Kesunyian
pecah dengan kopi hitam terasa ditenggorokan, seperti lidah enggan menyapa
santapan malam ini dengan kebisuan ramai di malam tahun baru, namun entah siapa
yang mesti merasuki kebisuan malam dengan wujud yang menyambuti ruh kesucian dan
sunyi melega dari sudut kebisuan dari keramaian. Seperti kerinduan Romi pada
malam tahun baru ini tentang sebuah impian dan mungkin tak akan menjadi apa-apa
sebab hanyalah bayang-bayang mimpi dan akan terenggut tepat pukul 24.00.
Suara
sorak yang menyambut tahun baru. Romi masih dipinggir jalan menatap langit yang
mendung dan percikan kembang api. Ditangannya sebuah buku pelajaran. Dalam
benaknya tersimpan banyak pertanyaan yang kadang tak mungkin menjadi kenyataan.
Keinginan
terbesar dalam hidupnya adalah menjadi orang yang berguna untuk ibunya karena
sejak ayahnya meninggal, ia menjadi tulang punggung keluarga. Walau Romi masih
belia, ia tak kenal lelah dalam menjalani aktifitasnya yang terkadang sampai
larut malam dan tanpa terasa ia tertidur sambil duduk dekat tungku pembakaran
ikan. Rayuan mata yang menyimpan segala beban dalam dirinya sebab ia belum
menyelesaikan beberapa tugas yang diberikan oleh pembimbingnya.
Suara
klakson terdengar, tersentak ia bangun dan membunyikan sempritan dan mengatur
mobil yang berlalu lalang dan uang seribu telah masuk dalam kantongnya.
Sepintas melihat jarak dekat tulisan PT. Amanah Jaya dalam hati ia bertanya
mungkinkah ketika Aku dewasa dapat mewujudkan mimpi sementara Aku terlahir dari
keluarga miskin, rumah beratap rumbiah, dinding seng mengelilingi dan lantai
berlapis terpal untuk tidur serta makan dua kali sehari cukup bagiku. Tak
mungkin... Romi menepis mimpinya.
Perutnya
telah berbunyi lantunan musik, sedari tadi belum diberikan hak sebab uang saku
telah ia kumpul untuk membeli kebutuhan sekolahnya. Di Makassar ini buku pun
dibeli agar tetap melanjutkan sekolah apalagi yang lain. Hasil dari jerih
payahnya selalu ia sisihkan untuk membeli buku dan membawanya ke tempat kerja.
Sudah menjadi warisan ayahnya katanya buku menjadi sarana untuk membuka pintu
kesuksesan. Amanat dari ayahnya telah menjadi kebiasaan dari pagi sampai ia
menutup matanya.
Pukul
02.00 dinihari para pengendara telah melanjutkan kendaraan balik dari pusat
kota. Keramaian petasan menyisahkan letusan dan asap sesekali terdengar. Penat
tubuh tak tertahan. Mata tak lagi berkompromi, tugas telah menanti, waktunya
istirahat, Romi melangkah pulang menyusuri lorong-lorong sepi di gank 5 daya.
Dia membuka kantong rumpi warna orange, jika ia kembali mengingat
teman-temannya yang kerap mengatainya dengan sebutan jukir, terkadang ia sedih
tapi tetap tegar menghadapainya karena prinsipnya adalah mencari uang dengan
cara yang halal.
Romi
menghitung satu per satu lembar pecahan seribu dan esok ia setor di Dinas Perhubungan.
Saatnya ia istirahatkan tubuhnya dan memanjakan tubuhnya. Kokokan ayam mulai
berbunyi sebelum kuselesaikan tugas rumah, kuambil buku di meja, sebuah novel
yang kerap Aku baca Ainun & Habibie. Buku ini menyemangati Romi setiap
detik langkahnya. Kuambil catatan-catatan dalam laci kukumpulkan serta
mempelajarinya dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bu sahria. Matahari
pagi sudah menampakkan sinarnya.
Memasuki ruas-ruas rumah. Kutatap jam 07.00 sudah waktunya ke sekolah. Kuambil
tas dan menyusuri lorong-lorong ke arah selatan ke MTs. Al-Hudaya Daya
Jam
pertama dimulai bu Sahria masuk mengajar dan Romi mengumpulkan tugasnya, walau
ia anak yang tak memiliki apa-apa tapi soal pelajaran ia tak pernah keluar dari
tiga besar, hal itulah yang membuat guru-guru MTs. Al-Hudaya Daya bangga akan
dirinya serta teman-temannya. Romi menjadi kebanggan tersendiri oleh
teman-temanya namun ia tetap merasa rendah hati tak ada yang ia
banding-bandingkan dari teman-temannya, yang kaya maupun yang misikin sama saja
baginya karena dihadapan Tuhan adalah sama, aktiftas yang dilakoninya tiap
hari, pulang dari sekolah ia harus membanting tulang untuk kebutuhan hidupnya.
“Romi,
hari ahad nanti tamu dari DPRD Propinsi akan datang ke Madrasah kita, kuharap
kau dan teman-temanmu dapat menunjukkan pementasan yang terbaik”
“Baik,
Bu”
Romi
selain dikenal dengan anak yang pintar, ia juga aktif di kegiatan
ekstrakuliker. Yaitu di kegiatan seni
Ahad,
6 Januari 2013, pentas seni dimulai, tamu dari DPDR Propinsi disambut dengan
tarian penjemputan dan aru (Amuk)
Romi yang menggaru (mengamuk) menatap
wajah salah satu dari anggota DPRD itu, wajahnya tak asing sebab hampir tiap
malam ia membaca kumpulan cerpen yang pernah diterbitkan beberapa tahun yang
lalu oleh Anggota DPRD tersebut. Salah satu daftar tokoh favorit selain Iwan
Fals, Dahlan Iskan, Prabowo, BJ. Habibie, dan Jusuf Kalla karena mereka
memiliki sifat Getteng (Berani) sesuai dengan amanah dari almarhum ayahnya.
Kumpulan cerpen Warisan inilah yang kerap ia baca selain novel Ainun&Habibe
hingga ia pernah mencatat dalam diarinya ,kelak jika ia dewasa ia ingin seperti
penulis cerpen tersebut. Usai menggaru
(Mengamuk) , tamu dijamu dan pemberian beasiswa untuk melanjutkan pendidikan.
Selah satu siswa yang mendapat beasiswa adalah Romi, ia tak pernah membayangkan
dirinya akan mendapat beasiswa, rasa syukur dan riang dalam dadanya bercampur
dan berkata Alhamdudillah Ya Rabb...
Engkau Maha Tahu... Maha Segalanya...pemberian hadiah itu diberikan langsung
oleh Wawan Mattaliu, seorang cerpenis muda yang ia kenal dari beberapa
referensi sastra yang pernah ia baca, satu kesyukuran dalam dirinya karena ia
dapat berjabat tangan langsung kepada tokoh yang ia idolakan.
“Belajar
yang baik, Nak”
“Makasih,
Pak”
Kabar
gembira ini ia bawa pulang ke rumahnya, ibu mesti tahu hal ini, 2 kabar yang
bahagia yaitu amplop beasiswa pendidikan dan
ia bertemu langsung dengan tokoh idolanya.
“Assalamu alaikum, bu”
“Waalaikum salam, nak, wajahmu sangat
berseri, ada kabar apa yang kau bawa dari madrasah?”
“Bu,
Romi mendapat hadiah, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan”
“Alhamudidllah”
Usai
makan siang, ia mengambil rumpi untuk kembali beraktiftas, sempritan di saku
menuju rumah makan Cak Nur, disitulah aktiftas keseharian ia lakukan. Dan masih
didalam benaknya tentang impiannya ketiwa ia dewasa, dan dapat menjadi pemimpin
bangsa ini sekaligus sebagai cerpenis.