Selasa, 31 Januari 2012

Beban yang tersembunyi

Seperti ini....
duduk pada tepian rindu..
kau mengajariku tentang huruf, kata, frase, kalimat dan paragraf
masih disini kau duduk disitu
tak ada sepatah kata menatap cakrawala


Tetap duduk disitu...
Menghadap kiblat dengan pandangan hampa
entah apa dalam benakmu?
Tapi ku yakinkan diriku karena kau telah mengajraiku 
tentang rindu....dan kata hati

Senin, 30 Januari 2012

Rasa dan Kata

Tak dapat dipungkiri setiap orang memiliki potensi dalam dirinya sebagai seorang penulis baik fiksi maupun karya ilmiah, ini dibuktikan dengan beberapa status di jejaring sosial yang ter-up-date tiap kali seseorang membuka dan memfosting kalimatnya, mereka berpotensi menjadi penulis. Suasana hati mereka gambarkan dalam bentuk tulisan. Bentuk kalimat yang sederhana, ternyata mewakili rasa dalam hati tentang kehidupannya. Dalam tatanan kata, mereka mencari diksi agar dapat dikomentari sehingga menjadi indah. Hal itu pula yang mendasari bahwa orang yang memfosting tentang kegundahan hatinya bisa dikatakan bahwa ia adalah seorang penulis fiksi karena definisi sastra adalah tulisan indah.
sumbergambar:oneminuteonline.wordprees.com.

 Rasa mereka padukan dengan kata hingga menjadi frase, kalimat atau paragraf. Kebanyakan dari mereka menulis tentang kehidupan kesahariannya, ada yang sengaja  menulis kata yang memiliki makna konotasi dan ada pula yang menulis kata denotasi tetapi itulah adanya mereka menulis dengan sesuai dengan kata hatinya. Maka rasa dan kata tak dapat dipisahkan dalam kehidupan ini, dan semua orang memiliki potensi sebagai seorang penulis. 

Sabtu, 28 Januari 2012

Catatan Desember 05

   Dalam naungan purnama merah
Tak sepintas meraih impian
Tak semudah mengecup angin
berlalu dan berlalu

Melemah atma pada jasadku
meraih segalanya
yang tak kau beri
memuja dan terkurung dirohku

Bila kau rebah
Kuangkat ..
pada penghujung sukma
yang terbengkalai gusar

Selasa, 6 Desember 05

Jumat, 27 Januari 2012

May....tinggal eks senyummu

Bila....
Malam berujar
Embun tak lagi pada fajar
Masihkah tersinari

Dalam batas asa
memberi sejuta makna
kemudian berlabuh
pada alam malakut

May....
Senyummu memaksa
pada kontemplasi
bersama ruh

May....
Tawarlah bahagia
Biar dahaga dan gusar musnah
hingga menjadi fitra lalu alif

Sepi ini

Dingin meremuk jasad
Walau senyum mencoba melepas duka
Tertindas dilumpur becek
yang kerap berubah wujud

Pinus beranting-ranting
Aur kuning berakar-akar
Daun menunduk terbelai desir angin
Nar berbaur Fitrah

Bukit menatap sunyi
Nanar bergelimang tak perduli
Memberontak apa yang ada
semakin koyak dan terkapar

Kamis, 26 Januari 2012

Harapan pagi

Fajar menyinsing
Menyapaku dengan lirih
Sinarnya membelaiku hangat

Kasih…..
Embun ini menawariku warkat tentang semalam
Yang endingnya retoris
Kasih……
Kau hangatkan rindumu dalam benakku

Sumber gambar:mediasholeha.wordpress.com

Selasa, 24 Januari 2012

Renungan Dalam Hati

Rimbun Purnama sabit
Dijelajahi alam nelangsa
Kutukar bersama dingin malam

Getar...
Bintang tak berdusta
Sebab dusta merajalela ditelinga
     yang sembari hidup dalam duka

Lalu lalang pena tak kuasa ditepis tanpa dawai
Rebahkan dipenghujung mata
Walau itu bukan relaitas
Bulainya kertas hanya engkau mewujudkan
Tanpa titik-titik hitam
Tak ada luka dan kecewa

24 Maret 2006
Sumber gambar:matanews.com

Senin, 23 Januari 2012

Saat Bunga Tidur Menjemputmu

Lepaskan penat
dengan air yang mengalirinya
Biarkan angin menyapu
Beban resah pada kalbumu
lalu menjadi debu
atau menjadi serpihan saja

Titipkan serpihan
dalam bingkai bunga anggrek
dan Aku sematkan
di bilik hati bagian kiri



Sumber gambar: manguri.wordpress.com

Minggu, 22 Januari 2012

Sajak Sejak Kartika

Itu rindu
Dalam hati bermain
Depresi pada goresan tinta
Sajak Kartika

Sejak bersenda gurau
Tameng pun hampa dibuatnya

Waktu tanpa batas
Wujud rindu pada helai kertas
Menerawang dan mengawan
Sejak rindu itu masih dihati
Kau pasti perempuanku

Semalam Di Malaka

Sejak ia terbang
Tak jua urungkan niatnya untuk hinggap
Setetes ia beri kenangan
Dalam deskripsi sketsa wajah

Sejak ia liar
Tak jua ia ingin jinak
Sebutir kristal membanjiri penampungan
Pada malam di malaka

Sejak malam itu
Ia pun enggan berkomen
Tentang kelabu di nanarnya
Pada air tejun la Colla.

PINUS BERSAKSI

Dingin menusuk kulit seakan switer yang dipakai hanya sia-sia belaka, padahal switer itu cukup tebal diantara switer yang lain. Di teras pondok Hutan Pendidikan UNHAS, di atas meja telempar wacana Rais, Lia, Maya, dan Ferdi sambil menikmati indahnya malam bintang berkedip dan pinus melambai, sesekali pisau menembus semangka. Wacana itu semakin mencuat dengan perdebatan semakin sengit hingga terhenti pada titik jenuh dan hampa sebab sarapan malam pun tersedia, wacana itu pun menggantung tanpa ada kejelasan sebab perut mereka sudah lapar.
“Lia..Makan yuk…!” sapa Rais
Senyum dan tatapan mata seakan berujar bahwa Rais ternyata memiliki asa pada Lia, namun Rais tak mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan, karena Lia baru saja ia kenal. Entah mengapa… atensi Lia mampu menerobos eksistensi dari bayang-bayang dibenaknya.
Mata Rais menatap sangat tajam kepada Lia, seakan berujar bahwa Rais sangat mencintai Lia. Lia sosok seorang wanita selama ini ia cari. Dalam pengembaraannya ternyata ia menemukannya dalam keutuhan seorang mahasiswa baru di Kampus Biru yang bernama Lia. Walau Rais pernah sekarat di atas ranjang selama 1 bulan karena gadis ia cintai dulu menghianatinya. Maka dari itu, Rais sangat berhati-hati dalam mencari pendamping hidupnya karena ia tak ingin merasakan kepahitan dulu.
Usai sarapan Rais duduk di samping tangga, dalam termenung sambil menikmati malam dan menikmati sebatang kretek dan kopi hangat ditemani dendangan lagu-lagu nostalgia dari Anto.
“Prak..prak…, Kok melamun Rais..?
Lia menepuk pundak Rais dan melebur duduk bersama Rais sambil menatap bintang dengan dingin.
“Rais…apa yang kamu lamunkan? Ehm… dari tadi Aku memperhatikanmu selalu tersenyum sambil melihat bulan malam ini.”
Lia…Kamu tahu bahwa Aku sudah lama tak merasakan nostalgia dan kasih sayang dari seorang pasangan, dan Aku berpikir sampai kapan Aku mesti melihat bayang-bayang masa lalu, setelah gadis penghianat itu menabur garam pada luka yang lebar dan berlalu begitu saja dengan laki-laki lain yang tak kukenal dan kudapati ia dalam ruang tertutup sambil menikmati indahnya dunia nostalgia…bahkan dihadapanku dalam sekat, gadis itu memperkenalkanku dengan pria idaman lainnya. Sementara orang tua gadis itu menerima pertunangan anak perawannya dengan laki-laki itu setahun yang lalu, maka kuakhiri  dengan penuh luka nestapa.
Paska peristiwa itu, Aku tak berani menatap dunia bahkan Aku menjadi orang yang sangat bodoh dan nekat hingga Aku tak pernah percaya lagi dengan perempuan manapun dan akhirnya kuputuskan untuk hidup dalam kesendirian tanpa ada yang menghalangiku, hingga kenekatanaku…Aku berada dalam indahnya dunia gemerlap malam, dan melupakan bahwa Aku masih punya harapan. Sembilan bulan dalam kecanduan, minuman keras, hampir tiap malam Aku mabuk, bahkan Aku merasakan nikmatnya obat terlarang, ekstasi, sabu-sabu dan jarum suntik. Bahkan bekas jarum suntik itupun masih terlihat jelas ditangaku, satu bulan Aku berada di rumah sakit Dr. Wahidin dan hampir saja tak terselamatkan, ini disebabkan Aku mengendarai motor dengan kecepatan 120 km/jam dan menghantam truk pengangkut semen dalam kondisi mabuk, di ruang ICU itu harapan orang-orang disekelilingku agar Aku tetap hidup, dan Tuhan memberikan mukjizat hingga hari ini Aku mampu menatap dunia.
Setelah Aku agak baikan, tetap bayang-bayang obat-obat itu menghantuiku dan memancing Aku untuk merasakannya kembali. Akhirnya Aku dikirim ke Panti Rehabilitasi untuk menjalani pengobatan agar tak kembali dalam dunia terkutuk itu. Satu setengah bulan, Aku berada di Panti rehablitasi yang bernama Mekar Sari Surabaya, bergaul dengan orang-orang kecanduan obat yang persis sama dengan Aku, satu setengah bulan itu Aku jalani, hingga akhirnya Aku keluar dari tempat itu dan berikrar tak ingin berada pada dunia gelap itu. 
Tiga minggu yang lalu, dihari libur kuliah dan paska cuti akademikku, Aku masuk dengan wajah berseri di Kampus Biru ini, deringan telefon dari arah kantor…kucoba ayungkan langkah untuk lebih dekat dengan suara deringan itu… sesaat gagangnya telah berada tepat ditelingaku, ternyata gadis yang ada dibalik itu kamu..
Setelah pendaftaran ulang, Aku berpikir sampai kapan Aku mesti menjalani dunia gemerlap, sementara kenikmatan-kenikmatan itu meraung-raung memanggilku kembali. Tapi tidak, Aku tak mau hal seperti itu terjadi lagi, Maka kuniatkan untuk mengubah arah jalanku yang dulu hingga nanti Aku mendapatkan orang yang menjadi tumpuan hidupku. Entahlah apa gadis yang kuangankan ini mampu menjadi atensi dan eksistensi naluriku hingga ter-follow up pada indahnya dunia nostalgia. Jika  disuatu saat nanti pada malam pacci ada lomba domino, lamming menghias dan esoknya passolo datang dengan restunya. Tapi itu cuma fiktif belaka, Lia…, perempuan yang kuanggap mampu merealitaskan imajinasiku ini, apa ia sanggup menjalani kehidupan dengan Aku, sementara kondisiku hari ini mulai menurun, menurut kaum kapitalisme Aku mengalami devisit, terlantung pada dunia pengangguran, uang didompet kadang ada dan kadan tak ada, apakah ia sanggup hidup dengan derita?
Terakhir Aku mendengar gadis itu membenci mahluk yang bernama laki-laki, karena trauma dengan pria lajang sekampungnya yang notabenenya pernah menjalani ikatan romantisme denga pria itu selama delapan tahun, tapi Aku tak hari ini, apa ia masih menerima laki-laki dalam hidupnya atau sebaliknya menutup hati untuk kaum Adam.
“Rais…. Hidup adalah pilihan dan kupikir  apa yang kau rasakan sama persis dengan apa yang saat ini Aku rasakan, luka, derita bahkan nestapa pun melanda diriku. Gadis yang kau ceritakan barusan kepadaku itu, tepat berada didekatmu, dan kondisi hari ini lain, kemarin Aku berpikir tidak ada manusia yang nasibnya semalam denganku, kuanggap dunia ini begitu sempit hingga akhirnya kita dipertemukan di tempat ini, dipersaksikan tembang daun pinus dan gemerlap bintang.
“Lia…nostalgia itu indah tanpa ada kata dusta dan tanpa adanya aturan adat istiadat yang mengikat hingga apa yang kita rasakan dalam naluri kita sebagai mahluk individu, mahluk sosial yang saling mencintai tapi ia terhambat dengan orang tua yang masih kolot”
“Lia…    Pernah terlintas dalam benakku seandainya engkau mau menjadi pendampingku dengan ikrar bahwa tak ada kata dusta dan kita sepakat membawa hubungan ini dalam indahnya puncak nostalgia yaitu ikrar sehidup semati, dengan dihiasi genderang bertabuh-tabuh”
“Rais… hajatmu yang tulus terlalu indah untuk ditertawakan oleh khalayak umum” muka Rais berkerut heran…
“Lia…dengan landasan apa kamu mengatakan hal itu?”
“”Rais..dunia ini hanya sandiwara belaka, kita ini hanya pelakon, apa yang diinginkan sang sutradara seperti itulah kita”
“Lia.. Ok, Aku sepakat soal itu, bahwa manusia itu cuma berencana dan Sang Khaliklah yang menentukan, tapi ketika kita punya usaha, apakah kita pantas menggugat? Sedangkan beriktiar pun kita belum. Lia.. maaf kalau Aku mengungkit masa lalumu dan tak mungkin kita akan hidup pada masa lalu itu, masa lalu adalah kenangan, dan kita sama-sama menutup rapat kenangan itu sambil menatap esok yang lebih cerah.
Lia termenung menatap cakrawala, butiran-butiran kristal dimatanya jatuh perlahan-lahan membasahi pipinya.
“Lia..maaf..kalau Aku mengungkit masa lalumu”
“Rais..butiran kristal ini menjadi saksi bahwa Aku meninggalkan pengembaraanku dalam dunia khayalku  tentang nostalgia kemarin. Aku sadar bahwa dunia ini luas, mesti kuhadapi dengan keikhlasan dan tawakkal bahwa esok adalah impianku”.
Tak terasa perbincangan antara mereka menyisahkan dan menggugah hening malam, Lia..menyandarkan kepalanya pada pundak Rais, sambil berkata
“Rais…Aku tengah berusaha untuk membangun kepercayaan pada laki-laki dan kuharap jangan pernah menyia-nyiakan apa yang kuberikan, sebab tak ada tumpuanku selain dirimu

Bengo, 17 September 2007
Indra Anwar

Bila Itu Ada

Bila tak serius
Jangan kau buktikan
Remaslah bulan bahwa itu tak nyata
Jadikan pelangi bersama gemintang agar padu

Keseragaman niat hiasi titik hitam
Jenuh, kecewa, terluka merubahkan wujud
Berbauh utuh keliukan angan
Sebab putih telah punah

Kujejaki tana marusu
Berlabuh jauh tanpa arah
dalam roda samudera

Sumber gambar: eranindrop.woordpress.com

Berlalu

Sarapan pagiku jajakan koran
Sarapan siangku terik matahari
Sarapan malamku nyamuk
Perut dan pulasku tak mungkin kau tahu












Sumber gambar:fppi.web.id

Sabtu, 21 Januari 2012

SENYUM BU SULJA


Sejak perkenalan itu di ruang guru. Terbayang masa silam yang kaku dengan sejuta rekayasa imanjiasi dengan beberapa wejangan dan antusiasme dengan fenomena yang terjadi waktu itu. Pada langit kamar masih terbayang sosok perempuan yang pernah mengisi ruang-ruang kalbu dan mengisi malamku dengan senyumannya yang terkadang membutuhkan waktu untuk melupakannya.
Kedatanganku di Kota ini untuk menepis kenangan yang tergores pada lembaran lalu. Lembaran yang penuh dengan kenestapaan setelah beberapa warsa menguak dan memberiku makna bahwa aku harus membuka lembaran baru yang tak dapat dilanjutkan dengan asmara indah. Sejak pesta akad nikah dihadapanku malah aku sebagai saksi dari mempelai pria.
Paska akad nikah perempuanku di Kota Garut itu mengharuskan Aku kembali ke kampung halaman yang telah lama kutinggalkan. Kabupaten Maros Sulawesi-Selatan yang membesarkanku. Karena Aku tak ingin hadir dalam kehidupan perempuan yang kerap disapa dengan Maria, dan begitu pula sebaliknya.
“Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang saya hormati, di samping kanan saya ada guru baru yang akan mengajar di sekolah kita ini, beliau pernah mengajar di sekolah MTs. Darul Arqam Garut, sekarang beliau akan mengajar di Sekolah kita ini dan kebetukan beliau adalah putra daerah di wilayah ini, cuma beliau pernah mengajar di Garut, Beliau mengajar mata pelajaran Seni Budaya di Garut, cuma di sini beliau akan mengajar Bahasa Indonesia sesuai dengan jurusan beliau. (kata kepala sekolah yang memperkenalkan aku)” beliau ini bernama Pak Sahir.
Senyum dan bisik lirih dari rekanan guru, dan staf hangat menyambutku. Satu persatu kusalami sesuai dengan adat budaya di kota ini. Secara tidak langsung mengakrabkan suasana lebih hidup.
Dari arah utara… bayangan sosok seorang guru perempuan menghalangi pandangan mata.
“Pak. Sahir, ini Bu Sulja.. ia baru saja tiba. Silahkan perkenalkan diri…
“Sahir Bu.”sambil berjabat tangan
“Sulja, Pak”dengan nada tinggi.
Guru yang satu ini unik, belum pernah aku temukan guru yang memakai celana kalau mengajar, baru kali ini aku melihat di ruang lingkup Kementrian Agama, perempuan yang mengajar dengan stile seperti itu.
Bel berbunyi… sebagai pertanda jam pertama telah tiba saatnya… aku diarahkan ke kelas VII karena jadwal pelajaran di kelas VII adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Setelah Kepala Sekolah memperkenalkan aku dengan Siswa kelas VII, aku memberikan materi dengan metode role playing (metode yang sengaja kugunakan untuk materi pelajaran pertemuan awal karena materinya cocok dengan metode untuk mengakrabkan siswa dengan aku sehingga kesan pertama siswa dengan aku menjadi baik)
“Anak-anak, kali ini Bapak akan menggunakan beberapa kartu di tangan bapak, masing-masing perwakilan dari kelompok yang bapak bagi tadi mesti naik dan mengambil salah satu dari kartu ini, karena kartu ini, Bapak sudah isi kalimat perintah dibaliknya, dan kalian mesti mengikuti apa yang diperintahkan kartu ini.”
“Iya, Pak, (Seru siswa kelas VII dengan penuh semangat)
Siswa mulai bekerja sesuai dengan perintah dari kartu tersebut, ada yang tertawa setelah membaca perintah dari kartu itu dan adapula yang senyum membaca kartu itu, adapula yang berpikir setelah membaca kartu tersebut dan mereka beraktifitas mengerjakan perintah tersebut. Sesekali Aku mengontrol dan membina dalam mengajarkan, sungguh pertemuan awal yang mengasikkan bagi mereka hingga tak terasa waktu sisa 10 menit lagi jam mata pelajaran Bahasa Indonesia berakhir.
“Baik, anak-anak, sekarang kalian simpulkan… apa yang telah kalian lakukan tadi”
“Iya, Pak”
Tak lama Aku mengumpulkan bahan-bahan yang telah kugunakan dan perwakilan dari setiap kelompok mengumpulkan hasil kerjanya, kemudian bel melantungkan nada-nada indah dengan petanda bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia telah berakhir.
Hari pertama masuk mengajar di sekolah ini cuma 2 jam saja, aku kembali ke kantor istirahat dan mengumpulkan energi, agar stamina kembali pulih. Di ruang guru, beberapa guru yang bercakap-cakap karena jam mereka nanti jam 5-6, ada yang meluangkan waktunya membuka kembali buku pegangan, ada yang memeriksa pekerjaan siswa yang mungkin tak sempat dikerjakan waktu dirumahnya karena aktifitas rumah tangga.
“Silahkan masuk, meja itu adalah meja Bapak, maaf yah pak, mungkin ruang guru yang ada di sekolah Bapak dulu lebih bagus dan semua guru punya meja sendiri, kalau di sini pak, hanya beberapa saja karena sekolah ini baru dan fasilitas untuk guru masih minim” kata Bu Sulja.
“Terima Kasih, Bu. Sama aja bu, sekolah di sana dan di sini” balasku
“Pak, berapa lama di Garut?”
“Sekitar 3 Tahun bu, Waktu itu habis kuliah di STKIP Yapim Maros, aku memilih mendafar di luar Maros, sehingga aku ke Garut, itupun karena diajak teman di sana, ada kenalan di sana”
“Oh, Begitu, Pak., di sana mengajar mata pelajaran apa?
“Mata pelajaran Pendidikan Seni, kebetulan pernah aktif di sanggar teater setelah tamat SMU dulu bu”
Kepala bu Sulja mengangguk, mendengar perkataanku, perbincangan semakin membuat suasana lebih akrab, karena tipe guru seperti ibu Sulja ini memang membuat siapapun orang yang ditemaninya langsung akrab.
“Maaf, Pak. Aku harus masuk di kelas dulu, udah waktu jam pelajaranku” katanya, sambil berlalu.
10 Menit berlalu, aku mengambil tas dan pamit untuk  pulang, karena stamina agak membaik, aku menuju ke rumah.
Tiba di rumah, ku buka sepatu dan meletakkan di tempat sepatu, aku langsung ke dapur dan meminum seteguk air, karena suaraku agak serak.
“Nak, Pakkoga denre ri sekolah’e (Bagaimana di sekolah tadi?)” ibu bertanya dalam bahasa bugis bahasa daerah kabupaten ini.
Alhamdudillah Bu, . . . madeceng mua, magello maneng mua anak-anak ede (Bagus bu, siswa juga ramah dan santun)” ku balas dengan bahasa bugis.
Lokkani dolo istirahat nak… nappa lokka manre, engka tu’du bale ri lamari’E, pa elokka dolo mabbalingi tawwe liweng ma sokko pa elloni engka tamunna botting’ede” (Istirahatlah dulu lalu kamu pergi makan nak, ikan ada di lemari karena ibu mau ke sebelah ke rumah tetangga untuk menanak nasi karena tamu mempelai akan datang sebentar lagi)”.
Iye, mak… , cina’pi nappa lokka ka man’re pa mes’so mupaka sedding, kupapurai dolo kuparessa wassele jammana ana’-ana ku, malliweng ni. (Iya, bu . . . sebentar saya makan karena saya masih kenyang, saya mau periksa dulu hasil pekerjaan siswaku tadi yang mereka kerjakan).
Pekerjaan siswa satu persatu ku periksa dengan teliti dan memberikan nilai, hampir semua pekerjaan siswa tepat dengan apa yang diharapkan oleh perintah yang diberikan. Ku tulis satu persatu nilai di buku penilaian, setelah semua beres dan perut merasa lapar, aku pun beranjak dari tempat duduk dan mulai masuk ke dapur.
Habis makan siang, tiba-tiba suara poliponik HP berbunyi, nada sms yang kupasang melantugkan nada-nadanya. Ku buka pesan singkat di HP ternyata pesan singkat dari Bu Sulja yang ingin minta tolong untuk membantunya dalam kegiatan Ekstrakulikuler yaitu teater di Sekolah, ia ingin meng-casting beberapa pemain dalam menentukan karakter yang cocok sesuai dengan tokoh yang ada di dalam Naskah Toakala, Naskah yang pernah menjuarai perlombaan teater di Makassar yang dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Makassar katanya, karena ia adalah guru Seni Budaya, di sekolah tersebut. Sebentar sore katanya di aula sekolah. Aku membalas pesan singkat itu dan membantunya.
Tepat jam 14.00 di Aula sekolah para siswa telah sibuk latihan, mengambil property, alat musik, dan peralatan pementasan. Sementara bu Sulja belum tiba…
“Nak, Bu Sulja belum datang?”
“Iya, pak, Bu sulja menitip pesan, katanya kalau Bapak datang, tunggu beliau dulu karena Bu Sulja hanya mau ganti baju dan ke sini lagi Pak”
“Oh, iya, nak, kataku”
Aktifitas siswa-siswi MTs. Nurul Ilmu ini membuatku membuka memori tentang beberapa hal di MTs. Darul Arqam di Kab. Garut, kegiatan Ekstrakulikuler yang pernah Aku bimbing adalah teater, dan kini kembali Aku diminta untuk membantu membimbing.
Suara motor menghamburkan lamunanku, kubalikkan badan, mataku tertuju pada suara motor Tiger itu, ternyata Bu Sulja yang datang. Dia mengenakkan celana Jeans dan jaket lives cuma rambutnya ditutup dengan jilbab.
“Maaf, pak, Aku terlambat, tadi macet di jalan”
“Tak apa-apa bu”
Bu sulja, mengintruksikan siswa untuk mengambil posisi agar lebih cepat kegiatan berjalan, proses peng-casting-an dimulai, Aku bepikir, mungkin Aku akan kesulitan pada proses casting kali ini karena aku belum mengenal karakter dari siswa, dan naskahnya belum terlalu aku ketahui, karena baru kali ini naskah itu aku baca, jadi agak sulit bagiku untuk menentukan siapa yang cocok, untung bu Sulja mengimbanginya.
Tahap awal yang dilakukan dalam proses ini adalah casting individu, bagaimana mengenal karakter siswa dan menilai artikulasi, intonasi, mimik dan gesture dari setiap person. Yang kuamati semua siswa telah memahami unsur-unsur drama turgi sehingga awalnya aku berpikir kerepotan tapi teryata lebih mudah menilai. Mungkin karena siswa ini banyak yang menguasai konsep drama turgi sehingga Bu. Sulja memintaku untuk menemaninya menilai dalam proses casting.
Tiap tahap casting telah dilewati, giliran pengumuman casting yang dinanti-nanti siswa, tapi terlebih dahulu Bu. Sulja dengan Aku berembuk. Untuk menetukan siapa yang akan masuk dan berhak memainkan peran dalam naskah ini.
“Baik, anak-anak, sebelum ibu dan Pak Sahir, mengumukan siapa yang berhak lolos dalam casting ini, kalian hapal-hapal saja dulu dialognya, perhatikan prolog dan tentukan gerak timing kalian yah”
“Iya, bu”, seru dari siswa
Bu Sulja membuka catatan penilaian, aku pun memperlihatkan hasil penilaianku, tak lama berembuk, kepala sekolah datang dengan mengendarai mobil kijang berwarna coklat agak muda, kemudian melihat siswa-siswi yang sedang latihan.
“Bagaimana latihannya bu …, karena sebentar lagi lomba akan dimulai, waktunya sisa satu bulan”
Alhamududillah Pak, uda masuk diproses casting, dan saya meminta bantuan dari Pak Sahir, kebetulan pak sahir saya dengar adalah guru pendidikan Seni Budaya dulu di Garut jadi sekalian minta tolong untuk dibantu”
“iya, betul itu, Bu… saya juga harapnya Pak sahir ini dapat membantu kita nantinya”
Aku hanya dapat mengangguk, ternyata akan diadakan lomba teater  Se-Kab. Maros, kebetulan sekolah ini pernah mendapatkan juara ke dua, dan harapan Kepala Sekolah agar mendapatkan juara satu.
“Baik anak-anak, ibu akan mengumumkan siapa yang berhak memainkan peran dalam naskah ini”
Bu. Sulja membaca satu persatu nama yang telah lolos dalam proses casting, setelah mengjumlahkan hasil penilaianku dengan penilaiannya. Dan mengumumkan agar mereka lebih giat lagi berlatih.
Matahari mulai memerah di ufuk barat, badan telah letih, 30 menit lagi suara radio masjid akan berbunyi sebagai petanda waktu Magrib telah tiba, Bu Sulja memberikan wejangan kepada siswa yang telah lolos agar lebih giat berlatih dan menentukan waktu latihan tiap hari dengan mengingat bahwa lomba sebentar lagi.
Sementara Aku hanya duduk memperhatikan siswa-siswi tersebut dengan antusias dan loyalitas mereka keyakinanku menguat bahwa lomba sebulan akan datang Madrasah Inilah yang akan mendapatkan juara. Tak lama kemudian Bu Sulja, berdiri dan siswa pun beranjak satu persatu.
Bu Sulja berjalan mengambil Jaket, tas yang ada di meja dekat lemari, dan berjalan menuju ke arahku
“Pak, Terima kasih atas waktu yang bapak berikan hari ini, saya harap bapak dapat membantu saya dalam membimbing siswa di Sekolah ini.”
“Insya Allah, Bu”
“Bagaimana Pak, saya mengantar bapak, karena anda kan tidak membawa kendaraan”
“Makasih, bu, tapi cukup saya jalan aja, sekalian olah raga, Bu”
Bu Sulja dan Kepala Sekolah, meninggalkan Sekolah, Aku berjalan menuju rumah, lelah dan perasaan gembira berbaur dalam satu padu kehidupanku hari ini, karena lama aku bersua dengan kondisi yang seperti ini.
* * *
Sebulan latihan, akhirnya pementasan Teater  yang dilaksanakan oleh BKKI Kab. Maros, digelar besok, Bu Sulja sibuk dengan rutinitasnya sebagai pembimbing dan sekaligus sebagai penata kostum dalam pementasan kali ini, Aku menyiapkan beberapa property yang sesuai dengan kostum, instrumen musik, yang kerap berubah-ubah karena tak cocok dengan adegan, dan cahaya yang membuat suasana hidup, untung aku pernah melatih siswa di Garut hingga aku mampu mengimbangi kecerdasan dari Bu. Sulja. Geladi bersih kali ini dilakukan di Aula BKKI. Kab. Maros sekaligus sebagai pengenalan panggung dan menentukan posisi pemain, karena aula yang ada di sekolah agak berbeda dengan aula yang ada di BKKI. Kab. Maros.
“Pak, aula ini berbeda dengan aula kita di Sekolah” kata seorang siswa kepadaku yang bernama Hamka.
“Perhatikan arah masuk, untuk adegan pertama, dan lihat posisi kamu di mana ketika kamu memulai dialog pertama, karena saya mendengar dari panitia, tak ada mic, sehingga semua pemain membutuhkan artikulasi, intonasi, dan volume yang jelas, sekarang kalian naik saja dulu sesuai dengan apa yang kita latihankan di Sekolah”.
“Benar, kata Pak. Sahir, sebentar kita setting bagaimana letak kalian dalam berdialog” sambut Bu Suilja.
Bu. Sulja, mengarahkan siswa ke atas panggung, dan melihat jarak pada bibir panggung agar tak kelihatan monoton, komposisi panggung dihapal betul oleh Bu. Sulja sehingga tak ada kesulitan yang dilalui oleh siswa dalam geladi bersih, Aku memusatkan pada instrumen musik dan penataan cahaya, karena merupakan faktor yang menentukan dalam pementasan drama.
Akhirnya gelada bersih rampung, Bu Sulja kembali mengarahkan siswa agar menjaga stamina dan mental karena penonton bukan hanya anak sekolah karena ada dari pihak luar.
“Pak, besok anak-anak bertanding, mudah-mudahan kita dapat memberikan kontribusi kepada sekolah dengan mendapatkan Juara umum besok”.
“Insya Allah Bu”, kataku dengan mencoba memberikan semangat kepada Bu.Sulja
“Bapak, mau langsung pulang atau mau ikut dulu untuk makan malam bersama, sambil kita sharing-sharing dalam hal pementasan drama”
“Ehm….. kebetulan Aku tak punya agenda malam ini”
“Kalau seperti itu, aku membersihkan tangan dulu, kita sholat berjamaah di Al-Markas Al-Islami”.
“Iya, Bu”
Seusai sholat Magrib di Al-Markas, kami ke Rumah Makan, yang tak jauh dari Al-Markas, tempat yang selalu dinikmati beberapa pejabat di Kabupaten ini, Rumah Makan Elena, Fasilitas dan sekaligus tempat yang cocok untuk refresing bagi pejabat-pejabat, karena rumah makan ini memiliki fasilitas yang memadai, dan pengunjung dapat memesan lagu dan berkaraoke di tempat ini.
“Bu, apa ibu sering ke tempat ini?” tanyaku
“Tidak juga, Pak, Cuma kalau aku ada waktu senggang aku dan kakak ke sini untuk menghilangkan penat” Jawabnya dengan spontan.
Makan malam yang indah, suasana begitu romantis, hingga rasa yang pernah hilang, yaitu rasa tentang seorang laki-laki dengan seorang perempuan mulai memberontak dan membuatku mesti senyum sesekali untuk menyembunyikan apa yang aku rasakan.
Seuasai makan malam, Aku pulang dengan rasa yang gamang dan sangsi terhadap rasa yang nyaris menghilang setelah paska akad nikah Te. Lena dahulu. Bayangan wajahnya mulai menghanyutkan aku dengan buaian imajinasi pada setiap sela witir dan sujudku di tengah malam. Ya… Rabbi, mengapa aku merasakannya lagi. Aku tak ingin sakit lagi seperti dulu. Yang mengharuskan Aku menginjakkan kaki di kampungku. Kulipat sajadahku dan membaringkan tubuhku pada kasur, dengan mencoba untuk menepis perasaan itu.
Fajar menyapa dengan hangatnya hari ini, perlombaan teater yang digelar oleh BKKI Kab. Maros, dimulai jam 10.00, Suara musik poliponik kembali membuatku tersentak, pas ketika sarapan pagi hampir ku selesaikan.
“Bapak, langsung aja sebentar ke Gedung Kesenian, dan mendaftar ke panitia, Aku dan anak-anak akan menyusul”
Pesan singkat dari Bu Sulja, ternyata. Kubalas pesan singkat tersebut.
“Iya, Bu, Aku tunggu di gedung kesenian”
Setelah sarapan usai aku menuju ke gedung kesenian dan menemui panitia perlombaan, mengambil nomor untuk pentas, ku sms bu Sulja bahwa pementasan anak-anak pada pementasan ketiga tapi diharapkan mereka sudah datang 15 menit sebelum pementasan karena mereka akan menata panggung terlebih dahulu.
1 jam kemudian, rombongan telah datang dengan beberapa sporter, ternyata bu Sulja bukan hanya pandai dalam memanej siswa untuk bermain peran tetapi juga mampu menyakinkan untuk membawa sporter agar siswa mendapatkan motivasi dari rekan-rekannya.
Suara MC, memanggil Sanggar Al-Adzani, untuk melaksanakan pementasan, suara gemuruh dari penonton dengan alunan tepuk tangan yang memukau, suara sorak yang gaduh membuat siswa tambah bersemangat.
Tiba-tiba suasana hening ketika pemain pertama masuk dan disusul dari pemain selanjutnya, ku perhatikan pementasan ini, ada beberapa perubahan dari geladi bersih kemarin, karena memang aku menilai kemarin ada yang lemah dibagian adegan kedua, hingga mungkin diperkuat oleh Bu. Sulja tadi pagi, Juri mengangguk dan berbisik lirih dengan juri lainnya keyakinanaku bertambah bahwa yang mendapatkan juara dalam perlombaan ini yaitu sanggar kami.
Ending yang ditampilkan oleh anak sanggar Al-Adzani ternyata memukau penonton dan juri serta pemain lainnya. Suara instrumen musik dan penataan cahaya yang begitu memukau. Semunya sempurna. Aku melirik ke samping kananku, ternyata Bu Sulja tak ada, mataku liar mencarinya hingga ku temukan dia berada di pinggir samping kanan panggung sambil menikmati pementasan. Tapi siapa yang berada di samping kirinya dalam hatiku bertanya-tanya, mungkin itukah kekasihnya ataukah suaminya? Ah…. Sepengetahuanku ia belum mempunyai kekasih ataupun suami. Tapi siapa, kalimat ini memberontak dalam benakku. Ku coba menyimpan kalimat ini rapat-rapat, agar bu Sulja tak tahu bahwa aku menaruh kecemburuan menatapnya di sana.
Semua sanggar telah tampil, MC mengarahkan pada keputusan pemenang yang penilaian dilakukan oleh Juri.
“Baiklah hadirin sekalian, kini tiba saatnya kita mendengarkan hasil dewan juri, yaitu keputusan dari dewan juri untuk lomba teater 2010 ini, sanggar manakah yang akan menang? Kepada Dewan juri kami persilahkan untuk ke atas panggung untuk mengumumkan hasil keputusan dari dewan juri” MC memanggil dewan juri.
“Para hadirin sekalian, keputusan dewan juri, setelah menimbang beberapa sanggar yang telah tampil tadi, bahwa untuk kategori Aktor, aktris terbaik yaitu, sanggar Al-adzani”
Sorak-sorai dari sporter sanggar begitu gemuruh hingga hanya satu yang dilewatkan oleh siswa-siwi MTs. Nurul Ilmu yaitu penata panggung terbaik diraih oleh SMP Negeri 1 Maros, kemenangan yang mutlak, hingga Kepala Sekolah yang memegang piala Juara umum, terbata-bata dalam memberikan kata sambutan.
Usai penerimaan hadiah, aku keluar dari gedung dengan pertanyaan yang mengusikku, tak lama keluar semua penonton satu persatu keluar, dengan wajah yang berseri. Begitu pula siswa-siswaku.
“Pak, kita menang, makasih pak” kata Hamka
“Ia, Nak, jangan melupakan bahwa proseslah yang membuat semuanya seperti hari ini, teruslah berlatih yah”
“Ya….,Pak, Makasih”
“Pak Sahir,
Suara yang tak asing bagiku datang dari arah belakang, Bu Sulja memanggilku, aku membalikkan badan.
“Oh, iya Bu, ada apa”
Bu sulja ditemani dengan seorang perempuan mungkin orang yang disampingnya tadi adalah perempuan ini, mungkin saja karena agak maskulin.
“Pak, apa bapak langsung pulang, atau Bapak mau ikut kami?
“Maaf, Bu, mungkin aku langsung pulang saja, karena badan sudah letih bu, aku butuh istirahat”
“Oh, iya, Pak, ehm..perkenalkan Pak, ini kakakku yang kuceritakan tempo hari” sambil memperkenalkan aku dengan perempuan itu.
“Sahir, Bu”
Perempuan itu tak menjawab, ia hanya senyum, dan kemudian mereka berlalu, kayaknya tergesa-gesa. Bu Sulja dan perempuan itu menuju pada mobil Toyota yang ada di depan gedung, anak-anak sanggar telah berada di sana sedari tadi, mungkin mereka menuju ke Rumah Makan.
Ku bakar sebatang kretek, dan kemudian menaham mobil mikrolet menuju utara, hari ini hari yang sangat melelahkan, tetapi syukurlah karena anak-anak sanggar mendapatkan juara.
Sesampainya di rumah. Seuasai mandi, deringan telepon dari fleksi ku berbunyi, kemudian mati lagi, panggilan gagal tiga kali aku lihat ternyata panggilan dari Bu.Sulja. ada apa Bu.Sulja menelponku? Tanyaku dalam hati.
Ku pencet nomor felxi bu Sulja dan mencoba berkomunikasi tapi sibuk, aku mencoba untuk kedua kalinya, dan alhamdudillah udah diangkat 
Assalamau Alaikum, Bu”
Waalaikum Salam, Pak”
Maaf, Bu ada apa ibu menelpon, apa yang bisa saya saya bantu”
“Bapak ada waktu malam ini?”
“Ada bu, ada apa bu”
“Malam ini, aku mau melepaskan penat di Mall, boleh Bapak temani saya, kalau tidak keberatan Bapak langsung saja ke rumah dan menjemput saya di sana?”
“Iya, Bu, Sejam lagi saya ada, di rumah Ibu”
“Makasih, Assalamu Alaikum
Waalaikum Salam”
Kututup telepon dan menunaikan shalat Isya, karena waktu sholat Isya, telah masuk, setelah sholat dan berdoa, Aku berangkat ke rumah Bu Sulja, ditengah perjalananan, kutatap jam pada ponselku, jam menunjukkan 08.30, tiba-tiba pesan singkat masuk kubuka pesan itu ternyata Bu. Sulja yang menanyakan di mana posisiku, aku membalasnya bahwa masih diperjalanan, sebentar lagi hampir sampai.
Setelah sampai didepan rumah bu Sulja, dengan senyum menawan yang ia lemparkan ia menyatakan dengan bahasa isyarat bahwa lebih baik Aku yang mengendarai motornya menuju ke Makassar. Sesampainnya di Mall kami keliling dan makan pada suatu CafĂ© akan tetapi tiba-tiba HP bu Sulja berdering, namun Aku tak ingin mendengarnya atau tak ingin mengutil maka Aku berpura-pura ke belakang. Dari WC Aku kemudian kembali duduk wajah bu Sulja memerah seakan-akan darahnya mendidih setelah mendengar suara dibalik telepon tersebut. Tapi Ia pandai menyembunyikan kemarahannya.  
Diperjalanan Aku mendengarkan perkataan dari Bu Sulja bahwa calon suaminya telah menikah dengan orang lain di Semarang, sementara keluarga Bu Sulja telah mengetahui bahwa setelah laki-laki itu pulang dari Semarang maka ia akan meminang Bu Sulja akan tetapi semua harapannya  pupus.

Kobarkan semangatmu wahai guru

Dalam tetesan keringatmu
Kepanasan dimusim kemarau
Kedingininan dimusim hujan
tak hentinya......
Kau mengajariku tentang abjad dan angka

ada resah dihatimu.....
ada risau dikalbumu
ada canda dibibirmu
dan ada kalanya kau mencubit kami
dengan senyumanmu

Guru....
Baktimu... kau berikan kepada muridmu
Jasamu akan terkenang
                                                 

Sumber gambar:kkggugugviii. wordpress.com

Masihkah Kau Mengingatnya?

18 Februari 2011
47 pejuang pena
menyembelih waktu demi cita
2 diantaranya menerkam cinta di tanah lot
menjadikan Borobudur saksi bisu

apa lagi pergelangan tangannya terhias
baru kali itu matanya berbinar
di serambi kelam malam
ia tawarkan canda di dadanya
dan merajai beberapa bait perjalanan

sungguh rindu tak terukur

Jiwa-Jiwa Meronta

Sepatu itu robek dipinggirnya
Masih tetap terpakai
Baju itu udah usang
Tetap di badan

Nun seberang lautan
Membangun gubuk
Di atas retak jiwa-jiwa peronta
Di atas hidup tertindas