Jumat, 13 Januari 2012

Kalimat Terakhir dalam Batas Indah


Langkah dalam batas impian hanya sebuah kalimat indah yang dapat diapresiasi dengan tingkat analisis yang memiliki pondasi kuat. Awal kisah romantis ini, dimulai dengan kesepakatan ideologi dengan ikhtiar dan akad tak akan berpisah. Indah memang jika membaca wacana dari wujud implementasi rodaeng yang dijalani, Kalimat tersusun dengan apik hanya untuk menepati ruang rindu dalam bingkai ikrar yang terucap.
Daeng…... Engkau bagian dari jiwa yang terbelenggu, engkau separuh dari jiwa yang kian meresapi bahagia, di mana malam cemburu, bintang mengajungi jempol, bulan merasakan bahagia sambil tersenyum, matahari memberikan pancaran cahaya suci di dalam asmara yang dilakoni. Ini ikrar dari iga yang tak pantas menjadi pendampingmu, Daeng…... Tapi kita sepakat menjauhkan materi yang bersifat finansial, kita sepakat melenyapkan kadar fisik. Dan kita telah berjanji bahwa ketika badai nanti datang menghadang asmara yang kita perankan akan kita jalani. Walau ada konfrontasi dalam konflik itu, kita tetap bersama menghadapinya dengan menimalisir konsekuensi dari konflik itu.
Luna … Kesepakatan itu telah tertanam dan terpatrih dalam wujud ketidaksempurnaanku, dalam kangenku hanya yang ada itu kamu, Luna. Meski racun berada pada tubuhku mencabit-cabit urat-uratku, mesti darahku tak lagi merah karena tertumpah, mesti madu tak ada lagi, engkau tetap menjadi iga, rusuk yang kukagumi dan pantas menjadi iga sebagai penyempurna tulang rusukku yang bengkok.
Fajar membangkitkan aku dalam ruang kangen, dalam lamunan. Sejarah ringkas yang tak menjadi realitas sebab cengkeh telah habis dipetik, merica telah punah dan kebun tak lagi menjadi impian yang indah, sebab kalimat terakhirmu kemarin membuat ruang rindumu, dalam nurani dan sukmamu bukan menungguku untuk menjadikanmu sebagai rani tetapi memilih lelaki bijak dan berwibawa dengan melupakan ikrar yang terpatrih yang pernah diucapkan pada malam hari Ulang Tahunku. Meskipun hadiah yang kau berikan itu tak kulupa, kado yang terbungkus dengan rasa kasih sayang dan cinta yang tulus darimu, namun hadiah itu hanya sebuah cerita lama yang tak berending dan tak pernah lagi menjadi bagian darimu.
Deringan music poliponik, membuat lamunan tiap hari menjadi santapan malamku itu, mesti berhamburan dengan mendengar dan melihat tulisan dalam ponselku yaitu namamu yang terangkat. Engkau berujar tentang janji, dan sumpah dalam dirimu bahwa kalimatmu akan direalitaskan melalui kesabaran lalu kupetakkan wilayah kenangan kita, daenga dimana itu indah dengan sendirinya.
Lapuk Katamu, usang ujarmu, hadiah itu biarlah engkau yang menatapnya pada alam impi, pada alam maya dan alam ilusi yang hanya membuatmu hidup dengan rasa sayangmu sendiri.
Luna… engkau melupakan kado ulang tahunmu, yang mungkin tak pantas untuk menjadi kisah tersendiri dalam diri kita. Hadiah itu kau anggap kecil dan hanya sebuah kado yang tak bermakna melalui sikapmu yang membuatku ternyata menggelengkan kepala.
“Hadiah itu, sangat bermakna bagiku, sebab pertama kalinya aku mendapat kado yang seindah itu, Cincin dengan balutan permata. Dengan hiasan cinta dan mesra. Sungguh tak luput dari kemesraan, cincin itu sangat bermakna bagiku.
Daeng”Kado yang pernah kuberikan pada malam ulang tahunmu itu, biarkan ia menjadi kenangan dalam ruang asmara kita dahulu, tak pantas lagi kita sebut dengan rasa kasih sayangku sebab rasa sayang itu telah kuhempaskan pada telaga air mata, Bantal menjadi saksi, guling menjadi penjagaku, dan selimut adalah teman curhatku ketika Aku lebih memilih lelaki yang memiliki finansial dan raut wajah yang kubanggakan.
Luna” Proses tanggung jawab dan amanah yang telah kusematkan dalam darahku, mengalir keseluruh tubuhku yang menjadi tulang raga, sukmamu kerap hadir dalam bingkai malam, pada langit-langit kamar, walau cecak kadang menertawai, dan wajahmu menari-nari dalam kelopak mataku. Sungguh menyiksaku lun….
Daeng ”Hidup ini adalah pilihan, waktu itu engkau menyuruhku memilih di antara dua wujud yang tak sempurna di Mata Tuhan, setalah kutimang tanpa sholat ikhtiara, ku pilih dia karena ia matang menurutku walau aku tahu perasaan Daeng…, akan hancur, emosional, membuatmu hilang kendali, sebab kupikir tak ada pilihan yang lain Aku harus memilih, kausal yang ada pada diriku malam ketika tiba dirumahmu, membuatku hancur, isak tangis, karena kalimat orang tua daeng… yang seakan tak merestui hubungan kita.
Luna. Hidup memang pilihan. Pilihan yang kau berikan, konstitusi dan konsekuensi yang engkau berikan kepadaku sunggug tak berargumen. Penjelasanku tak pernah kau terima, Orang tuaku bukan tidak merestui, tetapi ia merestui hubungan kita, bahkan ia ingin menjadikanmu sebagai menantu. Luna… kasih sayangku tak surut.
Sudahlah Daeng…... Keputusanku telah bulat walau engkau jelaskan dengan argumen apapun tak membuatku undur dari keputusanku, walau aku jujur Daeng…, aku ingin kita bahagia, ingin menjalin asmara kita dengan ruang rindu yang kita realitas tiap malam dengan deringan telepon atau paling tidak dengan sms. Tapi itu mustahil, Daeng….., Aku akui kesalahanku dan membuat Daeng…. mesti cek up kesehatan hampir tiap hari, dan jauh karena di sulawesi ini tak ada obatnya.
Teleponpun terputus. HP diletakkan dengan kekuatan yang tak penuh. Kesia-siaan yang kulakukan. Yach.. Rahman…. Kau lebih tahu serumit apa kendalaku, siapa yang membuat hubungan ini berantakan, salahku di mana, apa Aku pernah berbuat salah kepada orang yang menghancurkan hubungan ini.
Seminggu tak menatap canda dimataku dalam cermin, ku coba menganalisis semua kejadian ini, paska pertemuan awal dan awal dari kehancuran ternyata kudapati sebongkah kebohongan dari orang yang pernah kutemani di rumah Luna, orang yang kuanggap sebagai sahabat, orang yang kuanggap tahu penderitaanku, ternyata ia meracuni hubunganku dengan Luna. Orang yang ku percaya karena ia sering memberikan info ke mana Luna akan keluar jalan dengan laki-laki itu, sungguh rapi dan membuatku nyaris mempercayai untuk kedua kalinya paska pertemauan awal itu, walau kecurigaanku telah mematoknya sebagai penghianat, musuh dalam selimut, tapi serapih-rapihnya rencana yang ia buat tak membuatku luput menganalisis stekholdernya. Tapi masih  ada stekholder yang belum kuketahui, namun entah apa penyebabnya hingga ia ingin menghancurkan hubungan ini.
Imran, engkau tentu tahu, kesetiaanku kepada Luna utuh. Engkau tahu seberapa dalam rasa yang telah kuberikan ke Luna, sebagai bukti kita mengantarnya ke istananya, walau rasa malu tertahan, walau besar daengalah yang ada di bumi pertiwi, tak jua menyurutkan aku untuk membuktikan kepada Tet’ta dan ammakmu serta saudara-saudaranya tentang hubungan yang kujalani dengan Luna.
Iya, Daeng…... Aku tahu karena dua malam dua hari kita menjalaninya bersama.
“Imran, tentu pula itu bukan rahasia kami beruda, tapi paradigma apa, kenapa orang tega menghancurkan hubungan kami, tega menjerumuskan Aku dalam lembah yang tak bertebing. Sampai aku jatuh dan akhirnya penertawaan itu ada dalam mata orang yang ingin mengahancurkan Luna. Katakan Imran, salahku apa?
Maksudmu, Daeng?
