Sabtu, 07 Januari 2012

Air mata di sajadah merah


Text Box: 1Dua bulan di ibu kota Negara ini, dengan berbekal sedikit talenta dan demi menghidupi kami berdua nyaris tiap hari berada di metro mini atau resto kami berdua mengamen demi bertahan hidup di kota ini.
“Ndi, apa kamu menyesal ikut denganku” pernyataan ini terlontar dari mulut…… setelah menerima uang receh dari konsumen resto di pinggir jalan cempaka raya.
“Daeng, sekali layar terkembang pinisi pantang berbelok arah walau badai di hadapan mata, sekali berkomitmen untuk menjalani hidup maka pantang untuk undur sebelum mencapai puncak”
Ku yakinkan ia karena cinta yang kami tanggung dan amanah dari cinta itu yang telah terpatri, walau aku tahu bahwa tubuh ku telah berlumur dosa, aku hanya dapat berharap bahwa kedua orang tuaku dapat memaklumi mengapa aku memilih jalan ini.
Dua bulan menjalani kehidupan tanpa mengenal lelah walau terombang-ambing, tetap pada suatu sikap yang membuatku harus bertarung hidup bersamanya. Ya..Rabb ampuni dosa hambamu ini.
Malam berganti di pelataran parkiran ancol kami menjalankan rutinitas sebagai pengamen, demi menggapai seribu demi seribu untuk mengumpulkan anggaran dan demi sesuap nasi demi bertahan.  Walau aku sudah melamar pekerjaan dengan berbekal ijazah yang ku bawa empat bulan yang lalu terbit dari perguruan tinggi tetap tidak ampuh untuk bersaing mendapatkan pekerjaan.
Sebuah lagu dari iwan Fals ku dendangkan kali ini untuk memuaskan pelanggan yang lagi menyatap hidangan di warteg, ada yang lagi asyik ngobrol sambil menikmati kopi.
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu, mohon maaf kepada semua pelanggan warteg, kami menyita waktunya sejenak untuk melepaskan penat dan beban pikiran dari saudara-saudara, lagu ini kami  persembahkan untuk kawan-kawan semua. …..mulai memetik gitar akustik dan aku mendendangkan dengan hikmat.
Berjalan seorang pria muda……… dengan jaket lusu dipundaknya…….. Di sela bibir tampak mongering…”
Lagu ini ku tuntaskan sampai habis karena aku melihat pelanggan rseto menikmati lagu dari bang iwan Fals. Setelah itu lagu kedua yaitu Guru Omear Bakri juga ku dendangkan.
Terima kasih kepada kawan-kawan, saudara-saudari yang mendengarkan kami sejenak.  Kemudian aku mengambil pembungkus gula-gula untuk mengumpulkan seribu demi seribu dari pelanggan warteg.
“Kayaknya kota ini tak cocok untuk kita, saya pikir mungkin kita harus bergeser ke kota yang mungkin bisa membuat kita hidup lebih baik.
“Iya, pikirku
Bola raksasa di ufuk barat telah menyala menghantam laut dan berbaur memerahkan laut yang tadinya biru.  Kami beranjak pulang dan berkemas dan sekaligus meminta pamit ke teman yang rumahnya digunankan untuk  berteduh dari sinar matahari dan hujan
Pagi suara bising kendaraan sudah beraktiftas, metro mini mengantar kami ke satsiun gambir menuju kota jogya. Kereta ekonomi beranjak pagi walau berdesak-berdesakan tetap kami sepakat untuk tetap menjaga keutuhan romatisme kami.
Pukul 17.00 tiba di stasiun yogya, kami turun dan memulai berpikir ke mana arah kaki melangkah maka disitulah kami berteduh.  Rencana awal mencari tempat kost untuk berteduh dengan berbekal dana dari hasil ngamen kami berharap dapat bertahan di kota ini.
“Bu, di dekat sini ada tempat kost? Kataku pada salah seorang penduduk yogya
“oh iya, ada dik, di ujung lorong sana ada tempat kost, silahkan tanya di sana. Sambil menujuk lorong tersebut.
“iyaa makasih mbak, kataku”
Kami menyusuri jalan tersebut, dengan beban ransel dan gitar yang kami bawa menuju tempat sewa tersebut.
“Bu, maaf kami mau mencari tempat kost, apa disekitar sini ada?
“Oh iya kebetulan dik saya menerima orang yang mau ngekos, silahkan masuk”
“Kamar 2x2 sebagai saksi kali ini semoga aku tak tergilas dengan waktu, dan malah memanfaatkan waktu, ndi… kamar ini apa cukup luas untuk kita berdua?
“walaupun dikolom jembatan aku tetap akan ikut denganmu, karena itu sudah menjadi budaya dan komitmen ku”
“Tapi, seacara agama belum mengijinkan kita untuk tidur berdua, karena kita belum resmi menjadi suami-istri”
“lalu, kamu mau tidur dimana, sementara luas kamar ini hanya 2x2 saja, 1 bed dan dapur?
“ehm..istirahatlah dulu, entar kita pikir”
Pakaian ku masukkan ke dalam lemari, dan kami ke luar mencari makan karena perut sudah lapar.
“Daeng, apa sudah ada jalan ke luarnya?
“kita cari warteg dulu, entar kita bahas, itu sana wartegnya”
Sambil makan kami berdua berpikir apa yang akan dilaksanakan di kota ini, karena kota ini asing bagi kamu berdua, tak ada yang kami kenal.
“Daengm, bagaimana apa sudah ada solusi? Pertanyaan ini lagi-lagi kulontarkan”
“ehm.. entar malam kita ke masjid setelah itu meminta iman untuk menikahkan kita”
Jawaban itu menggetarkan antara percaya atau tidak kalimat ini terlontar, aku gugup dihadapannya baru kali ini aku seperti ini, percampuran dua unsur  yang merasuki tubuhku dan mengalir dalam darahku memali vena, ah bukan mungkin arteri… karena kalimat itu langsung menembus jantungku. Aku hanya dapat mengangguk untuk menyatakan secara semiotic untuk kata sepakat.
“Sebentar lagi gelap, suara adzan telah didiperdengarkan, sekarang kita menuju masjid dan sholat magrib dulu, lalu setelah itu kita bertemu dengan pak iman”
Kami berdua ke masjid terdekat dari kost, setelah menunaikan kewajiban kami selaku muslim kami berdua bertemu dengan pak iman.
“Assalamu alaikum ustas”
“Waalaikum Salam mas”
“Ada apa, apa ada yang dapat saya bantu”
“Ini ustas, kami berdua ini baru saja tiba dari Jakarta, kami ini bingung karena kami bukan suami istri tapi kami sewa tempat kost Cuma satu guna mengirit dana yang kami punya, tapi yang menjadi kendala kami menginginkan hubungan kami ini sah agar tak terjadi fitnah di sekitar kami”
“oh gitu, ehm duduklah, aku panggil saksi dan pak RT, agar pernikahan kalian menjadi sah sesuai dengan syariat, saya akan jadi wali dari perempuan dan warga yang ada disini dan Pak RT akan jadi saksi untuk pernikahan kalian”
“Iya, ustas, saya mengucapkan terima kasih”
“Setelah sholat isya sebentar kita akan lakukan pernikahannya”
“Oh iya, sudah saatnya sholat isya, mari kita tunaikan kewajiban kita”
Aku berjalan ke belakang di sap wanita, menuju tempat wudhu dan menunaikan sholat isya.
Setelah sholat isya aku berpikir seandainya ayah dan ibu menjadi saksi penikahan kami adalah suatu keburuntungan, ini pernikahan yang urgensial dalam hidupku dan sakral. Sajadah merah ini menjadi saksi bagi kami bahwa esok telah terbuka lembaran baru khidupan kami, tapi ayah dan ibu? Apa aku harus mengabarinya? Mungkin ia marah kepadaku? Ya..Allah ampunilah segala dosa kami, aku tak mampu menahan air mata yang telah tumpah karena sebentar adalah prosesi pernikahan kami, pernikahan yang tak mendapat restu dari orang tua, semoga ke dua orang tuaku mengampuni dosa kami.
Aku menghapus air mata itu, dan berjalan menuju ke dekat …. Untuk mengucap ijab qabul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar