Kamis, 05 April 2012

Sang Penari

“Duduklah…..”
“Makasih”
Kalimat sederhana kau lampiaskan kepadaku di sebuah warung dengan beberapa pasang mata melihat keayuannya, selesai pementasan Pertama Tari di aula Kedai Coklat. Sulaiman tak bergeming melihat lentuk tubuhnya saat menari, dengan sebuah pasang mata yang elok memancarkan aura yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
“Luar biasa tarianmu”
“Makasih…”
Sulaiman  kembali mengantar pembicaraan untuk memasuki ke hal yang sangat dalam, tapi perempuan yang ia sebut gadis penari itu, berkata seadanya saja. Dan sambil meneguk teh botol.
“Sudah lama menari?”
“Ehm…. Tidak, cuma setahun”
 “Luar..biasa, belum cuma setahun tapi lentik jari, dan gemulai tubuh serta gerakan fasih betul…”
“Mungkin, karena sering latihan”
Lagi gadis itu menjawab seadanya, tak berbasa-basi, entahlah….apa karena ia sedang mengatur napas, sedang tak mau bicara, atau sedang dalam keadaan tak mood, mungkin juga karakternya….tapi jujur ia membuat semua penonton tak mengedipkan mata.
Suara gemuruh gendang mulai mengajak penonton terkesima, pementasan kedua dari Workshop Tari dan musik, ia kembali membius penontonnya, Sulaiman  duduk di depan, mengangguk-angguk, sedikit tersenyum, sesekali matanya melirik ke salah satu penari yang dibalut dengan baju bodoh.
Suara tiupan pui-pui (Alat Musik tiup tradisional daerah Sulawesi-Selatan) menandakan bahwa pementasan kedua usai dan kembali pemateri menerangkan tentang tarian dan musik, di balik panggung dengan gerak cepat Sulaiman  menuju area istirahat sang penari. Dengan niat kembali berbincang dengan gadis itu.
“Maaf…..nama kamu….” Menjulurkan tangannya ke perempuan itu.
“Ida…, Maaf, sebentar… aku terima telepon dahulu…”
Sulaiman  sandar ke tembok, ia menerawangkan pikirannya…kalau saja gadis ini dijodohkan dengannya maka yakinlah bahwa sesungguhnya akan ku bawa ia ke nirwana, bermain di taman pelangi, ia menari, aku membacakan sajak.
Pak….pak…pak…tiga kali tepukan mendarat dipundakknya, membuyarkan lamunannya, membuyarkan alam ilusinya padahal  ia menikmatinya…

Sambil tersenyum Risal bergumam “Kawan…terlalu dini, kau memikirkan Ida….”
“Maksudnya…”
“Coba kau lihat di bawah”
Sulaiman  menuju teras lantai dua, memandang ke arah bawah, Matanya tertuju ke gadis itu. Geleng-geleng kepala, dengan muka masam, “Kau betul Isal” dalam hati ia ucapkan kalimat itu, wajahnya murung, tak bergairah padahal ini kali ketiganya ia bertemu, beberapa gambar ia tempel di dinding kamar Sulaiman, ternyata asanya mesti pupus.
“Maaf…kawan kamu terlambat…walau sajakmu beribu-ribu, tak jua ia akan terlena, walau verbamu menjadi tarian ia tak akan gubris sebab suling menjadi pelengkap tariannya, pui-pui telah menjadi pelengkap hati sebelah kanannya”

Maros, 5 Maret 2012

1 komentar: