Rabu, 18 Januari 2012

PINISI CINTA


Dari jauh terdengar kalimat bahwa kerap manusia itu berubah, seiring waktu berjalan Kutemukan beberapa sajak yang telah luntah karena telah usang dimakan debu dan hanyut terseret gelombang. Makna filosofinya tak lagi mampu untuk menjadi lantunan syair tengah malam dan tak akan ada lagi semiotik yang dapat diterjemahkan oleh gemintang sebab ampas rokok tertelan bara apinya. Darimana lagi dapat ditemukan ukiran semahal itu bahkan tak dapat dinilai dengan rupiah karena benda bukanlah benda dan ia abstrak. Ini menjadi fenomena alam yang tak dapat diterjemahkan dalam kamus apapun juga.
Secercah harapan dan hajat yang tak lagi mampu untuk diresapi apa arti dari semua pengorbanan karena pengorbanan itu sendiri telah terhempas dalam gemuruh bara dan badai yang entah dari mana datangnya.
Wacana di atas menggugah Haikal untuk berkontemplasi dengan jiwanya untuk menemukan satu titik di mana dan ke mana perjalanan romantisme yang hampir setahun ia rasakan akan sandar sebab lagi-lagi pelabuhan yang kerap ia impikan tak mampu menjadi apa yang dihajatkan olehnya. Hanya Sang Khalik yang tahu jawaban itu semua.
Dalam catatan hitam ia menjadi orang yang paling menakutkan dan tak ada yang mampu untuk menjadi sandaran hingga ia mencatat dan mengores catatan putih dalam hidupnya yang ada hanya kebimbangan dan kehidupan suram. Maya yang pernah menjadi tumpuan hidupnya telah undur dalam hidupnya karena tak kuasa menahan penderitaan batin yang dialaminya terhadap Haikal, padahal Haikal masih menaruh harapan dan menghapus beberapa catatan putihnya dalam dunia hitamnya.
Maya pun hengkang dari kehidupannya seperti ustasa-ustasa lainnya, Maya banyak mengajari Haikal tentang makna hidup, banyak memberi wejangan tentang apa arti dari kehidupan ini tapi itulah hidup, kadang di bawah dan kadang pula di atas tak ada yang sempurna. Akhirnya, Haikal dengan keikhlasan melepas Maya dari palung hatinya dan siap menerima konsekuensi dari apa yang ada dalam dirinya tentang dirinya.
Setelah kepergian Maya, Haikal sering termenung dan melamun, “menjadi orang yang baik itu ternyata sulit“ kata Haikal dalam dirinya.
“Haikal, inilah hidup, inilah realitas yang terjadi dan tak ada seseorang yang mampu menjadi malaikat, karena Sang Maha Adil telah menentukan jalan seseorang dalam dirinya sendiri”
“Iya ….., pernah Aku berpikir, bahwa Tuhan tidak adil padaku di mana saat Aku menemukan pelabuhan yang dapat kusandarkan Pinisi cintaku ternyata ia pula hengkang dan pamit setelah menitip pesan “bahwa jangan pernah berubah karena seseorang tak ada yang mengubah dirimu kecuali engkau yang mengubah jalanmu sendiri”. Tapi setelah kontemplasi yang kulakukan selama beberapa warsa ternyata pola paradigma itu sendiri yang membelengguku untuk tidak berbuat apa-apa. Setelah malam pengurungan diriku selesai, Kupikir pula mesti mengambil sikap dan tegas terhadap diriku sendiri.
“Keputusan yang kau ambil mudah-mudahan tak salah dengan menyendiri dan tak lagi mencari wanita sebagai pengganti Maya, sementara Tuhan memberikan kepada kita kebebasan dalam surat Ar-Rum ayat 21 untuk mencari ketenangan hati. Lihatlah dan renungkan baik-baik karena ini akan menyiksamu sendiri yang jelasnya jangan pernah engkau berniat lagi untuk mencoret catatan hitam lagi dalam hidupmu”.
XXXXXX
Dua warsa telah berlalu, disisi lain Haikal dengan kesendiriannya menatap cakrawala yang terhempas sangat jauh dan luas, gemintang berkedip sangat banyak sampai manusia pun tak mampu untuk menghitung berapa jumlahnya.
“Haikal, Aku bersyukur karena engkau ikhlas menerima konsekuensi dari keputusan Maya dan telah melupakan dia dari kehidupanmu”.
Walau berat Aku rasakan namun inilah konsekuensi logis yang mesti Aku terima sebab, Aku tak ingin terlarut dalam kesedihan ini, sementara Aku mesti bangkit dari keterpurukan yang telah menghantamku dalam kegalauan, dalam kegelisahan tanpa ada kalimat yang bijak untuk dianalisis.
Lama Haikal merasakan pahit hingga akhirnya ia berkenalan dengan perempuan yang bijak dalam mengambil sebuah keputusan dan nyambung untuk menjadi teman, gadis yang cantik dan memikat hati para pria yang menatapnya. Perempuan ayu itu bernama Maria. Maria adalah gadis yang berdomisili di kecamatan yang sama dengan Maya namun berjauhan tempat tinggal. Maria yang kerap dipanggil Ria ini telah mengisi hari-hari Haikal dengan penuh fantastis hingga berada pada dunia di mana Haikal pernah merasakan dunia itu bersama dengan Maya.
Kehidupan yang tak pernah terduga dan banyak rahasia didalamnya, konsep roda kehidupan benar-benar ada bahwa tak selamanya manusia itu berada di alam penderitaan tapi kadang pun ia akan berada pada dunia kebahagian.
Kenikmatan-kenikmatan yang Haikal lewati bersama dengan Ria sangat berbeda dengan Maya, sebab terlalu banyak perdebatan dan perbedaan yang dirasakan oleh Haikal namun itulah yang mereka jalani, kisah yang penuh dengan perbedaan pola paradigma dan kadang memunculkan konflik laten hingga berakhir pada konfrontasi yang tak ending.
Kisah ini dilalui Haikal begitu serius namun, tak dapat dipungkiri bahwa Haikal masih menaruh harapan agar Maya mau kembali untuk melewati masa-masa indah bersama Maya walau pernah ia berniat untuk meninggalkan ilusinya itu namun bayang-bayang Maya kerap menghantui dan mendapatkan posisi teristimewa dalam benak Haikal, untuk melewati masa-masa indah bersama Maya.
“Ya … Sang Rabbi, Engkau memberikan Aku kekuatan dan kelemahan, Engkau pula yang memberikan Aku sakit dan Engkau pulalah yang memberikan Aku obat, tapi Aku tak dapat memutuskan dan mengambil sikap yang mana harus Aku lalui dan menerima keputusan ini. Apakah Aku harus terlena dengan Maya ataukah Aku harus menjalani kehidupan romantismeku bersama Ria walau banyak perbedaan didalamnya, hanya Engkaulah yang dapat memberikan Aku jawaban dari apa yang Aku alami ini. Ya . . . Sang Maha Adil tunjukkanlah Aku keputusan hingga Aku tak menyakiti mereka. Amin. Deruh Haikal dalam doa
Hati Haikal kerap tak menentu kadang memilih untuk lebih setia ditemani dengan bayang-bayang Maya, kadang pula ia tak ingin menyakiti hati Ria, walau banyak perbedaan didalamnya.
Seusai shalat Isya, gema takbir terdengar sampai ke sudut-sudut desa, dalam hati Haikal bersimpuh malu terhadap dosa-dosa yang pernah ia perbuat dengan hati yang penuh dengan dosa, Haikal memanjatkan doa agar dosa-dosa yang diperbuat dapat terampuni.
Seusai takbir dan zikir Haikal bangkit dari duduknya dan pulang ke rumah. Pesan singkat yang ada di HPnya. Sebanyak tujuh pesan dibuka, satu diantaranya adalah pesan permaafan dari Maya dan satu diantaranya pesan dari Ria.
Haikal yang tak sanggup mengambil sikap sampai detik itu, hanya dapat menjalani semua seperti air yang mengalir dan tak kuasa lagi untuk melawan kehendaknya. Aku mesti mengambil sikap, walau ada konsekuensi yang Aku terima, Aku tetap memilih di antara mereka. Di sela renungan terhadap Maya dan Ria, dering tone sms berbunyi hingga menghamburkan lamungan Haikal.
“Haikal, kadang orang berpikir bahwa dunia ini tak abadi, dan apa yang kamu pikirkan itu tak akan terwujud karena Aku telah menjadi milik orang lain, Kuanggap ia lebih matang dalam berproses, Aku sangat menyanginya walau Aku tahu ia telah menghianatiku, tapi inilah cinta dan cinta tak dapat dipaksakan”. Salam Hormatku. Maya.
Ya, …. Sang Maha Pemurah, Inilah konsekuensi itu dan Aku ikhlas menerima keputusan ini. Sejak pesan singkat itu Aku tak berani lagi memikirkan Maya dan Aku lebih memutuskan untuk menjalani kisah asmaraku bersama Ria, karena Ria gadis yang memiliki keunikan walau di antara kami memiliki banyak perbedaan yang urgensial.
Aku hanya dapat membawa cintaku ke palabuhan dan Kubiarkan pinisi mengantarnya ke pelabuhan seberang sana, walau Aku sadar bahwa wajah ayunya masih menghantui broka dan darahnya masih mengalir dalam darahku.
Maya Lestari jadikan Ia sebagai pelabuhan terakhirmu dan jadikan Ia sebagai Arung dalam kerajaan hatimu dan biarkan Aku menjadi ata karena ata tetaplah ata tak mungkin manjadi Arung. Selamat tinggal Pinisi yang telah Kupahat selama tiga warsa, labuhkan cintaku hingga cinta itu menjadi kekal dan abadi dalam sanubari pecinta.
Maros, 18 Oktober 2008
Dari kangen yang terbelenggu
Menerawang dalam ruang nestapa
Pinisi cinta labuhkan cinta ini
Dalam ruang nikmat

Indra Anwar

3 komentar: