Rabu, 18 Januari 2012

Aku menengadah pada pusara di bawah atap langit


   Pada siapa mesti bertanya, ketika rembulan tak nampak bersama gemintang. Pada sepi Aku meraung, memuaskan amarah pada tari paggiri dan tunru pakanjjara. Kadang baris  memaki diriku, lalu berkata "Terlalu bodohnya dirimu Alfin...mengikuti bisikan amarahmu hingga engkau menjadi bulan-bulanan luapan murka hingga berakibat keterasinganmu pada sorak kota.
     Biola tak berdawai dan tak berdamar mesti larut dalam senar dan petikan akustika nestapa, Linda pada hujan malam ini, Aku bertanya mengapa tak kita usaikan saja konflik batin dan biarkan itu menjadi risalah pahit. Tapi, Aku tahu itu menjadi sketsa roman yang tak berending sebab terlalu pahit untuk kita lewatkan dalam bentuk mahligai kasih nestapa.
    Terkadang …. Aku dapati semua resahmu dalam bingkai tragedi memilukan. Bersama gita cinta, kita tempatkan bunga beraroma diatasnya tanpa sekat yang sedap dipandang dan ranum bagai ana' dara dan daeng. Tapi ego Lin.... menjadi sekat. Tameng kebatinan telah memancarkan rasa yang terkutuk.
      Linda....., bila lipa sabbe tak menjadi semiotik tradisi Bugis Makassar itu berarti kasih sayangku telah surut bersama gemuruh lapizan oson yang berpuing. Kadang pula harus merasa jika tak kubawa nyenyak dan berhadapan berkasih mesra walau puing-puing nostalgia kita telah berserakan.
      "Alfin......Maaf ..... sekali lagi maaf, Aku tak mampu lagi untuk bersamamu sebab Tettaku telah menerima pinangan dari salah satu sahabatnya..."
       Kalimat ini masih berniang di telingaku...Lin..
        Linda.... Saat pinisi berlabuh dengan diiringi nyanyian nestapa, masihkah bunga mekar dan menebarkan dan memberi aroma dalam setiap detik detak jantung yang terus mengalir dalam urat nadi bersama darah yang terkadang nuraniku sesak ketika kembali kuingat kata perkata darimu yang seharusnya kau filter terlebih dahulu....
        Linda.... Ini kisah yang telah ending namun belum usai adegan yang telah kau pentaskan kepadaku, resah yang kau kirim melalui senyum. Aku menengadah pada pusara di bawah atap langit.
      "Linda....catatan sejarah yang kau pahat dalam dinding sukmaku menjadi sebuah risalah yang lama akan terhapus...."
      "Daeng.....Risalah itu biarkan dibawa oleh ombak....biarkan diembuskan oleh angin sebab tak mungkin Aku menghianati kasih sayang tetta dan ammakku. Ia membesarkanku.... ammakku menyusuiku dan tettakku membiayai kuliahku, walau Aku tahu daeng...... cintaku tak akan surut sampai kapanpun...walau karang meradang tetap aku mencintaimu daeng. Tapi...sebagai anak Aku harus berbakti kepada mereka....
    "Ndi....Aku paham persoalan itu....tapi apakah kamu tak mau bersabar sebentar saja...setelah kita lulus dari Perguruan Tinggi ini kita akan menuju tujuan kita, kita dirikan sarappo...malamnya kita appacci dan esoknya kita berdua akad nikah..."
    "Daeng....impianmu itu hanyalah sebuah impian belaka...sudahlah daeng....lupakan...janjiku bahwa Aku ingin bersamamu...walau pejje dan tarasi menjadi teman pada saat kita sarapan. Daeng....Aku harus pulang karena Tettaku telah menungguku...sebab esok adalah proses mappacikku....Aku pamit daeng..." Linda berlalu dan meninggalkan kalimat itu
    Alfin termenung....dan tak mampu lagi meyakinkan Linda..tentang segala rasa dan impiannya untuk bersama Linda...pupuslah sudah asanya...Alfin meninggalkan Pantai tak berombak itu.... Bayang-bayang dari kalimat Linda selalu menari bagaikan tari paduppa dibantaran malam.
    Dibawa taburan gemintang...sambil memetik gitar akustik. Alfin berkata dalam hati, Linda....esok engkau telah berdua bersama piliah tettamu....menjadi Ratu semalam...dan kini aku disini hanya dapat berdoa semoga engkau dan piliah tettamu itu dapat menjadi keluarga yang sakina ma waddah warahma.
      Tiba-tiba aku tersentak dari lamunanku dengan sebuah musik dari Hanphone dari balik pintu kamarku...nada sms itu dari Linda..dengan ucapan ...Maafkan Aku Alfin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar