Nadia seakan teriris sembilu ingin Nadia berteriak tapi malu karena teman-teman kampusnya telah memanggilnya. Iksan....kalau kau jujur bahwa kesetianmu telah kau gadaikan kepada Nadia aku iklas Iksan...Aku rela..demi kebahagianmu.
Pemikiran ini mengganggu konsentasri Nadia dalam menerima mata kuliah, akhirnya Nadia meminta izin kepada ketua jurusan dan penasehat akademik agar ia dapat pulang, Suara parau dan badan yang membuat Nadia letih mengharuskan penasehat akademik dan ketua jurusan mengizinkan Nadia untuk beristirahat selama ia dapat pulih.
Nadia kembali kerumahnya dengan perasaan kecewa. Sesampainya di rumah ia langsung ke kamarnya sambil memeluk guling ia tak mampu membendung kristal-kristal dipipinya yang sedari tadi ingin membasahi pipinya. Sejak itu Nadia terbaring lemas tak berdaya ditangannya terdapat infus dan gairah makan tak kunjung ada, sejak ia melihat Iksan dan Windy bersama walau Iksan pernah menjelaskan dengan sejuta retorika dan apologinya tapi hati Nadia terlanjur sakit. Ibarat gelas yang telah jatuh dan hancur tak akan mungkin sempurna walau ia ditambal dengan plaster apapun itu.
"Nak...kamu makan yah...kata ibu nadia
Nadia... tak menjawab apa-apa, pandanganya kosong, raut wajahnya kusam, badannya yang dulu bertubuh sintal sekarang telah kurus banyak teman-temanya yang datang menjenguk Nadia merasa prihatin kepadanya, tetap konsentrasi Nadia tak ada lagi untuk hidup, sekan jiwanya telah pergi sekarang sisa jasadnya.
 Kini Nadia terbaring di RS. Wahidin, kondisinya masih seperti itu, sementara ibunya telah pasrah melihat kondisi Nadia. Ia tak tahu dengan cara apalagi Nadia dapat dibangkitkan jiwanya, jiwa yang selalu periang, jiwa yang selalu merasakan kehangatan pelukan ibunya.
Sudah seminggu Nadia terbaring lemas, tak satupun kata yang keluar dari Nadia, dia bagaikan robot yang kehilangan remote control. Siang itu suara muadzin terdengar. Ibu nadia menunaikan sholat sambil berdoa memohon kepada Sang Maha pencipta dengan harapan bahwa nadia dapat sembuh deperti dulu walau itu menurut ibunya adalah mukjizat.
"Ya...Sang Rabb...tak ada ibu yang mau melihat anaknya menderita.... tolonglah hambamu ini sembuhkan Nadia anakku..."
Nadia suara rintihan dari ibunya, kemudian dengan perlahan-lahan Nadia memanggil ibunya..
"bu....bu.... "
"Nadia....ada apa nak....bicaralah..."
"Maafkan aku bu...yang telah merepotaan ibu..., maaf yah bu...."
"Nadia....tidak nak...nda usah kamu ngomong dulu..istirahatlah, satu kesyukuran bagi ibu karena kamu mau bicara nak..."
"bu.....mungkin besok aku bisa pulang, aku sudah merasa sembuh'
"Nak..kalaupun besok kamu membaik, aku akan meminta dokter untuk membawamu pulang"
"Nak...kemarin Iksan datang melihat keadaanmu, tapi ia hanya sebentar saja karena katanya ia akan keluar daerah untuk dinas luar"
Nadia tak menjawab apa-apa, mendengar nama iksan ia merasa muak, tapi ia tak mau memberitahukan kepada ibunya, biarkan ibunya tahu sendiri apa akhirnya nanti.
Tiba-tiba dokter datang memeriksa kondisi Nadia, dokter pun heran bahwa kondisi Nadia berangsur-angsur membaik hingga katanya Nadia bisa dibawa pulang dengan catatan bahwa selalu chek up tiap minggu.

Pagi itu, Nadia kembali kerumahnya, kenangan pahitnya ia simpan di RS. Wahidin. tak lama duduk teman-teman satu kampus Nadia datang menjenguk Nadia, dari situlah terdengar kabar bahwa apa yang menjadi pemikiran Nadia selama ini memang benar bahwa Iksan kekasih yang dianggap setia ternyata telah menghianatinya. karena salah satu dari temannya adalah sepupu dari Windy, Kabar bahwa iksan keluar kota ternyata untuk mengelabui Nadia saja padahal ia asyik bersama dengan Windy.

Selasa, 08 November 2011

Buatlah mereka berbicara

sebuah renungan tadi malam yang mengantarkan aku pada sepucuk surat yang ada di meja kerja tentang lounching buku antologi puisi Titpan Langit, Aku menengadah di atas langit kamarku, jika esok masih ada jeda untuk kita bersama maka bukan lagi antologi puisi yang anda buat tetapi bisa saja kumpulan cerpen (cerita pendek) atau paling tidak kaliab (HIMABAS STKIP) buatlah film  karena Aku tahu bahwa talenta dan jiwa seni mengalir dalam darah kalian, Apalagi penasehat, Ketua Prodi dan Ketua STKIP Yapim mungkiun menurutku sepakat jika kalian memulainya kembali. Setitik harapan itu aku yakin kalian realisasikan sebab kalian adalah pahlawan dari negeri yang terpendam.

Senin, 07 November 2011

Sajak Sejak Kartika

Itu rindu
Dalam hati bermain
Depresi pada goresan tinta
Sajak Kartika

Sejak bersenda gurau
Tameng pun hampa dibuatnya

Waktu tanpa batas
Wujud rindu pada helai kertas
Menerawang dan mengawan
Sejak rindu itu masih dihati
Kau pasti perempuanku

Terminal Tua

Sehari sebelum lebaran, kau menikamku dengan senyummu dan nanarmu berkata kepada jiwaku, "Aku esok kembali, jaga cintaku dibilik hatimu" di terminal itu kau menitip rindumu sebelum Aku menitip kangenku untuk sua kita