Minggu, 22 Januari 2012

PINUS BERSAKSI

Dingin menusuk kulit seakan switer yang dipakai hanya sia-sia belaka, padahal switer itu cukup tebal diantara switer yang lain. Di teras pondok Hutan Pendidikan UNHAS, di atas meja telempar wacana Rais, Lia, Maya, dan Ferdi sambil menikmati indahnya malam bintang berkedip dan pinus melambai, sesekali pisau menembus semangka. Wacana itu semakin mencuat dengan perdebatan semakin sengit hingga terhenti pada titik jenuh dan hampa sebab sarapan malam pun tersedia, wacana itu pun menggantung tanpa ada kejelasan sebab perut mereka sudah lapar.
“Lia..Makan yuk…!” sapa Rais
Senyum dan tatapan mata seakan berujar bahwa Rais ternyata memiliki asa pada Lia, namun Rais tak mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan, karena Lia baru saja ia kenal. Entah mengapa… atensi Lia mampu menerobos eksistensi dari bayang-bayang dibenaknya.
Mata Rais menatap sangat tajam kepada Lia, seakan berujar bahwa Rais sangat mencintai Lia. Lia sosok seorang wanita selama ini ia cari. Dalam pengembaraannya ternyata ia menemukannya dalam keutuhan seorang mahasiswa baru di Kampus Biru yang bernama Lia. Walau Rais pernah sekarat di atas ranjang selama 1 bulan karena gadis ia cintai dulu menghianatinya. Maka dari itu, Rais sangat berhati-hati dalam mencari pendamping hidupnya karena ia tak ingin merasakan kepahitan dulu.
Usai sarapan Rais duduk di samping tangga, dalam termenung sambil menikmati malam dan menikmati sebatang kretek dan kopi hangat ditemani dendangan lagu-lagu nostalgia dari Anto.
“Prak..prak…, Kok melamun Rais..?
Lia menepuk pundak Rais dan melebur duduk bersama Rais sambil menatap bintang dengan dingin.
“Rais…apa yang kamu lamunkan? Ehm… dari tadi Aku memperhatikanmu selalu tersenyum sambil melihat bulan malam ini.”
Lia…Kamu tahu bahwa Aku sudah lama tak merasakan nostalgia dan kasih sayang dari seorang pasangan, dan Aku berpikir sampai kapan Aku mesti melihat bayang-bayang masa lalu, setelah gadis penghianat itu menabur garam pada luka yang lebar dan berlalu begitu saja dengan laki-laki lain yang tak kukenal dan kudapati ia dalam ruang tertutup sambil menikmati indahnya dunia nostalgia…bahkan dihadapanku dalam sekat, gadis itu memperkenalkanku dengan pria idaman lainnya. Sementara orang tua gadis itu menerima pertunangan anak perawannya dengan laki-laki itu setahun yang lalu, maka kuakhiri  dengan penuh luka nestapa.
Paska peristiwa itu, Aku tak berani menatap dunia bahkan Aku menjadi orang yang sangat bodoh dan nekat hingga Aku tak pernah percaya lagi dengan perempuan manapun dan akhirnya kuputuskan untuk hidup dalam kesendirian tanpa ada yang menghalangiku, hingga kenekatanaku…Aku berada dalam indahnya dunia gemerlap malam, dan melupakan bahwa Aku masih punya harapan. Sembilan bulan dalam kecanduan, minuman keras, hampir tiap malam Aku mabuk, bahkan Aku merasakan nikmatnya obat terlarang, ekstasi, sabu-sabu dan jarum suntik. Bahkan bekas jarum suntik itupun masih terlihat jelas ditangaku, satu bulan Aku berada di rumah sakit Dr. Wahidin dan hampir saja tak terselamatkan, ini disebabkan Aku mengendarai motor dengan kecepatan 120 km/jam dan menghantam truk pengangkut semen dalam kondisi mabuk, di ruang ICU itu harapan orang-orang disekelilingku agar Aku tetap hidup, dan Tuhan memberikan mukjizat hingga hari ini Aku mampu menatap dunia.
Setelah Aku agak baikan, tetap bayang-bayang obat-obat itu menghantuiku dan memancing Aku untuk merasakannya kembali. Akhirnya Aku dikirim ke Panti Rehabilitasi untuk menjalani pengobatan agar tak kembali dalam dunia terkutuk itu. Satu setengah bulan, Aku berada di Panti rehablitasi yang bernama Mekar Sari Surabaya, bergaul dengan orang-orang kecanduan obat yang persis sama dengan Aku, satu setengah bulan itu Aku jalani, hingga akhirnya Aku keluar dari tempat itu dan berikrar tak ingin berada pada dunia gelap itu. 
Tiga minggu yang lalu, dihari libur kuliah dan paska cuti akademikku, Aku masuk dengan wajah berseri di Kampus Biru ini, deringan telefon dari arah kantor…kucoba ayungkan langkah untuk lebih dekat dengan suara deringan itu… sesaat gagangnya telah berada tepat ditelingaku, ternyata gadis yang ada dibalik itu kamu..
Setelah pendaftaran ulang, Aku berpikir sampai kapan Aku mesti menjalani dunia gemerlap, sementara kenikmatan-kenikmatan itu meraung-raung memanggilku kembali. Tapi tidak, Aku tak mau hal seperti itu terjadi lagi, Maka kuniatkan untuk mengubah arah jalanku yang dulu hingga nanti Aku mendapatkan orang yang menjadi tumpuan hidupku. Entahlah apa gadis yang kuangankan ini mampu menjadi atensi dan eksistensi naluriku hingga ter-follow up pada indahnya dunia nostalgia. Jika  disuatu saat nanti pada malam pacci ada lomba domino, lamming menghias dan esoknya passolo datang dengan restunya. Tapi itu cuma fiktif belaka, Lia…, perempuan yang kuanggap mampu merealitaskan imajinasiku ini, apa ia sanggup menjalani kehidupan dengan Aku, sementara kondisiku hari ini mulai menurun, menurut kaum kapitalisme Aku mengalami devisit, terlantung pada dunia pengangguran, uang didompet kadang ada dan kadan tak ada, apakah ia sanggup hidup dengan derita?
Terakhir Aku mendengar gadis itu membenci mahluk yang bernama laki-laki, karena trauma dengan pria lajang sekampungnya yang notabenenya pernah menjalani ikatan romantisme denga pria itu selama delapan tahun, tapi Aku tak hari ini, apa ia masih menerima laki-laki dalam hidupnya atau sebaliknya menutup hati untuk kaum Adam.
“Rais…. Hidup adalah pilihan dan kupikir  apa yang kau rasakan sama persis dengan apa yang saat ini Aku rasakan, luka, derita bahkan nestapa pun melanda diriku. Gadis yang kau ceritakan barusan kepadaku itu, tepat berada didekatmu, dan kondisi hari ini lain, kemarin Aku berpikir tidak ada manusia yang nasibnya semalam denganku, kuanggap dunia ini begitu sempit hingga akhirnya kita dipertemukan di tempat ini, dipersaksikan tembang daun pinus dan gemerlap bintang.
“Lia…nostalgia itu indah tanpa ada kata dusta dan tanpa adanya aturan adat istiadat yang mengikat hingga apa yang kita rasakan dalam naluri kita sebagai mahluk individu, mahluk sosial yang saling mencintai tapi ia terhambat dengan orang tua yang masih kolot”
“Lia…    Pernah terlintas dalam benakku seandainya engkau mau menjadi pendampingku dengan ikrar bahwa tak ada kata dusta dan kita sepakat membawa hubungan ini dalam indahnya puncak nostalgia yaitu ikrar sehidup semati, dengan dihiasi genderang bertabuh-tabuh”
“Rais… hajatmu yang tulus terlalu indah untuk ditertawakan oleh khalayak umum” muka Rais berkerut heran…
“Lia…dengan landasan apa kamu mengatakan hal itu?”
“”Rais..dunia ini hanya sandiwara belaka, kita ini hanya pelakon, apa yang diinginkan sang sutradara seperti itulah kita”
“Lia.. Ok, Aku sepakat soal itu, bahwa manusia itu cuma berencana dan Sang Khaliklah yang menentukan, tapi ketika kita punya usaha, apakah kita pantas menggugat? Sedangkan beriktiar pun kita belum. Lia.. maaf kalau Aku mengungkit masa lalumu dan tak mungkin kita akan hidup pada masa lalu itu, masa lalu adalah kenangan, dan kita sama-sama menutup rapat kenangan itu sambil menatap esok yang lebih cerah.
Lia termenung menatap cakrawala, butiran-butiran kristal dimatanya jatuh perlahan-lahan membasahi pipinya.
“Lia..maaf..kalau Aku mengungkit masa lalumu”
“Rais..butiran kristal ini menjadi saksi bahwa Aku meninggalkan pengembaraanku dalam dunia khayalku  tentang nostalgia kemarin. Aku sadar bahwa dunia ini luas, mesti kuhadapi dengan keikhlasan dan tawakkal bahwa esok adalah impianku”.
Tak terasa perbincangan antara mereka menyisahkan dan menggugah hening malam, Lia..menyandarkan kepalanya pada pundak Rais, sambil berkata
“Rais…Aku tengah berusaha untuk membangun kepercayaan pada laki-laki dan kuharap jangan pernah menyia-nyiakan apa yang kuberikan, sebab tak ada tumpuanku selain dirimu

Bengo, 17 September 2007
Indra Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar