Jumat, 11 November 2011

Ku tukar isak tangisku dengan sure' pappikatu

Terpaku dalam sepi, ombak menerawang dalam riangnya ke sana kemari, tanpa beban, tanpa rasa oleng, kadang karangpun menjadi penghalang bagi ombak yang berlabuh tapi ombak itu tetap dengan pendiriannya, walau kapal dan karang tak jua menyurutkan ia untuk berenang dan mengalir dalam riangnya.
Berlalu dengan dekap yang tak henti, masa demi masa pasti berlalu, tetapi gelisah menuang dalam secarik kertas dengan tinta hitam yang tak lagi membicarakan tentang rindu, kangen apalagi berbicara tentang kita. Naif, memang ketika itu dinikmati dalam sepi apalagi mesti ditukar dengan sakit yang mendahsyat. Ingin berlari dari waktu yang kian menjebak, tapi tak mampu dengan beberapa paras wajah dengan bibir mungil itu.
Sudah beberapa warsa tak memberi coment, pegal jua jemariku memencet tombol dengan asa bahwa suatu saat nanti engkau mau membacanya apalagi menikmatinya dengan secangkir susu dan oreo, tapi itu impasibble, yah mustahil sebab telah kau tukar torabikaku dengan teh pahit dan hambar.
Detak dan getar masihkah kamu merasakannya, ketika tubuh kaku dengan sebuah harapan yang tanpa batas? Ataukah Aku mesti berlari dari fajar yang terbit lalu menyelimuti? Apalagi ketika embun menjadi padu dengan butiran kristal yang berhamburan tanpa kadar? Sulit untuk mengelak hanya nafas yang dihempaskan dan membuangnya lalu berlari di tengah kemalangan dengan takdir yang disepakati.
Ruang-ruang rindu yang terbengkalai dan telah berpenghuni, namun telaga masih kering dengan verbamu, dengan bahasa manis yang tertuang dengan kodratnya. Setelah abstain dengan pilar yang tak lagi kelam. Indah memang tapi itu subyektif bukan obyektif karena urgensial dan subtanisal air mata yang tumpah bukanlah kerinduan yang terbengkalai tapi musnahnya benang merah asmara.
Nadiku berujar masihkah riang itu berarti, sementara isak dan iba ada pada jelajah setapak pada bingkai kebun cengkeh, yang tertinggal hanya sukma di sana dan tanpa menoleh untuk menjadikannya hadiah yang berharga. Nurani yang telah beradu dengan nasib, bak laksana pada padang panjang sehingga seorang insan haus tentang wujudmu.
Inikah dibalik topeng kegalauan itu? Ataukah mesti mencari yang mana hak dan batil? Sedangkan tak ada eksistensi dari balik topeng itu. Setiap nadi yang berdenyut masih memberikan pengharapan yang sia-sia, yah pengharapan yang sia-sia dan tak pantas untuk diapresiasi pada khalayak umum, ingin rasanya ku buktikan pada dunia bahwa warkat ini mengglobal tanpa ada generalisasi, hajat yang suci memang tapi itu hanya sebongkah sampah yang telah busuk untuk dihirup.
Bram . . . . terlalu dalam makna wacana yang tersebar itu, sampai pada pelosok desa mananti mendengar kabar itu, tapi apakah kau tahu? Bahwa ia telah menjadi milik orang lain dengan hiasan lamming dan beberapa orang penjemput tamu yang memakai baju bodo dan ia telah naik dipelaminan dengan seorang pria yang berbaju seragam dan berwibawa. Tutur mbak Lena
Bram . . . kesepian dan penantianmu itu hampa, kaupun tahu hal itu sebab tak ada yang patut memikirkan laki-laki semacam kau yang nilai tukarnya tak ada, penghasilan kadang terbuang dengan sebatang kretek, hidup menjadi sepasang insan kamil itu tak mudah dengan hanya mengadalkan permata dari palung hatimu itu, karena mesti ditukar dengan kadar yang paling berharga yaitu intan dengan balutan emas yang berkilo-kilo, kaupun mesti tahu itu, sapa mbak kiky,
Lena...., kiky.... Mesti alumunium diapakan tetap ia akan menjadi almunium, Aku tahu hal tersebut, tapi Lena mestika kita menukar cinta dengan balutan intan permata dengan emas berkilo-kilo, atau paling tidak jabatan yang mapan. Aku tahu tentang apa yang seharusnya kulakukan, engkau akan mengatakan iklaskan ia sebagai rani orang lain, sebab genderang bertalu-talu telah ada pada depan rumahnya dan sarappo dengan pacar ada di tangannya. Tapi ruang rindu yang tak paham. iya, ruang kalbu yang tak paham tentang hal itu, sebab darahku telah mengalir darahnya, dan ia bagian dari sudut ruang dan bilik tawaran yang tak ending.
Sejak awal kau tawarkan tentang asamu itu kepada keakuannya, tetapi di balik itu semua dari kesadaran yang jauh lebih bijak ia memberikannya kepadamu tentang apa yang kau rasakan, impati yang tak mestinya dia berikan tetapi ia memberikannya kepadamu sebab darahmu pun mengalir dalam darahnya, tapi ini konsekuensi dari koflik yang konfrontasinya mesti diminimanilisir dengan sebuah kebijakan dan kesabaran. Sapa Mbak Dian Tapi, apakah tidak wajar jika kutorehkan gelimang harta nuraniku kepadanya dengan sosok airmata yang kuberikan, walau beberapa lamunan ada dia disana, apakah kejenuhanku tak mampu memberikan sebuah kepastian tentang apa yang mesti dilakukan. Yah, Aku memang salah dengan undur dari kehidupannya, tetapi kesempatan telah ia berikan kepadaku dengan sebuah pengorbanan bahwa esok akan lebih cerah bagi kami.
Terlalu naif, dinda ketika airmata yang mesti kau tukar dengan embun karena semua ada prosesnya. Semua ada langkah yang mesti disikapi, dan membutuhkan strategi jitu untuk menganalisis stekholdernya. Wacanamu terlalu pahit dinda, bahkan kepahitan itu membuatnya mesti jauh dari kamu.
Daeng, mestikah kuganti air laut dengan air tawar? Apakah mesti kuputar waktu agar ia tak menjadi milik orang lain dan kupinang ia dengan hanya sebuah cincin putih? Ataukah mesti kujalani dengan sebuah kepedihan. Ah.... tidak, tidak, ku tepuk dinding tembok dihadapanku dengan segala sesal yang kian mencekam.
Resahmu dan gelisah itu tak pantas lagi ditukar dengan ruang bahagia, karena perjalanan romans yang kamu lalui telah pupus dengan pinangannya, malam ini ia telah duduk di pelaminan dan tak ada yang mesti diperbuat sebab ikrar seumur hidup telah terpatri, lihat ke arah kananmu, beberapa passolo telah datang dengan restu, liat juga kegeringan yang dipancarkan dari sudut matanya yang elok, liat bibirnya yang mungil itu ia memberikan semiotik bahwa pria itulah yang pantas menjadi pendampingnya sampai pada ia ada kebahagian ataupun konflik-konflik yang tak ada pada permukaan.
Ku hirup udara dan membuangnya . . . Bram menoleh ke arah Luna, tatapan matanya memancarkan ketidakadilan dan kesembrautan, proses ini tak boleh terjadi gumamnya dalam hati tetapi suara genset terlalu besar hingga suara kalbu itu tak didengar oleh Luna,
Tubuh yang mampu bergerak dan tak bergetar, karena ia mesti menatap langsung sebuah ijab qabul yang sesungguhnya ia yang mengucapkan ijab itu. Walau perih yang dirasakan Bram ketika menerima sure pappikatu sebagai passolo bukan sebagai laki-laki yang bersama Luna di pelaminan.
Bram . . . liat pula kegeringan yang diberikan orang tua Luna, Ima dan saudara-saudaranya yang lain, meskipun pernah terlontar di desa ini namamu dan nama Ram... tapi itulah realita, realita yang mesti kamu terima dengan sebuah kesabaran.
Lena, Kiky, Ram, Ati . . . entah dengan apa kutukar kekecewaan ini kepada waktu, entah dengan apa kulelang rasa ini dengan ketidakbahagianku, ataukah Aku mesti berdiri di sini sementara jemarinya dan jemariku telah berjabat tadi.
Bram.... restu dan doa yang Luna butuhkan sebab tak ada lagi peluang dan kekuatan untuk ditembus sebab pintu telah rapat untukmu. Bahagianya membuatnya telah melupakan dirimu walau ia tahu betapa besar rasa yang kau miliki, mesti terawat pada rumah sakit akibat kecelakaan itu, mesti dirawat secara insentif akibat butir-butir kristal yang kau isap, bubuk putih yang membuatmu tenang ketika bayangnya menjelma pada ruang kamar tamunya, atau engkau tanyakan saja pedihmu itu pada botol-botol yang berisi ukiran di depannya dengan sebuah sebutan wisky, donal, bir bintang, atau apakah, yang jelasnya itu tak menyurutkannya dengan sebuah paradigma yang seharusnya ia kembali kepadamu sebab telah banyak ia ditawar dengan isak tangis akibat kelakuanmu.
Kak . . . pintu terbuka lebar untukmu dulu, ketika warkat bahwa kakak akan datang dengan sebuah harapan dari keluarga kami bahwa kakak akan menjadi b
agian dari keluarga kami, sebagai ipar kak, tapi setelah sekian lama tak ada lamaran dari kakak maka, Luna . . . berpaling dengan laki-laki yang kini menjadi suaminya malam ini, sebab warkat kakak tak ada, berita dari kakak tak ada, lantas dengan apa kami mesti menanggung rasa malu keluarga, sedangakan wacana telah tersebar bahwa akan ada sosok pria yang akan mengikat tali silaturrahim dengan keluarga besar kami.
Ima . . . kesepakatan yang telah kami buat adalah empat tahun, Luna pun tahu hal itu, kini genap empat tahun, pas ketika aku dari perantaun, menginjakkan kaki dihadapan rumahku, kabar dan sure pappikatu itu membuatku mesti berlari ke sini, sebab sosok seorang Luna telah menjadi pendamping hidup laki-laki idamannya. Kemarin di pelabuhan Aku berpikir bahwa indahnya pengembaraan ini pulang ke kampung halaman dengan dinantikan seseorang perempuan yang sampai hari ini tak ada yang menggantikannya bahwa hari kamis kakaklah yang akan langsung meminang Luna, tapi tiba-tiba dik sesampainya kakak di rumah kabar kudengar dari ibunda bahwa perempuan ayu yang pernah kau perkenalkan dengan ibu, nak, kini menjadi milik orang lain, engkau mesti ke sana, katanya.
Tapi, sesampainya disini hanya ini yang ada ditanganku Ima, yah sure pappikatu yang seharusnya didalamnya ada namaku dengan nama Luna tetapi kini hanya ada nama Luna dan laki-laki yang menjadi pendampingnya itu bukan Aku, walau pernah terpahat di hati kami bahwa tak ada yang saling berpaling. Karena darah kami telah menyatu.
Dik . . . Tuhan telah menggariskan jodoh hambanya masing-masing, kami sekeluarga telah membantumu dengan menolak beberapa orang yang melamar Luna agar engkau menjadi bagian dari kami, tetapi ini orang ketiga, laki-laki itu memang menjadi kekasih Luna ketika engkau berangkat, karena engkau tak memberi kabar.
Kak, tak ada lagi sebuah harapan yang adik banggakan, setelah dari perantauan karena studi, Aku tak mampu menjawabnya, kesibukan study akhir yang membuatku meluangkan waktu agar aku menjadi cum laude, tapi hanya beberapa bulan ini kak, aku tak memberikan kabar karena kesibukan dan penelitian yang menyita waktuku.
Dik, kakak tahu hal itu, tapi kehendak Tuhan tak bisa dilawan, manusia hanya berencana Tuhanlah yang menentukan. Iklaskan Luna keringkan airmatamu, lalu jabatlah kembali tangan Luna dan tangan bunda serta ayah, kehidupanmu akan cerah nantinya, sebab ini bukan akhir dari segalanya.
Nafasku tersendak-sendak, kutarik nafas dalam-dalam bahwa Luna telah jauh dan tak mungkin kembali sebab perahu telah karam dan tak mungkin berlayar sebab perahu itu telah bocor dengan konsekuensi yang tak logis. Makasaih kak.
Mananti, 24 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar