Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Februari 2014

TOAKALA

Sore itu, langit agak mendung, sosok laki-laki duduk di depan pondoknya, 
bermain kecapi bersama alam  bernyanyi.

Suara riuh menderu memasuki relung kalbu Toakala, di balai depan pondoknya di Simbang Bantimurung, sambil memetik kecapi, pikirannya melayang, mengingat bayang wanita bernama Bissudaeng, seorang gadis yang ayu, perempuan yang menjadi rebutan para lelaki di kerajaan Simbang
Tak henti-hentinya ia menyelam ke dalam lamunannya, menjadikan ia semakin tak kuasa membendung perasaannya yang hampir tiap detik, menit, siang bahkan malam ia resah oleh tarian-tarian Bissudaeng yang ada pada pelupuk matanya.
“Oh.... Bissudaeng.....oh....Bissudaeng, kapan kita dapat bertemu?” lirihnya dalam hati.
Kecapi yang setia menemaninya, ia petik sambil menyanyikan lagu kesayangannya, untuk penghibur hatinya yang sedang galau. Tengah malam, tepat pukul 23.50, purnama tepat dihadapnya, ia membayangkan bayang wajah Bissudaeng pada purnama itu. Lamunannya tiba-tiba buyar dengan suara gemuruh...ia memalingkan wajahnya, Toakala mencari suara itu.
“Suara apa itu...?’ lirihnya dalam hati
Rasa penasaran melandanya sama halnya ketia ia mulai mencari nama Bissudaeng dalam hatinya.. suara gemuruh itu hampir sama, keraguannya mulai memuncak, ia mendekati suara itu...Toakala mulai menunjukkan sikap yang tidak seharusnya. Ia berkonsentrasi ingin mengetahui suara apa gerangan, kicauan jangkrik mulai memudar.
Benti merrung....iya ...Benti merrung (Benti:Air, Merrung: Suara)”
Toakala mulai berjalan menuju suara gemuruh yang ia sebut dengan benti merrung itu, medan yang terjal, semakin dekat, suara gemuruh itu perlahan-lahan menjadi jelas. Hari mulai pagi, namun Toakala belum jua menemukan suara air itu, namun semakin jelas suara itu ditelinganya, kokokan ayam satu per satu telah berbunyi, Toakala bersandar pada pohon di kaki bukit, kelelahanya ia lampiaskan terlebih dahulu kemudian melanjutkan perjalanannya, sinar matahari menyelusup masuk ke matanya hingga ia terbangun.
Rasa penasaran masih membayangi pikirannya, seperti apa Benti merrung itu, rasa lelahnya perlahan menghilang kemudian ia kembali melompat, berlari, berjalan tergopoh-gopoh, sambil nafasnya terengah-engah tetap ia berjalan menyusuri hutan, sungai, pepohonan, rerumputan, ia berjalan menyusuri lereng-lereng gunung.
Semakin dekat suara gemuruh itu, semakin membuat Toakala bersemangat untuk melihat air terjun tersebut, seperti apa keindahannya, seperti apa modelnya, bagaimana keadaan tempat tersebut, Toakalah terus berlari, hingga ia mendengar suara orang tertawa riang sambil memainkan percik-percik air, rasa penasaran, siapakah gerangan, semakin ia mendekat, suara orang tersebut semakin jelas.
“Aku pernah mendengar suara itu, tapi di mana...?” pikiran Toakala melayang, hati kecil Toakala bertanya-tanya, suara itu...suara perempuan...ya... suara perempuan, tapi siapa? Pikiran Toakala melayang-layang, ia menyusuri lorong-lorong kecil dibenaknya, Aku ingat...suara itu, Bissudaeng...iya ....gadis belia nan cantik itu....Tapi, Aku tak boleh melihat ia mandi, biarkan Bissudaeng mandi dulu baru Aku mendekatinya....”pikirnya
Kegirangan dalam hati Toakala karena bertemu dengan gadis yang ia dambakan, perempuan yang tercantik di kerajaan Simbang, seorang putri yang dipuja oleh banyak lelaki. Namun, Toakala berpikir sejenak, mana mungkin seorang Toakala akan mempersunting putri cantik itu, badannya ditumbuhi bulu-bulu lebat, dan tinggal di hutan, pasti ia akan heran melihatku kalau ia bertemu denganku.
Nyali Toakala kemudian menjadi ciut, ia tak berani menampakkan diri dihadapan Bissudaeng, jika disandingkan dengan dirinya pasti Bissudaeng tak akan mungkin memilih Toakala, semangat yang membara dalam dirinya kini padam sebelum ia melihat kemegahan lukisan Ilahi, dan bertemu dengan pujaan hatinya.
“Toakala....tetaplah bersemangat, pasti suatu saat ia akan bertemu dan melihatmu” suara ini berasal dari palung hatinya.
Dua jam, ia menuggu, matahari telah menampakkan diri, suara gadis-gadis itu pun semakin menghilang, perlahan-lahan Toakala merangkak, mendaki gunung untuk melihat jelas suara air terjun tersebut. Alangkah herannya Toakala melihat air terjun itu, sampai matanya tak berkedip, sungguh luar biasa katanya dalam hati. Ia duduk sambil menikmati air terjun tersebut, ia kemudian mendekati air terjun dan mandi, suatu kesegaran dalam tubuh Toakala.
Hampir tiga jam ia memanjakan tubuhnya di air terjun tersebut, sambil bermain sendiri, kupu-kupu beterbangan sebagai teman di dekat air terjun tersebut. Tiba-tiba selendang biru yang dibawa arus mendekatinya, pas dikakinya selendang itu berhenti, Toakala mengambil selendang itu dan berpikir mungkin ini selendang Bissudaeng, wanita pujaan hatinya.
Segera Toakala menyusul rombongan dari kerajaan Simbang tersebut. Namun, ia tak menjumpainya, hingga ia berada di hadapan kerajaan tapi tak bisa masuk, karena penjaga terlalu ketat, walau hajat Toakala amat ingin bersua dengan pujaan hatinya dan memberikan selendang tersebut namun, tak apa daya ia mesti memendam hasratnya tersebut.
Dengan rasa kecewa ia pulang ke pondoknya, dengan wajah murung, pikiran melayang ia menyusuri jejak-jejak setapak pinggir gunung, hingga sampailah ia kepondoknya, ia langsung mengambil kecapi dan memainkan kecapinya dengan rasa sendu di balik dadanya. Selendang biru yang ia dapat tadi sore di dekat air terjun, ia ikat dikecapinya dengan harapan ia tetap bersama dengan pujannya walau wujud eksistensinya tak tampak di depannya.
Dua hari berlalu, tak ada kabar, sahabat Toakala bernama La Beddu menjumpai Toakala dipondoknya, La Beddu khawatir jika Toakala menjadi sakit, karena suara kecapi tak pernah lagi terdengar, biasanya Toakala memainkan kecapinya pada saat sesudah sholat subuh atau pada saat senja.

“Toakala...ada apa gerangan denganmu?” kata La Beddu.
Toakala hanya diam, sambil memandang selendang biru yang ia ikat pada kecapinya. Seakan memberikan semiotik bahwa ia telah menemukan selendang miliki pujaan hatinya. La Beddu hanya mengamati sikap dari Toakala dan ikut menatap selendang tersebut.
“Toakala..bagus benar selendang itu, punya siapa, dan di mana kau membelinya?
“La Beddu, itu miliki Bissudaeng, Aku temukan ketika kudengar suara air di balik gunung itu”
“Toakala, sungguh cantik, pantas kau menatapnya terus, dan pantas petikan kecapimu tak pernah Aku dengar, ternyata kau telah jatuh hati pada Bissudaeng”
“Apa katamu? Toakala heran sambil memandang La Beddu
“iya...kamu jatuh cinta saudaraku”
“Tak mungkin La Beddu....tak mungkin....”
“Saudaraku, apanya yang tak mungkin...?”
“Kamu liat Aku, aku hanya orang biasa La Beddu...orang yang penuh dengan bulu, orang pinggiran semacam Aku tak mungkin berada di kerajaan saudaraku”
“Toakala...kemarin Aku mendengar bahwa, Kerajaan Simbang akan menggelar sayembara lomba kecapi, ikutlah saudaraku karena potensimu untuk memetik kecapi sangat luar biasa, konon katanya Putri kerajaan atau Bissudaeng lagi bersedih karena kehilangan barang sangat berharga dalam hidupnya”
“Betulkah, perkataanmu itu saudaraku....?”
“Iya...saudaraku, besok...jam 08.00 pagi, pendaftaran sekaligus pembukaannya”
“Kalau begitu, tolong temani Aku La Beddu ke kerajaan besok”
Spirit Toakala kembali memuncak, ia kemudian memainkan kecapinya dan larut dalam petikan-petikan kecapinya.
*****
Usai sholat subuh, La Beddu dan Toakala berangkat menuju ke Kerajaan, Ia berjalan kaki sejauh 10 Kilometer dengan berharap bahwa ia akan datang tepat waktu, kecapi yang dihiasi selendang biru yang terbuat dari sutra tersebut menjadi hiasan pada kecapinya dan ia bungkus dengan daun Lontar
Tepat dihadapan kerajaan, masyarakat Simbang telah memadati pintu masuk kerajaan, para penjaga memeriksa satu per satu pengunjung yang ingin menikmati sayembara tersebut, ternyata sayembara ini bukan hanya diikuti dengan oleh masyarakat Simbang tetapi juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan lain karena konon katanya bahwa barang siapa yang dapat membuat putri kerajaan tersenyum maka ia akan dijadikan sebagai pendamping putri tersebut.
Toakala dan La Beddu, akhirnya mendaftar pada sayembara tersebut, kecapinya ia bungkus agar tak nampak, ia gemgam terus sampai pada dihadapan ruang khusus di rumah panggung atau di kediaman raja Simbang.
“Hadirin yang saya hormati, bahwa hari ini, Raja Simbang mengadakan sayembara kecapi agar putri beliau yaitu Bissudaeng dapat tersenyum, karena sejak Bissudaeng pulang dari mandi yaitu di air terjun, wajahnya murung. Mungkin ada diantara saudara-saudara yang akan membuatnya tersenyum lagi”
“Baiklah hadirin sekalian, penampilan pertama, petikan kecapi dari kerajaan Cenrana, suara alunann musik kecapi dari putra mahkota kerajaan Cenrana tak mampu membuat tersenyum Bissudaeng hingga penampilan dari putra mahkota raja kerajaan Lau dan akhirnya penampilan terakhir adalah Toakala, masyarakat Simbang kaget dan heran, mereka bertanya-tanya dari mana Toakala, ia berasal dari kerajaan mana, mengapa ia menjadi peserta dari sayembara ini”
Toakala naik kepanggung, dan mengeluarkan kecapi yang ia bungkus dari daun lontar, Bissudaeng dengan kondisi tak bersemangat perlahan-lahan membuka bibir pas ketika ia melihat selendang biru yang terikat pada kecapi Toakala, lantunan musik petikan kecapi Toakala menjadi hangat di hati Bissudaeng, sementara Raja Simbang pun menikmati lantunan musik kecapi itu, Raja Simbang tak pernah mendengar seindah petikan kecapi dari Toakala. Bissudaeng yang duduk kemudian berdiri mendekati Toakala, namun Toakala tetap memainkan kecapinya dengan penuh hikmat, sesekali ia berdiri, duduk di tangga panggung, dan mendekati masyarakat yang telah menikmati petikan kecapinya seakan tersihir oleh kecapi.
Suara riak dari penonton tiba-tiba hening, mata mereka melotot, badan mereka menari-nari seperti terkena sihir. Dua puluh menit waktu yang diberikan Toakala untuk memetikkan kecapinya ia selesaikan dengan baik, susara sorak tepuk tangan menghiasi sayembara tersebut. Bissudaeng mendekati Toakala, dan membawanya ke atas rumah panggung Raja Simbang.
“Toakala..sudah lama saya menanti, orang yang membawa selendang biru tersebut, selendang pemberian dari Ibunda, Puang Bani”.  
 “Maafkan Aku puang....waktu itu Aku temukan di dekat Air terjun, sudah Aku upayakan untuk  mengembalikan akan tetapi senja telah nampak dan pintu gerbang kerajaan sudah tertutup akhirnya Aku membawanya ke pondokku”
“Naiklah...Toakala”
“Hadirin sekalian, inilah sang Juara kita, ia berasal dari sebelah gunung sana, ia adalah anak muda yang memiliki bakat alami, memainkan musik kecapi yang sangat indah, Ia adalah raja dari salah satu hutan menurutnya , mari kita tepuk tangan..puk...puk....pukk....”
Toakala yang tak pernah menyangka akan memenangkan sayembara ini, tersenyum, dalam dadanya cuma ingin bertemu dengan Bissudaeng...yah Bissudaeng, wanita yang ayu...cantik jelita...tak ada yang menandingi kecantikan di Kerajaan Simbang ini.
Raja Simbang sesungguhnya tak sudi menjadikan Toakala sebagai Putra Mahkota, karena tubuhnya dipenuhi dengan bulu, maka dengan sigap iya memanggil pengawal dan menyuruhnya untuk menuruti satu permintaan sang raja yaitu membendung air yang mengalir deras di gunung dekat kerajaan dengan waktu semalam.
Suatu hal yang mustahil bagi Toakala membendung air terjun Gunung Saraung, apalagi dengan waktu yang diberikan hanya semalam. Bissudaeng mencoba untuk membujuk raja, namun raja simbang telah mengeluarkan kalimat itu maka secara otomatis ia tetap tidak akan menarik perkataannya, Bissudaeng tahu persis tabiat ayahandanya, Raja Simbang.
“Toakala....Aku tahu pasti kamu bisa membendung air terjun itu...”
“Bissudaeng....jika purnama kamu minta, maka akan Aku kabulkan, dan Aku yakin bahwa sukmaku telah menyatu dalam dirimu seperti itu pula sukmamu telah terpatri dalam darahku”
Toakala berlalu, menyusuri lorong menuju gunung Saraung, sebelum matahari tenggelam di ufuk barat ia mesti berada di air terjun tersebut. Bissudaeng hanya bisa menangis, dan berdiam diri dikamarnya karena permintaan Raja Simbang yang mesti terkabulkan untuk menyatukan mereka.
Matahari telah tenggelam, suara jangkrik telah menghiasi perjalanan Toakala, beberapa kera mengikutinya, kunang-kunang dan kupu-kupu juga turut menemani Toakala, mengikuti jejak Toakala, akhirnya ia telah sampai di air terjun tersebut.
Ada ratusan kera putih di dekat air terjun tersebut, seakan ia mengatakan Toakala, kami datang untuk membantumu, mari kita bekerja sebelum fajar berada pada peraduannya dan menggantikan malam menjadi pagi, menggantikan hari ini menjadi esok.
Satu per satu batu-batu diangkat oleh Toakala, yang dibantu oleh ratusan kera, mulai dari batu yang kecil hingga yang besar ia susun untuk membendung air terjun tersebut. Sudah hampir setengah tiga namun pekerjaan ini belum usai. Masih setengahnya sementara waktu makin sempit.
“Wahai pasukan kera...kuatkan kembali kekuatan kita, dan bantu Aku untuk membendung air terjun ini karena waktu kita semakin sempit”
Kera-kera mempercepat proses pembendungan, waktu semakin cepat berlalu tak sadar bahwa kokokan ayam sudah mulai terdengar satu per satu. Toakala......lembayung fajar telah nampak, matapagi mulai bersinar, Toakala, tak mampu membuat membendung air terjun tersebut. Suara bergelagar dari langit, petir menyambar-nyabar tak hentinya kera berjingkrak-jingkak tak karuan seakan membahasakan Toakala maafkan kami, kami telah mengerahkan kemampuan kami untuk membantumu namun apa daya waktunya telah sampai dan kita tak dapat membuat bendungan air terjun ini.
Toakala hanya dapat diam, matanya mengeluarkan kristal-kristal membanjiri pipinya yang berbulu lebat, kakinya menggigil, dan badanya kaku, ia bergegas melompat namun surata nasibnya berkata lain, keinginannya tak dapat terpenuhi dengan mempersunting Bissudaeng, kakinya perlahan-lahan menjadi batu sampai ia seluruh menjadi batu dengan gaya mengangkat batu di atas kepalanya.
Dan kini semua tubuhnya menjadi batu, suara petir perlahan-lahan mulai menghilang, awan pekat kembali menjadi terang, hujan yang turun kini menjadi reda, kupu-kupu mulai menghampirinya, suara air terjun jatuh berderai tak bisa dibendung, Bissudaeng yang telah mendapat kabar bahwa Toakala menjadi batu karena permintaan ayahnya sang raja tak dapat terpenuhi menjadi pendiam dan akhirnya meninggal dengan kenangan dari Toakala. Air tejun itu dinamai Benti merrung (Bantimurung) yang artinya air terjun.
****
Maros, 5 Desember 2012
Indra Anwar
Terinspirasi dari drama yang dipentaskan oleh Teater Kuman
yang distradarai oleh Husni siame
Catatan:
·         Puang ( Gelar kebangsawanan daerah Maros Sulawesi Selatan)

·         Benti Merrung (Air Terjun)

Minggu, 28 April 2013

Impian Romi



Kesunyian pecah dengan kopi hitam terasa ditenggorokan, seperti lidah enggan menyapa santapan malam ini dengan kebisuan ramai di malam tahun baru, namun entah siapa yang mesti merasuki kebisuan malam dengan wujud yang menyambuti ruh kesucian dan sunyi melega dari sudut kebisuan dari keramaian. Seperti kerinduan Romi pada malam tahun baru ini tentang sebuah impian dan mungkin tak akan menjadi apa-apa sebab hanyalah bayang-bayang mimpi dan akan terenggut tepat pukul 24.00.
Suara sorak yang menyambut tahun baru. Romi masih dipinggir jalan menatap langit yang mendung dan percikan kembang api. Ditangannya sebuah buku pelajaran. Dalam benaknya tersimpan banyak pertanyaan yang kadang tak mungkin menjadi kenyataan.
Keinginan terbesar dalam hidupnya adalah menjadi orang yang berguna untuk ibunya karena sejak ayahnya meninggal, ia menjadi tulang punggung keluarga. Walau Romi masih belia, ia tak kenal lelah dalam menjalani aktifitasnya yang terkadang sampai larut malam dan tanpa terasa ia tertidur sambil duduk dekat tungku pembakaran ikan. Rayuan mata yang menyimpan segala beban dalam dirinya sebab ia belum menyelesaikan beberapa tugas yang diberikan oleh pembimbingnya.
Suara klakson terdengar, tersentak ia bangun dan membunyikan sempritan dan mengatur mobil yang berlalu lalang dan uang seribu telah masuk dalam kantongnya. Sepintas melihat jarak dekat tulisan PT. Amanah Jaya dalam hati ia bertanya mungkinkah ketika Aku dewasa dapat mewujudkan mimpi sementara Aku terlahir dari keluarga miskin, rumah beratap rumbiah, dinding seng mengelilingi dan lantai berlapis terpal untuk tidur serta makan dua kali sehari cukup bagiku. Tak mungkin... Romi menepis  mimpinya.
Perutnya telah berbunyi lantunan musik, sedari tadi belum diberikan hak sebab uang saku telah ia kumpul untuk membeli kebutuhan sekolahnya. Di Makassar ini buku pun dibeli agar tetap melanjutkan sekolah apalagi yang lain. Hasil dari jerih payahnya selalu ia sisihkan untuk membeli buku dan membawanya ke tempat kerja. Sudah menjadi warisan ayahnya katanya buku menjadi sarana untuk membuka pintu kesuksesan. Amanat dari ayahnya telah menjadi kebiasaan dari pagi sampai ia menutup matanya.
Pukul 02.00 dinihari para pengendara telah melanjutkan kendaraan balik dari pusat kota. Keramaian petasan menyisahkan letusan dan asap sesekali terdengar. Penat tubuh tak tertahan. Mata tak lagi berkompromi, tugas telah menanti, waktunya istirahat, Romi melangkah pulang menyusuri lorong-lorong sepi di gank 5 daya. Dia membuka kantong rumpi warna orange, jika ia kembali mengingat teman-temannya yang kerap mengatainya dengan sebutan jukir, terkadang ia sedih tapi tetap tegar menghadapainya karena prinsipnya adalah mencari uang dengan cara yang halal.
Romi menghitung satu per satu lembar pecahan seribu dan esok ia setor di Dinas Perhubungan. Saatnya ia istirahatkan tubuhnya dan memanjakan tubuhnya. Kokokan ayam mulai berbunyi sebelum kuselesaikan tugas rumah, kuambil buku di meja, sebuah novel yang kerap Aku baca Ainun & Habibie. Buku ini menyemangati Romi setiap detik langkahnya. Kuambil catatan-catatan dalam laci kukumpulkan serta mempelajarinya dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bu sahria. Matahari pagi sudah menampakkan  sinarnya. Memasuki ruas-ruas rumah. Kutatap jam 07.00 sudah waktunya ke sekolah. Kuambil tas dan menyusuri lorong-lorong ke arah selatan ke MTs. Al-Hudaya Daya
Jam pertama dimulai bu Sahria masuk mengajar dan Romi mengumpulkan tugasnya, walau ia anak yang tak memiliki apa-apa tapi soal pelajaran ia tak pernah keluar dari tiga besar, hal itulah yang membuat guru-guru MTs. Al-Hudaya Daya bangga akan dirinya serta teman-temannya. Romi menjadi kebanggan tersendiri oleh teman-temanya namun ia tetap merasa rendah hati tak ada yang ia banding-bandingkan dari teman-temannya, yang kaya maupun yang misikin sama saja baginya karena dihadapan Tuhan adalah sama, aktiftas yang dilakoninya tiap hari, pulang dari sekolah ia harus membanting tulang untuk kebutuhan hidupnya.
“Romi, hari ahad nanti tamu dari DPRD Propinsi akan datang ke Madrasah kita, kuharap kau dan teman-temanmu dapat menunjukkan pementasan yang terbaik”
“Baik, Bu”
Romi selain dikenal dengan anak yang pintar, ia juga aktif di kegiatan ekstrakuliker. Yaitu di kegiatan seni
Ahad, 6 Januari 2013, pentas seni dimulai, tamu dari DPDR Propinsi disambut dengan tarian penjemputan dan aru (Amuk) Romi yang menggaru (mengamuk) menatap wajah salah satu dari anggota DPRD itu, wajahnya tak asing sebab hampir tiap malam ia membaca kumpulan cerpen yang pernah diterbitkan beberapa tahun yang lalu oleh Anggota DPRD tersebut. Salah satu daftar tokoh favorit selain Iwan Fals, Dahlan Iskan, Prabowo, BJ. Habibie, dan Jusuf Kalla karena mereka memiliki sifat Getteng (Berani) sesuai dengan amanah dari almarhum ayahnya. Kumpulan cerpen Warisan inilah yang kerap ia baca selain novel Ainun&Habibe hingga ia pernah mencatat dalam diarinya ,kelak jika ia dewasa ia ingin seperti penulis cerpen tersebut. Usai menggaru (Mengamuk) , tamu dijamu dan pemberian beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Selah satu siswa yang mendapat beasiswa adalah Romi, ia tak pernah membayangkan dirinya akan mendapat beasiswa, rasa syukur dan riang dalam dadanya bercampur dan berkata Alhamdudillah Ya Rabb... Engkau Maha Tahu... Maha Segalanya...pemberian hadiah itu diberikan langsung oleh Wawan Mattaliu, seorang cerpenis muda yang ia kenal dari beberapa referensi sastra yang pernah ia baca, satu kesyukuran dalam dirinya karena ia dapat berjabat tangan langsung kepada tokoh yang ia idolakan.
“Belajar yang baik, Nak”
“Makasih, Pak”
Kabar gembira ini ia bawa pulang ke rumahnya, ibu mesti tahu hal ini, 2 kabar yang bahagia yaitu amplop beasiswa pendidikan dan  ia bertemu langsung dengan tokoh idolanya.
Assalamu alaikum, bu”
Waalaikum salam, nak, wajahmu sangat berseri, ada kabar apa yang kau bawa dari madrasah?”
“Bu, Romi mendapat hadiah, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan”
Alhamudidllah
Usai makan siang, ia mengambil rumpi untuk kembali beraktiftas, sempritan di saku menuju rumah makan Cak Nur, disitulah aktiftas keseharian ia lakukan. Dan masih didalam benaknya tentang impiannya ketiwa ia dewasa, dan dapat menjadi pemimpin bangsa ini sekaligus sebagai cerpenis.

   

Minggu, 15 April 2012

Cinta Pertama di Halte

Langit senja itu tiba-tiba berwarna pekat, tiupan angin sangat kencang, kilat dan petir hanya berselang detik kemudian meledakkan suara dahsyat, deras air membasahi bumi pertiwi, basah, dan kemudian air itu tergenang. 1 jam, waktu cukup lama untuk duduk menunggu derasnya hujan.
Halte bus penuh dengan manusia-manusia yang menunggu redanya hujan, ada puluhan orang disitu, juga Dahlia. Ia baru saja pulang dari les di sekolah. Ia basah kuyup menunggu bus mengantarnya.
“Kamu basah kuyup” Tanya Wahyu
“Ya…Aku lupa bawa payung”
Bus penjemput datang. Dahlia dan wahyu naik dan bus tersebut mengantarnya. Mereka memang se arah dan selalu bersama-sama dalam bus tersebut, hampir tiap hari jika Wahyu tak mengendarai roda dua. Walau mereka beda sekolah.
“Kamu duduk di situ” Menunjuk bagian tempat duduk yang kosong
“Kamu…”Sahut Lia
“Aku berdiri saja, kamu kan perempuan”
“Makasih”
25 Menit berdiri, Wahyu merasa pegal juga, namun karena tak ingin melihat seorang gadis menderita akbiat tak kebagian tempat duduk, maka ia rela untuk berdiri dan memberikan kepada Lia tempat duduk yang kosong tersebut. Tak lama dalam perjalanan orang yang disamping Lia berdiri hendak turun.
“Dek..Kamu duduk di sini, aku sebentar lagi turun di depan” sahut penumpang yang duduk di samping Lia
“Terima Kasih Kak…”
Mereka berdampingan namun tak saling bertutur sapa, yang ada hanya tanda tanya di kepala Wahyu dan Lia, entah..mau mulai darimana pembicaraan sedangkan mereka baru berkenalan, walaupun mereka selalu bersama dalam bus.
20 menit tak ada sepata kata pun yang keluar, baik dari mulut Wahyu maupun dari mulut Lia. Wahyu memperhatikan Lia merasa kedinginan, ia mengeluarkan Jaket dan memberikan ke Lia.
“Maaf..kalau kamu tak keberatan, ini saya pinjamkan jaket”
“Terima kasih…saya merepotkan”
“Tak apa…pakaianmu basah, dan kau perempuan”
Lia memakai jaket tersebut, tak lama kemudian, wahyu turun dari bus tersebut, belum sempat berbicara panjang lebar.
Esoknya dengan niat, Lia mau mengembalikan jaket yang ia pinjam dari Wahyu, ia mencarinya di atas bus…sesekali matanya liar ingin melihat wajah dari Wahyu namun tak jua ia dapatkan. Dalam hati ia kerap bertanya ke mana wahyu, apa ia sakit karena kemarin kehujanan, atau ia sudah terlebih dahulu berangkat ke sekolah, atau mungkin dia mengendari roda duanya ke sekolah. Pertanyaan itu menjadi teman hingga turun di depan SMA Negeri 2 Maros.
“Hay…Lia…Wajahmu kok murung…., ada apa cantik?”
“Hay..Rah….Ngak apa-apa”
“Lho…kok jaket kak wahyu ada sama kamu?”
“Oh…kemarin aku telat pulang, dan pakaianku basah, jadi Kak wahyu meminjamkan aku”
“Ehm….”
Suara bel berbunyi, penanda jam pertama, Lia dan Rahma bergegas ke kelasnya, karena materi pelajaran kali ini olah raga. Siswa kelas XII IPA1 mengganti pakaian dari putih abu-abu ke pakaian olah raga, ada pula yang memang sudah mempersiapkan sebelumnya.
“Lia…kamu dengan kak Wahyu, uda jadian? Bisik Rahma
“Ah….tidak kok….kami cuma berteman, itupun baru aku kenal kemarin”
“Kamu serius….? Dengan nada penasaran
“Kak wahyu pernah bercerita kepadaku bahwa sebenarnya ia suka ke kamu, ia rela berdesak-desakan di atas bus yang kamu tumpangi hanya mau menatap kamu, katanya senyum, dan matamu yang memikat dia”
“Dari mana kamu tahu….”
“Bagaimana aku tidak tahu, kalau aku tetangga dengan dia, ia selalu ke rumahku, untuk menanyakan kamu ke sekolah atau tidak, dia pernah mengatakan bahwa ia baru kali ini jatuh cinta”
Rupanya cinta telah terpaut dalam hati Wahyu kepada Dahlia, ia rela kehujanan dan kedinginan untuknya. Pagi itu, Dahlia tahu segalanya dan disaksikan oleh embun yang memancarkan cahaya air di daun.

Senin, 09 April 2012

Cinta Sang Pengembara Untuk Dokter

Dear
Putri …
Di
Dinding Kalbu

Salam Hangat…..!!!


Ketika rembulan telah nampak, Aku menyusuri sebuah lorong yang tak bertuan, di mana ada bayangmu….Kemarin…pada kantin sekolah, nanarmu berujar bahwa sesungguhnya kau mencintaiku tapi belum waktunya. Mungkin kau masih berpikir karena kita masih sama-sama kelas X.
Putri…..Sesungguhnya, Aku menaruh simpati kepadamu, getaran-getaran sukmamu selalu meraung-raung dalam benakku, memanggilku pada taman pelangi..
Putri….Aku berikrar dengan sungguh telah kudapati diriku merinduimu, itu sejak kau memberiku senyum pada orientasi sebulan yang lalu. Namun, Aku takut, takut kalau niat suciku kau hempaskan pada telaga yang tak bertuan.
Pada penanggalan ini, pada detik ini, ku ingin berkata sesuatu yang sakral padamu, bahwa cinta menuju sukmaku, Cinta bersemayang untukmu….Berikan aku jawabmu…agar taman bunga yang telah kupahat dapat berpenghuni.
Salam sayang buatmu
Dariku Malik

Surat berwarna biru dibaca putri, hatinya berbunga-bunga rasanya terbang ke angkasa mengajak Malik. Ia berlari ke meja belajar dengan asa, membalas surat dari Malik.

Kapada lelaki yang memberiku cinta Malik
Di
Sebuah alam maya
Suratmu telah aku terima, aku membacanya perlahan-lahan, kumaknai kalimat per kalimat. Malik…sesungguhnya aku pun merasakan hal yang sama denganmu. Jatuh cinta…sejak di kantin pada saat orientasi, kamu lugu dengan pita dan daun lontar dikepalamu.
Malik….sering aku mengajak bayangmu di sebuah taman bunga, lalu kita bercengkrama dengan disaksian bunga yang mekar. Mawar, melati, dan lainnya. Malik, Aku memujimu, Hatiku ku berikan detik ini, jangan kau sia-siakan
Dari
Putri Maya


Jumat, 06 April 2012

Kutuang rindu di Pesawat


Ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta sudah agak ramai, mata pagi lambat laun telah menjajaki peraduannya dan memancarkan sinarnya, Bebeberapa koper bertumpuk, para pramugari berlalu lalang, ada yang berkemas-kemas, ada yang telah pulang dengan aktfitasnya masing-masing. Aku masih duduk di ruang tunggu, kutatap arlojiku tepat pukul 06.00, pesawat sudah hampir lepas landas, ku tatap pengumuman jadwal yang akan berangkat pesawat garuda dengan Kode penerbangan GIA 07 berangkat menuju Makassar 06.30.
Teng…Teng….Teng….. perhatian….perhatian….”Para penumpang tujuang Makassar agar sekiranya memasuki ruang tunggu”
Ransel ku angkat dan koper aku tarik menuju pintu masuk,  Pemeriksaan ku lalui..ke arah selatan Aku jalan menuju ruang Tunggu di altar dalam bandara….Kusimpan ransel karena agak berat sambil duduk dan kuambil tiket untuk persiapan pemeriksaan dari security…dari ransel….ternyata tiket itu tak ada di ransel…pucat….bingung melanda perasaanku….

Kamis, 05 April 2012

Sang Penari

“Duduklah…..”
“Makasih”
Kalimat sederhana kau lampiaskan kepadaku di sebuah warung dengan beberapa pasang mata melihat keayuannya, selesai pementasan Pertama Tari di aula Kedai Coklat. Sulaiman tak bergeming melihat lentuk tubuhnya saat menari, dengan sebuah pasang mata yang elok memancarkan aura yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
“Luar biasa tarianmu”
“Makasih…”
Sulaiman  kembali mengantar pembicaraan untuk memasuki ke hal yang sangat dalam, tapi perempuan yang ia sebut gadis penari itu, berkata seadanya saja. Dan sambil meneguk teh botol.
“Sudah lama menari?”
“Ehm…. Tidak, cuma setahun”
 “Luar..biasa, belum cuma setahun tapi lentik jari, dan gemulai tubuh serta gerakan fasih betul…”
“Mungkin, karena sering latihan”
Lagi gadis itu menjawab seadanya, tak berbasa-basi, entahlah….apa karena ia sedang mengatur napas, sedang tak mau bicara, atau sedang dalam keadaan tak mood, mungkin juga karakternya….tapi jujur ia membuat semua penonton tak mengedipkan mata.

Rabu, 28 Maret 2012

PHINISI DI SAMUDERA HIDUP


Malam ini, sangat dingin, tubuhku telah kaku dengan suarau detak detik yang menertawai tentang gejolak batin yang semakin sekarat dan tak mampu bertahan sebab telah karam. Suara nyamuk, jangkrik tetap menghibur suasana batin yang kian lama tak kunjung surut.
Kretek dijemari hampir pupus tak terisap, bir dan gelas sebentar diteguk perlahan-lahan untuk menenangkan jiwa yang semakin meronta karena ketidakadilan. Sukma memberontak menggugat untuk mendapatkan haknya. Jarum jam menunjukkan setengah tiga, mata enggan tertutup padahal Rian berharap bir itu dapat membuatnya untuk terlelap tapi tetap saja mata mengalahkan hasrat Rian untuk terpulas.

Kamis, 15 Maret 2012

Hujan mengantar rinduku kepadamu

     Dadaku tersentak menahan perih ketika kalimat indahmu meraung pedih mengakibatkan luka pada sukma, Engkau memberikanku pilihan yang sangat dilematis hingga Aku pun mesti berlari untuk mencari jawabnya. Tapi untuk kebahagian yang kuberikan untukmu biarlah Aku memilih untuk meninggalkan bayang-bayang walau itu tak mungkin dan akan hidup selamanya.
    Dinda, terlalu indah kenangan kita di Salah satu taman alam wisata yang ada di Kota Maros, Disitu pertama kali kita kenal, dan pertama kali kau membisikkan kalimat bahwa sesungguhnya rasa adalah jiwa yang terbelenggu.Di bawah sarappo engkau melontarkan kalimat-kalimat indah dan kita jajaki bersama dengan arus air yang mengalir.
   

Rabu, 07 Maret 2012

Cincin Putih Asmi

Dalam keterpakuan Aku menjadi bisu, bisu menatap sebuah kebohongan yang ada, kepalsuan rindu dan kepalsuan cinta, yah ……seperti itulah adanya diriku, sejak Aku mendapatkan isu tentang dirimu bahwa kamu adalah laki-laki pendusta, laki-laki yang selalu mempermainkan perasaan perempuan, itulah informasi yang kudapatkan tentangmu, kadang Aku menjadi muak terhadapmu, Seakan Aku tak ingin melihatmu lagi, kalau bukan karena cincin jemari manisku, maka aku lebih baik diam dan tak bergeming, inilah yang membuat aku muak tentang dirimu, muak dengan sebuah rindu palsu.
Kerinduan Asmi kepada Fatur menjadi rindu palsu…Asmi selalu menyakinkan dirinya namun acapkali pula ia dihantui dengan kalimat dari kawan karibnya,
“Asmi, Fatur itu seorang play boy, dia selalu mempermainkan wanita, dia selalu menjadi laki-laki yang menghianati perempuan” Aku tahu karena dari mantan pacarnya, dan interaksi aku dan pacarnya baik saat ini” kata Aisyah.
Sejak kalimat itu, Asmi menjadi pemurung, Sepekan ia berangkat ke Sekolah, padahal ujian semakin dekat, Ujian mid semester yang bulan Maret ini.
Malam yang ditemani nyanyian jangkrik dan ditemani rembulan, dengan menikmati secangkir teh hangat, Asmi duduk diserambi sambil menatap bintang, pikirannya menerawang, mulutnya terkunci pada saat paman dan bibinya bertanya tentang kondisi dirinya.
“Nak, ada apa?” kata Yuli
Yuli yang memperhatikan Asmi keponakannya termenung mencoba ia dekati dan mencoba menghiburnya namun Asmi pun tak mau berujar sepata kata apapun,
“Asmi, Ada apa nak…., apa kamu sakit…?” Tanya tante Yuli, namun lagi-lagi Asmi tak bergeming, ia seperti bisu, tatapannya hampa, pandangannya kosong, dan tak mampu berujar apa-apa, karena sakit yang dirasakan kali lebih sakit dari pengalaman lalunya bersama ferdi.
Tante Yuli membawa Asmi masuk ke dalam kamarnya, Asmi berdiri dengan sisa-sisa kekuatan yang ia rasakan, pada kasur Asmi dibaringkan, nanarnya ingin berujar namun tak mampu.
“Nak, tidurlah, mungkin ketika engkau bangun kau akan kembali ceria”
Yuli, mengambil selimut dan menyelimuti tubuh Asmi, lalu ia keluar dari kamar Asmi, keponakan yang ia rawat sejak kecil.
Asmi yang tertidur pulas, dalam pikiran ilusinya menerawang dan tak kuasa butiran Kristal keluar dari pipinya, suara isak tangispun kembali terdengar pada ruang 2x2 bersekat tripleks itu, lampu philispun redam.
Matahari pagi kembali menyapa, seperti biasa suasana Apel dan rutinitas pagi di sekolah ini kembali diperankan, pasca rutinitas itu Fatur dan Asmi berdebat hebat, di depan ruang kelas.
“Fatur, demi cinta yang kau berikan kepadaku, Aku tak pernah merasakan pahit ini, mengapa kau begitu tega menghianatiku, kau bercumbu dengan tina, Tina yang kuanggap sebagai sahabatku”
“Asmi, demi karang yang diterpa badai, demi phinisi yang meluluhlantakkan ombak, Sedetikpun Aku tak pernah berpikir untuk menghianatimu, Aku menyangimu, kesungguhan cintaku terpancar dalam diriku, Tatap mataku Asmi, maka kau menemukan, hanya kau yang ada dalam kalbuku, telah kupahat namamu dalam dinding kalbuku” ungkap fatur meyakinkank Asmi.
“Fatur….sumpah serapah yang kau sebut tadi hanya manis dibibirmu saja, kata-kata itu cocok buat perempuan-perempan lain, dalam benakku kau laki-laki bejat, mengobral cinta, setelah itu kau campakkan mereka”
Fatur yang mendengar cerita Asmi Cuma dapat diam dan membisu, ia ingat ketika beberapa perempuan yang pernah ia pacari karena muak dengan Fatur, karena Fatur tak mampu membahagiakan perempuan-perempuan yang pernah memasuki relung hatinya dengan beberapa hadiah sehingga Fatur dicampakkan.
“Asmi….Aku tak pernah bercumbu dengan Tina, aku tak pernah berpacaran dengan Tina, waktu itu, kami adalah sahabat, ketika Tina membutuhkan pertolonganku dengan mengajarinya dengan mengerjakan tugas Bahasa Indonesianya, ia menghubungiku, Cuma itu………..apakah salah ketika orang lain membutuhkan kita kemudian kita membantunya…?
“Asmi…..kau mengajariku tentang banyak hal…kau mengajariku bahwa sesame manusia kita saling tolong menolong, sesame manusia kita saling menghargai, tapi kenapa…kamu dengan tega menuduhku..seperti itu….
Asmi tak menjawab apa-apa, ia murung dan tak berdaya mengingat perkataan sahabatnya, bahwa Fatur telah menjadi penghianat…penghianatan dari cinta yang mereka lakoni, cinta yang tumbuh setelah berabad-abad.
“Asmi….ok, Aku jujur denganmu bahwa pernah Aku berada dalam suasana seperti itu, tetapi mesti kau ketahui Asmi bahwa setelah Kau menjadi kekasihku, Aku tak pernah berniat untuk menjadikanmu sebagai selir, atapun aku mencari perempuan lain, sebab cincin putih yang menandakan keseriusanku kepadamu, Asmi cincin itu……yah cincin putih itu yang kusematkan pada jari manismu waktu ditelaga cinta…saat itupula Aku tak berniat akan menjaga cinta kita, seberat apapun bebannya akan Aku pikul, sesulit apapun kehidupan ini Aku tetap akan menjaga cinta kita, walau kelak nantinya ketika kita masing-masing telah melalui masa SMA dan Kuliah aku akan tetap menjaga cinta kita, karena Kau kuanggap sebagai perempuan yang mengubah hidupku 360 derajad, Kau tahu sendiri Aku…seperti apa aku…dalam aqidah aku kalah, tapi kau mampu membuatku seperti ini itu karena kau Asmi…”
Fatur kemudian berlalu meninggalkan Asmi dengan pesan bahwa cinta dan cincin dijemari Asmi tetap terpakai, dan tidak ada pengganti dalam diri Asmi kecuali Fatur. Fatur yang tak habis pikir mengapa Asmi berubah seperti itu.
Dua bulan kemudian, Asmi dan Fatur tak saling tutur sapa, karena permintaan Asmi untuk menyendiri, terdengar kabar bahwa Fatur meninggalkan kota yang ia tempati untuk mengikuti proses belajar, Fatur pindah mengikuti Ayahnya ke kota kalong, Asmi yang mendengar berita tersebut tak sedikitpun memiliki kesedihan karena Fatur dia anggap adalah laki-laki bejat, yang telah menghianati dirinya.



KOTA KALONG
Suara bising terdengar, petasan berwarna-warni di atas langit, melukis indah di sana, pada dego-dego1 Fatur duduk dengan beberapa buku pelajaran dan tugas yang akan diselesaikannya tapi pikirannya menerawang, masih terngiang kalimat Asmi, bahwa dia adalah lelaki bejat, dia adalah seorang pria yang telah menghianatinya.
“Asmi…Aku tak pernah menghianatimu, demi cinta yang kurajut bersamamu, demi langit beserta bumi dan isinya, demi matahari yang setia menemaniku pagi hingga senja, aku tak pernah berhianat” pikiran ini selalu mengganjal dalam hati Fatur.
Nak…lokka ni no manre...cinapi nu pappurai jamannu..iya tu’du” (Nak…pergilah makan, nanti sebentar kamu selesaikan pekerjaanmu itu).
Iye..Mak…” kata Fatur.
Adat kesopanan dari Fatur telah mendarah daging dalam dirinya, karena Fatur sebelum pindah dia menempuh pelajaran di Pondok Pesantren Darussalam  Barandasi. Kajian tentang awidah akhlak dan nilai-nilainya memang boleh dikatakan bersaing dengan Asmi.
Seuasai makan, ia menunaikan kewajibannya sebagai hamba, ia mengerjakan sholat Isya, sebab pada saat setelah ia makan malam suara adzan Isyapun berkumandang.
“Ya…Allah…Engkau Maha Rahman…Engkau Maha Rahim…Jagalah cintaku….Jodohkanlah Aku dan Asmi, walaupun kelak Aku buka pendamping hidupnya, pertemukanlah kami. Amin” pinta Fatur dalam doanya”
Setelah berdoa, Fatur melipat sajadahnya, dan kembali ke dego-dego (Teras depan rumah  panggung), tugas matematika dari bu Fiqriah ia selesaikan, setelah itu ia kembali ke kamar untuk membaca buku antologi cerita pendek dengan judul Air Mata di Sajadah Merah, karya Indra Anwar,
Matanya mengeluarkan butiran-butiran kristal pada saat membaca cerpen tersebut, ia kembali mengingat Asmi, pada saat Asmi menyatakan bahwa dia adalah laki-laki yang menghinatinya.
“Asmi….saat ini, Aku mengingatmu, bagaimana kabarmu, Asmi…Aku akan tetap menyangi dirimu, tak ada perempuan lain di hatiku, selain kamu Asmi, dinding-dinding jiwaku telah terpahat dengan namamu, sehingga Akupun tak mampu menghalau senyummu kepadaku”
Sebuah buku Antologi cerpen di atas dada Fatur, menangantar tidurnya, Emak Fatur yang masuk ke kamar Fatur membereskan beberapa buku yang berserakan di atas kasur Fatur karena tak sempat memberesakan karena tertidur.
Nak….de’nana di sedding malloponi…SMA ni..Nak..(Tak disangka kau sudah besar Nak, kau sekarang sudah SMA)
“Ibu Fatur keluar dari kamar Fatur setelah membereskan kamar Fatur, dan menutup pintu kamar Fatur dari luar sementara Fatur tertidur pulas…seiring suara jangkrik melantungkan kalimat-kalimat syahdu dan melontarkan beberapa sajak.
Suara Muadzin telah menggema, Fatur kemudian bangkit dan menunaikan sholat Shubuh, Air masih dingin, dibasuhi tangan sampai ke kakinya dan berwudhu, lalu menunaikan sholat subuh, Fatur yang khusuk menunaikan sholat, setelah sholat Fatur kembali berdoa agar dia dapat bertemu dengan Asmi. Rupanya disetiap doa Fatur Asmi selalu dia sebut.
Fajar mulai Nampak sebelum berangkat sekolah Fatur ternyata anak yang displin baik dari segi waktu dan dia mampu memanej waktu, pada dinding yang menjadi sekat kamarnya sudah tercantum agenda-agenda yang ia akan kerjakan, mulai dari bangun tidur hingga tertidur pada saat malam hari, ia catat pada jadwal kegiatan harinya.
“Mak……millau simakka dolo, elokka dolo lokka massikola” (Mak saya pamit, saya mau ke sekolah), sambil mencium tangan ibunya
“Iye..nak..tu’tutki…(iya, nak hati-hati dijalan), kata ibunya yang senantiasa memberikan doa kepada anaknya.



SMA Negeri 1 Watangcani
Suara bel panjang berbunyi, sebagai tanda jam pelajaran dimulai, Fatur dengan bergegas masuk ke dalam ruangan kelas XI IPA, dia duduk dibangku depan, karena Fatur dikenal dengan anak yang pandai, dan juga rajin, maka dia dipilih sebagai ketua kelas, selain itu dia juga dipilih sebagai ketua OSIS,
Pelajaran dimulai, pada saat jam pelajaran Fatur disuruh untuk membacakan puisi, karena pelajaran pertama adalah pelajaran bahasa Indonesia dengan pokok bahasan membaca puisi, Fatur meminta isin kepada teman-temannya lalu membaca sajak yang ia ciptakan sendiri, sajak ini ia tulis waktu di Kabupaten Salewangan Maros.
“Kawan-kawan sekalian, mohon ijin Aku membacakan sajak bukan dari buku teks tetapi aku ciptakan sendiri pada saat di Maros dahulu” kata Fatur sambil memegang secarik kertas
Kutulis kalimat ini bersama embun dan senja waktu itu, buat dewi yang mengantarkan Aku pada rindu kemudian galau lalu sepi tak berujung.
Seeperti itulah pembuka Fatur dalam membacakan puisinya.
Detik-detik Bersamamu

Dewi….dalam detik Aku termangu
Pada rimba yang mengantarku pada angin
Dalam derasnya sungai citta
Ku arungkan secarik kertas disana
Ku buat dalam phinisi
Kalimat kuukir disisinya
Namamu dewi….Namaku …..
Walau derasnya arus
Tak jua menghalau manisnya senyummu

Dewi….adalah kepalsuan..
Kepalsuan jiwaku, lenyap separuh
Dalam jiwaku meraung-raung
Memanggil sukmamu bersua

Sukmaku tertatih-tatih
Dalam jiwamu ada jiwaku

Suara gemuruh tepuk tangan menghias dalam ruangan kelas XI IPA tersebut, karena Fatur yang membacakan puisi itu lewat penghayatan, dan intonasi yang jelas sehingga huruf-huruf vokal jelas terdengar membuat teman-temanya terharu sehingga tepuk tanganpun menghias di ruangan itu, walau sempat gaduh karena puisi itu ingin di catat oleh teman-temannya.

“Anak-anak…sekali lagi tepuk tangan buat karya Fatur dan Fatur, karena ia mampu membuat karya yang sangat menggugah perasaan dan gaya Fatur membacakan karyanya juga hebat” kata ibu Amina
Tak terasa, suara bel yang menandakan pergantian jam berbunyi, Bu Amina pamit untuk meninggalkan kelas dan pelajaran ke dua, dimulai, Namun, sebelum itu wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan datang dan memanggil Fatur untuk ke ruanganya. Faturpun ikut serta
“Fatur….tadi saya dapat telpon dari Maros, katanya mau berkunjung ke sekolah kita, mereka adalah perwakilan dari SMA Perguruan Islam Maros, Sekolah yang terkenal di sana, sekolah ini berstandar nasional, mereka akan datang, kalau tidak selah salah satu gurunya pernah membuat buku antologi cerpen Air mata disajadah merah..ehm…kalau tidak salah…eh…siapa yah namanya…Bapak lupa”
Fatur yang menyimpan buku antologi cerpen itu dengan langsung menjawab.
“Maaf, Pak…namanya Indra Anwar..”
“Oh…iya….ya…namanya Indra anwar, kebetulan istrinya orang Soppeng, kemarin bapak dapat telepon dari beliau, kebetulan beliau masih menjabat sebagai wakil kepala sekolah di sana, sehingga kami sepakat untuk saling berkunjung, tapi mereka ke sini dulu”
“Oh , iya pak, ehm…apa yang mesti dipersiapkan untuk menyambut mereka?”
“Siapkan hal istimewa tentunya, karena beliau kan penulis, dan tentu saya ingin menjamunya dengan hal yang istimewa, seperti pertunjukan teater, pembacaan puisi, dan lainnya, kalau boleh Bapak juga mau kamu membacakan puisi pada saat pertujukkan nantinya”
“Baik, pak…kalau seperti itu saya rapatkan dulu sama teman-teman di OSIS lalu, kami dekor sebentar panggungnya”
“iya….makasih yah nak”
Fatur kembali ke kelasnya setelah jam pelajaran ke dua selesai, dan waktunya istirahat, Fatur melangkah ke ruang OSIS, ruangan ini juga punya banyak cerita tersendiri bagi Fatur, dan dia memanggil anggota OSIS untuk rapat.
“Kawan-kawan sekalian, tadi saya mendapat informasi dari pak Asep, katanya , Besok kita akan kedatangan tamu dari Maros, mereka perwakilan OSIS dari SMA Perguruan Islam Maros, mereka akan dipimpin oleh Wakasek Kesiswaannya langsung yaitu Pak Indra Anwar, dan dia juga penulis salah satu buku Antolog cerpen Air mata disajadah merah”
“Fatur…lalu apa yang harus kita persiapkan untuk menyambut merekan’ kata salah satu anggota OSIS yang bernama Firman.
“Menurut info dari Pak Asep, katanya pertunjukan teater, pembacaan puisi dan lainya”
“Kapan kita mulai bekerja” kata Alwi
“Sebentar, setelah pulang dari sekolah, kita kembali ke sini, mungkin kita akan bermalam, jadi persiapkan perlengkapan kalian, sehingga besok pagi bisa lekas rampung”
Setelah rapat mereka pulang ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan perlengkapan bermalam untuk pementasan besok, pementasana ini mungkin akan paling berkesan karena dalam pemikiran Fatur dapat melihat langsung penulis buku antologi cerpen air mata disajadah merah.

JAWABAN DOA
Suara musik kecapi dan genderang sesekali suara gong, mengiringi tarian pa’duppa, tarian yang dilakukan untuk menjemput tamu, penjemput tamu dengan hiasan baju bodoh  (baju khas masyarakat Bugis Makassar) berwarna hijau menandakan seorang bangsawan yang dijemput, semuanya disajikan khusus untuk menjemput tamu, memang settingan Fatur kali ini memuasakan para guru di SMA Negeri 1 Watangcitta. Pada saat tamu dari SMA Perguruan Islam Maros turun dan diikuti oleh Wakasek kesiswaan Indra Anwar.
Setelah penjamuan selasai, rombongan dari SMA Perguruan Islam Maros diajak masuk ke tempat pertunjukkan di dalam Aula, di sana telah tersetting dengan dekorasi yang membuat rombongan dari SMA Perguruan Islam Maros terkagum-kagum.
Suara MC mengucapkan selamat datang kepada rombongan, MC yang diperankan langsung oleh Bu Amina, ini mengguggah rombongan dan rombongan dipersilahkan duduk didapan,
Fatur yang datang agak terlambat karena mesti menyiapkan sambutan ketua OSIS ternyata tertinggal dirumahnya, karena bergegas untuk ke sekolah, sehingga ia terlambat, pada saat nama Fatur disebut, ia masih dalam perjalanan sehingga membuat rombongan menunggu tapi untunglah karena kelihaian MC mampu membuat suasana kembali cair dengan mempertunjukkan atraksi kecapi.
  Fatur yang terengah-engah akhirnya datang juga, dengan busana seorang Raja bugis dengan gagah berani Badik disamping kirinya sebagai tanda seorang pahlawan dan passapu dikepalanya. Naik ke panggung pada saat musik kecapi selesai, dan tentunya dipandu oleh MC.
“Maaf….Aku minta maaf selaku panitia, karena datang terlambat, mohon maaf sekali lagi” kata Fatur
Fatur kemudian membacakan sambutan ketua panitia, tetapi sejalan dengan kalimat-kalimatnya dia melirik salah satu siswa dari SMA Perguruan Islam Maros, dan kemudian berhenti sejenak memandang cincin yang pernah ia sematkan pada Asmi. Dalam hatinya berkata “Apakah, Aku sedang bermimpi, Asmi….” Segera ia sadar bahwa dirinya telah dilihat oleh orang lain,  lalu melanjutkan sambutannya. Setelah itu kembali ia duduk pas dekat dengan wakasek kesiswaan sekaligus penulis dari buku antologi cerpen air mata disajadah merah, yang ia sering baca sebagai dongeng untuk menjemput mimpinya.
 Sungguh suatu kebetulan ia bertemu dengan maestro penulis air mata disajadah merah sebab cerita penulis inilah yang mampu membuat Fatur bertahan sampai detik ini tak mengenal cinta kecuali Asmi.
Tak lama kemudian, Fatur kembali dipanggil untuk membacakan puisi, ia melirik ke perempuan berwajah manis itu, kulit yang sawo matang, berbalut busana muslimah, dan tersenyum kepadanya pada saat namanya disebut.
Fatur kemudian naik dan membacakan puisi yang pernah ia tulis buat Asmi.
Kawan-kawanku, dan para tamu yang saya hormati, sajak ini mewakili hasratku untuk seorang gadis, entah dimana dia sekarang, ia bernama lengkap Asmiati….seorang perempuan yang memiliki kesempurnaan di mataku, dia banyak mengajariku tentang aqidah, dia banyak mengajarkan aku tentang kerinduan, dan tentunya saling menghargai sesama manusia
Kasih, kelabu dalam diriku

Kasih, Aku rindu
Kasih…. Dalam nafasku rinduku tak bertepi
Kasih….
Kasih…
Senja disana menjadi teman
Ketika kalimat syahdumu terdengar

Cincin putih ini..
Masih disitu
Menawar rinduku
Asmi……………


Wanita yang ia lirik kemudian berdiri, entah dorongan apa yang ada dalam diri perempuan itu, setelah sajak dari fatur terdengar pada semua orang yang ada di Aula tersebut, semua mata memandang ke arah perempuan itu ketika perempuan itu mengucapkan nama Fatur,…
Tamu, guru dan siswa-siswa dari SMA Perguruan Islam dan siswa-siswi dari SMA Watang Citta tak bergumam mereka menata kepada ke dua sepasang sejoli itu, yang berlari ke panggung dan memeluk Fatur…
“Fatur..Maafkan Aku yang melukaimu, Aku salah dalam menilaimu, sejak kepergianmu itu, Aku baru sadar bahwa ternyata isu tentangmu adalah tidak benar, aku telah terasuki oleh sahabat-sahabatku karena ia ingin kau berpecaran dengan Reza, padahal Rezalah yang bejat, Fatur…maafkan Aku, sejak kepergianmu waktu itu, Aku sempat koma, dan tak sadarkan diri, Aku mencari ..dan mencari kabar darimu, sehingga dalam pencaharianku, Aku mendengar bahwa Kau di Kota ini, Kota Kalong, Kota Soppeng dan belajar di sekolah ini, maka, ketika waktu itu Aku dengar dari Pak Indra Anwar untuk berkunjung ke sekolah ini, Aku meminta beliau untuk mengikutkan Aku, dan berusaha menjadi terbaik karena syarat untuk berangkat ke sini adalah mesti mendapat peringkat pertama atau paling tidak siswa-siswi itu mendapat peringkat tiga besar, barulah aku sampai di sini, Fatur, tadi sejak kau melihatku Aku mulai memancarkan senyumanku agar kau mengenal karena Aku tahu pasti bahwa senyumku akan menngingatkanmu denganku” sambil memegang tangan Fatur..
“Asmi…..cincin ini, tak pernah lepas, dan hari ini Aku buktikan bahwa kau tak pernah hilang dari ingatanku, Aku selalu berdoa agar kita dipertmukan, Ya..Allah. engkau mengabulkan doa-doaku, terima kasih  yah Allah…” Kemudian Fatur memeluk Asmi,
Wakasek kesiswaan SMA Perguruan Islam Maros, Indra Anwar berdiri dari tempat duduknya dan kemudian berjalan ke arah kedua insane itu, sambil memeluk mereka dan memberikan motivasi bahwa pacar pertama hanya untuk dikenang, pacar pertama bukan cinta pertama, tetapi pacar terakhir dan itulah cinta terakhir, cincin…yang kalian sematkan sama seperti ketika Aku menyematkan cincin pada MC tadi, karena MC itulah Aku ada disini..dan tentu untuk kalian.