Pelangi itu menawarkan warna yang indah, sejenak memberiku arti dari wacana yang menyatakan:
“Andi, seddi elo kuparinggerakki, Tania doi ditiwi rewe lao puang Allah ’ta’ala”, (Bukan harta yang kita bawa mati, menghadap ke Allah SWT)”
“Tania jabatan ditiwi lao lisu dipunna lino” (Bukan jabatan yang kita bawa menghadap ke Sang Pemilik Bumi)
“Tapi iyaro ditiwi ede iyamiro ammalang.”.(Tapi, yang di bawa ke hadapan Allah SWT adalah amal jariyah ketika kita setelah meninggal.
Harta dan tahta yang selama ini ku dapati tidak membuatku bahagia, karena sang lelaki yang ku inginkan sebagai pendampingku kelak menjadi milik orang lain karena keegoanku dengan segala bentuk keduniawian, sehingga tak pernah ku lihat berapa tangis anak piatu yang telah ku sia-siakan, berapa luka hati yang telah ku torehkan dalam hati anak yatim, berapa duka yang telah ku sematkan di dada rakyat jelata sehingga aku mendapatkan gemilang harta, tapi ku sadari bukan itu ternyata membuatku bahagia, kebahagianku telah ku lelang dengan rupiah.
Terik matahari, perlahan tenggelam, rembulan pun beranjak sedetik demi detik, namun Laila masih pada tempatnya, menatapi ruang kemahakuasaan Allah SWT, lukisan yang dilukis oleh sang pencipta tak ada yang mampu menyayangi pelukis duniawi.
Sendiri menatap ruang malam dengan cahaya lampu yang sedari tadi kerlap-kerlip dengan ditemani sebatang lilin, ku teringat dengan beberapa kalimat yang telah kulontarkan dengan gamblangnya kepada Ardi.
“Aku lebih leluasa dengan apa yang ku miliki, bahkan aku bisa menatap bumi di atas bulan, aku bisa membeli apa yang ku inginkan dan aku mampu mendapatkan apa yang kuinginkan”.
Kalimat ini pernah kulontarkan di hadapan Ardi, akan tetapi, sejak kepergian Ardi, aku merasa hidup bagaikan tak bermakna padahal aku lebih leluasa jika ingin memiliki apa yang ku inginkan tetapi aku tak mampu membeli kebahagian, aku tak mampu mendapatkannya walau secuil, laki-laki yang selalu menginginkan aku dengan impian sebagai pendamping hidupku bukan karena cinta, tetapi melaingkan karena harta yang kumiliki selama ini.
Tetas air mata membasahi pelipis hingga baju yang bermerek itu, sampai harganya bisa membuat sang anak jelata 5 bulan untuk makan, itupun sudah makan 3 kali sehari. Beberapa wejangan yang pernah dilontarkan Ardi tak pernah kuterima dengan baik, tak pernah ku analisa dengan baik hingga ia lebih memilih mundur dari kehidupanku daripada mempertahankan aku sebagai perempuan penutup masa lajangnya.
Lima bulan lalu aku masih tak pernah berpikir bahwa ia tak mungkin tak kembali karena aku perempuan yang sempurna, aku memiliki harta, kecantikan dan segalanya ku punya. Tapi setelah enam bulan penantianku, aku jenuh menunggunya hingga aku mencari tahu ke mana ia. Ke mana Ardi, karena tak pernah kudengar kabar, apalagi Ponselku enggan berbunyi dari panggilannya, Sehingga Aku memutuskn untuk mencari Ke mana Ardi sebenaranya, 2 bulan pencaharianku mencari ardi ternyata warta kudengar bahwa ia telah memilih gadis desa, dan katanya ia bahagia walau ia bekerja di sawah, dan ia berternak serta berkebun, dia meninggalkan harta dan jabatan yang pernah ia rasakan karena menurut Ardi semua itu hanya titipan dari sang pemilik bumi.
Laila yang mendengar warta itu, diam dan terpaku menatap gambar ukuran 5 R, gambar itu miliki Ardi dan Laila yang ketika itu ia berpose bersama di salah satu taman wisata alam di Maros. Sejenak ia termenung dan sambil tersenyum menatap gambar itu, tapi sesungguhnya dalam hati Laila sangat pilu dan menyakitkan karena mendengar kabar itu.
“Ardi, dulu engkau memberiku kebahagian yang tak terkira, dan kau membelaiku bukan karena Aku bergelimang kemewahan, bukan pula karena jabatan yang telah ku raih berkat motivasimu, tapi kini batinku telah terkoyak-koyakkan, itu karena diriku sendiri, Tutur Laila sembari menatap foto berukuruan 5 R tersebut”.
“Mengapa aku tak menuruti kalimat-kalimatmu waktu itu hingga aku mendapatkan kebahagianku bersamamu, mengapa aku lebih memiliki jabatan dan kekayaan yang tak bisa kutukar dengan kebahagian, Ardi aku menyesal dengan semua ini, aku sendiri Ardi, aku rindu dengamu Ardi, aku sangat menyesal, kalimat-kalimat ini terus berulang dalam hati Laila hingga ia memutuskan untuk menemui Ardi.
Esok kiranya aku akan datang menemuimu Ardi, moga saja ia masih di desa itu, desa yang terpencil dan tak cukup banyak mobil yang berlalu lalang, Setelah kusiapkan beberapa lembar baju dan peralatan yang kusiapkan tadi malam, ayam telah berkokok, ku stater mobil baleno ku, kali ini aku berangkat sendiri tanpa sopir, perusahaan hanya ku titip dengan mitra dan wakilku di kantor, aku hanya mengatakan aku akan berangkat berlibur. Sejam perjalanan di kampung itu, ku selidiki sendiri, aku bertanya kepada masyarakat di desa tersebut, yang pernah melihat Ardi atau melihatnya dengan memperlihatkan gambar Ardi kepada masyarakat di desa tersebut.
2 jam aku mencarinya di desa ini desa Bengo, namun tak jua ku dapati, azan Dzuhur berkumandang aku memarkir mobilku, dan shalat di masjid Babul Ar-Rahma, kepada siapa yang melintas di depanku aku menanyainya namun, tak ada yang mengenali Ardi.
Kulangkahkan kaki dengan sebuah harapan agar dapat melihat wajah Ardi yang terakhir kalinya sebab hanya ia yang mampu menjadi tumpuan hidupku, hanya dia Laki-laki yang memberikanku kebahagian dan kenikmatan yang tak bisa di beli dengan apa yang kumiliki sekarang.
Tiba-tiba seorang perempuan melintas di hadapanku, Aku menghentikannya sejenak dan kuperlihatkan foto Ardin perempuan itu bernama Mia.
“Millau dampenga maraja, Ki dissengi tauwe iyae laleng foto?” (Maaf yang sebesar-besarnya dinda, apakah kamu mengenal laki-laki yang ada di foto ini?
“Tega’e mullemuika ku ita madeceng-deceng pa sippada sedding ku isengi iyae urane’de” (Apakah Aku dapat memegangnya agar aku apat melihat dengan jelas siapa laki-laki yang anda maksudkan) kata perempuan itu.
Kebahagian Laila mendengar kata-kata yang dilontarkan dalam kalimat perempuan itu, Setetes harapan dari pencaharian Laila.
“Tabe, ku itani, iyae urane’de ku sappa-sappa, engkana kasi 2 uleng sappa-sappa iyae, na aseng tau di kampongnna, iya’e urane enggai gae ko mai di kampong ede” (Ini lihatlah dengan jelas, karena lelaki itu sudah dua bulan aku cari, kabar yang aku dengar bahwa laki-laki tersebut berada di kampong) Sambil memberikan foto itu kepada Mia, gaya perempuan itu berbeda dengan Laila, Laila yang modis, HP di tangan kanan, kunci mobil di kiri.
Sementara Mia hanya memakai daster, rambut dikepang dua, dan alas kaki sandal jepit, harapan menemui Ardi telah terbuka jalannya.
“Iya’e urane engkau ko romai, iyaro desa diaseng Desa Malaka Dusun La Colla” (Laki-laki itu ada di Desa Malaka, Dusun La Colla)
“Menre ni ko di oto’e, nappa lokkaki di bolana ki diasengi denre, (naiklah ke Mobil dan kita menemui laki-laki tersebut di kampong yang anda tadi sebutkan)
“iye,
Gadis dan perempuan desa itu menelesuri jalan setapak, dan beberapa jalanan yang tak beraspal, yang ada hanya pengerasan dan beton serta jalan mendaki, Laila yang menyetir sangat hati-hati karena kalau tidak maka akan menabrak gunung dan jatuh ke dalam jurang.
Sesampainya di Desa itu, Laila melihat Ardi dengan memakai pakaian yang tak pernah ia lihat sebelumnya dengan seorang anak kecil yang ia gendong. Laila memarkir mobilnya pas dihadapan Ardi.
Ardi yang melihat mobil Baleno menghampirinya tiba-tiba kaget dan ia melihat siapa pemilik mobil itu dengan menghampirinya tapi sebelumnya anak yang ditimangnya ia berikan kepada istrinya.
“Ardi, sudah lama aku mencarimu, Aku tak sanggup berpisah darimu” (Sambil memeluk Ardi)
“Laila, Aku bukan Ardi yang engkau kenal lagi, Ardi yang engkau kenal dulu adalah Ardi yang mencintai Laila dengan memberikan kasih saying yang tulus tapi karena harta engkau mencampakkan aku dan kuputuskan untuk menikah di sini tanpa kuberitahu engkau karena pasti engkau akan merasakan sakit Laila, hapuslah air matamu Laila, esok pasti aka nada laki-laki yang lebih baik dariku hingga engkau menjalin kisah romantisme yang indah sampai kepelaminan kelak.”
“Ardi, lantas apakah aku mesti menyerah begitu saja, sementara penantianku telah usang dengan waktu yang memaki, Ardi, aku ingin engkau lagi seperti dahulu, yah… seperti dulu, engkau membelaiku dengan kehangatan.”
“Laila, tidak Laila, aku telah berkeluarga, ini istriku dan anakku, aku telah bahagia walau hanya hidup sederhana seperti ini, tapi itu tak dapat ditukar dengan nilai rupiah”.
Setelah Ardi menjelaskan kepada Laila bahwa Allah SWT, menggariskan yang lain maka dengan lapang dada Laila menerima kenyataan ini walau terasa pahit yang ia rasakan.
Malaka, 1 Februari 2010
mantap,...lanjutkan............!
BalasHapus