“Imran, Seganas-ganasnya harimau tak mungkin memangsa saudara dan anaknya sendiri. Tentu kau tahu itu, Aku tak pernah menyalahkan keputusan Luna, tapi yang sangat kusesali adalah seseorang yang menertawai ketika Luna sakit. Yaitu orang yang menghancurkan hubungan Aku dan Luna. Tapi imran aku bukan orang dendam.
“Ha….ha…ha…, Daeng…. kalau ternyata engkau tahu bahwa siapa orang itu, apa yang daeng… lakukan? Dan ternyata orang itu bukan ingin menghancurkan daeng tetapi ingin menghancurkan Luna bagaimana? seandainya Daeng tahu bahwa orang yang mengenalkan Luna dengan lelaki itu bukan ingin melihat luna bahagia tetapi ingin menghancurkan Luna dan ternyata orang tersebut tak sendiri apa yang Daeng lakukan?
Diam, urat nadi Bram tak berdetak, pemikiran menerawang, ada apa dengan konflik ini, siapa stekholder yang menjadi otak dalam konflik ini, Apa wacana yang ku sebar ketahuan, yang hanya untuk mengetahui siapa yang menjalankan rencana ini. Sehingga sudah hampir 75 % berhasil. Siapa yang ada di belakang daengalah ini, pikirku.
Dua jam pikiranku melayang, seharusnya bukan ini yang kupikirkan tetapi bagaimana ujian esok, atau aku lebih memikirkan kajian sosial. Tapi, tiba-tiba gambaran wajah Luna, dengan kalimat ia bukan orang lain tetapi, ia berteman dengan Imran, kalimat itu membuatku mendapat gambaran nyaris utuh, kalimat Imran pun berbunyi di gendang telinga, daengalah ini aku yang bersalah kata Ani, Ani mencap Imran bersalah, Pantas, wacanaku nyaris tidak berhasil karena Imran yang melakukan ini semua. Tapi apa yang dikehendaki Imran? Imran pun tak sendiri dengan aksi yang dia laksankan ini, daengih ada stekholder yang sengaja menghancurkan hubunga tali asmaraku bersama Luna bahkan ingin melihat luna jauh dari kota ini. Itukah yang diingin stekholder ini, bahwa luna mesti meninggalkan kota ini, karena setiap kali melepas dahaga kangenku kepada Luna, setiap kali itu pula ia menertawai Luna.
Pada alam ilusi aku bertanya, Imran sebenarnya apa yang kau inginkan kenapa mesti mengorbankan Luna? Walau kau tahu bahwa Luna banyak berutang budi kepada kita, Malam itu pula kenapa memberikan aku warkat dan menyarankan untuk memberikan pesan.
Setelah warkat Kudengar bahwa Luna memberikan kasih sayangnya kepada orang lain, maka kuputusankan undur dari kehidupannya, walau pernah kalimatnya terlontar dari bibir mungilnya bahwa tak pernah Daeng……, aku melepaskan Daeng….., sampai kapan pun, Aku Sayang Daeng….. Iya….. sampai kapan pun Aku sayang Daeng…….
Kalimat itu, bukan kalimat yang akan direalitaskan tetapi hanya sebuah kalimat yang membuat orang lain senang, padahal eksistensi dan subtansinya ada, tetapi itu hanya kosong. Itu yang kuanalisis dari kalimat itu, sebab realitas tak mungkin terjadi.
Paska kronologi kejadian ini memberikan misteri. Cinta memang misteri, yang tak dapat diselesaikan apabila egoisme seseorang dirasuki oleh hukum-hukum kapitalis, yang hanya berpikir kepada subtansi material, Misteri ini dapat diungkapkan dengan sebuah kunci, kunci appersepsi ideologi.
“Bram … Jauhnya aku melangkah, menuntunmu pada alam maya, alam yang tak mungkin kita bersama, alam yang mustahil terwujudkan.
Luna, iyah… alam ilusi itu, terkadang membuatku mesti hidup ratusan lagi agar aku lebih banyak menikmati daenga-daenga bahagiaku bersama perempuan yang mengajakku pada alam maya, raganya bukan untukku tapi sukmanya hidup dalam aliran darahku.
“Bram… Kalimat terakhir yang bisa kusampaikan, kejujuran adalah kata yang harus diwujudkan, kesabaran adalah harta yang paling berharga, rintik hujan yang membasahi bumi ini menjadi saksi bahwa engkau dan aku pernah menjadi debu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar