Minggu, 06 Mei 2012

“PEREMPUAN YANG TERSEMBUNYI”



 “Pagi”
“iya, Aku sedang di jalan”
Prak….prak…prak…… Suara dari seberang HP itu, lalu hening…
Nisa duduk di sofa tanpa berkata apa-apa, dihadapanya secangkir teh hangat, wajahnya pucat, bibirnya agak memutih dan matanya berlinang bulir-bulir Kristal banjir di sungai pipi, Nokia E-27 terjatuh dari gemgaman, tanpa ia sadar.
Masih duduk di sofa, Suara musik kembali terdengar dari Nokianya, 1 message, “Nisa, Gunawan kecelakaan, ia sekarang di rumah sakit Pangkep”.
Nisa berlari ke kamar, memakai jilbab kemudian berlalu, dengan niat segera bersua dengan Gunawan, meski ia belum menyegarkan badannya dari bau, meski tehnya belum selesai ia teguk, pikirannya tertuju pada Gunawan.
“Gun…semoga kamu baik-baik saja” lirih dalam hati
Pete-pete berhenti tepat di depan rumah sakit Pangkep, Nisa berlari ke receptionis, jam dinding menunjukkan 8.30, sudah 30 menit Gunawan terbaring, di ruang tunggu seorang ibu tua memanggilnya, derai air mata pecah di situ, dihadapan perawat, pasien, dan tabung oksigen, mereka berpelukan.
“Nak…den’repa na mat’tama diruangan ICU, de’pa na sadar” (Sejak dari tadi, ia diruangan ICU, namun belum sadar jua) bisik ibu Gunawan.
Mak….. Puange Maraja….pallisui lokka dipuange” (Mak…Allah SWT yang berkuasa, kembalikan kepadanya).
Seiring langkah Nisa ke ruang ICU bersama ibu Gunawan, dengan harap-harap cemas di broka Nisa, semoga Gunawan tak apa-apa, semoga dia diberikan hidayah oleh Allah SWT.
Gunawan yang terbaring, katanya ada luka robek di bagian jidat bagian kanan dan kini sedang proses jahitan, kaki kanan patah sebab benturan dengan kap mobil, dokter sementara berupaya menangani pasiennya, dengan hati-hati.
Nisa, ibu Gunawan, dan kerabat Gunawan duduk di depan ruang ICU, dengan asa semoga Gunawan dapat tertolong, tepat pukul 10.00 Dokter ke luar dari ruangan ICU, semua yang menunggu tiba-tiba berdiri.
“Dok….Bagaimana kondisi anakku” sahut ibu yang cemas dengan kondisi Gunawan.  
Bu…. Alhamdudillah, berkat pertolongan Yang Maha Kuasa, Gunawan bisa kita selamatkan, tapi….”
“Tapi..apa dok…?” Nisa dengan cepat berkomentar, ketika dokter tiba-tiba tunduk dan diam.
Dengan suara agak terbata-bata, wajah Dokter Fuadi menatap kerabat Gunawan, sambil melepas kacamata dan tangannya dia masukkan disaku baju praktek berwarna putih.
“Maafkan Aku….., Gunawan mengalami luka patah di bagian kaki kanannya, dahinya robek, mungkin benturannya agak keras”.
Tubuh Nisa lemas….ia lalu duduk dibangku ruang tunggu, menatap hampa, suara isak tangis…kembali mengalir.
Dokter Fuadi memanggil Ibu Gunawan untuk bicara empat mata, mungkin sangat rahasia hingga kerabat lain tak boleh mendengarnya.
“Bu…Aku mencari nama Nisa, apa ibu kenal denganya?” sahut dokter.
“Iye….Itu dia”
“Bu….saya harap, Nisa mau merawatnya, Nisa adalah kekuatan dalam diri Gunawan”
Dengan rasa penasaran Nisa menghampiri Dokter Fuadi, untuk meminta izin agar diperkenangkan melihat kondisi Gunawan, Dokter Fuadi melihat dari mata Nisa, ada rasa khawatir, Dokter Fuadi mengizinkannya, dan berharap yang merawatnya adalah Nisa.
Nisa masuk ke dalam ruang ICU, jantungnya berdetak tak menentu ketika ia menatap tubuh Gunawan terbaring di kasur, tangan kanannya dihiasi dengan inpus, Nisa, menatap dalam-dalam, seakan ingin memeluk Gunawan, tapi kondisi gunawan masih dalam keadaan kritis.
Nis…..Nis….Nisa…..nama Nisa disebut oleh Gunawan, matanya terpejam, kakinya sedikit bergetar, tangan yang terimpus bergerak sedikit-sedikit, Ada rasa gembira dihati Nisa…saat mendengar namanya disebut.
“Gun..iya, Aku di sini Gun..tepat di sampingmu”
Nisa menggemgam tangan Gunawan, pancaran rasa sayang mengalir dalam aliran darah, terus mengalir dinadi Gunawan. Jarum jam merah menunjukkan pukul 13.30, Nisa pamit dengan Ibu Gunawan untuk melaksanakan Sholat Dzuhur, ia langkahkan kakinya ke Masjid, masih di area rumah sakit. Air wudhu melepaskan sebagian jerit hatinya, kegalauan, dan keresahannya, Ia tunaikan kewajibannya sebagai ummat muslim, menghadap ke Sang Pencipta, Setelah selasai, ia panjatkan doa agar Gunawan segera pulih dari apa yang ia rasakan.
Usai sholat, Ia kembali ke kamar ICU, dibukanya pintu perlahan-lahan, sangat pelan, takut kalau Gunawan terbangun. Tersentak, ia melihat Gunawan sudah sadar, berbicang dengan ibunya, lalu dia menghampiri Gunawan.
Nak….idi si..jagai daengnu….elo’ka dolo lokka ma’sumpajang” (Nak….Saya sholat dulu, kamu di sini saja temani, kakakmu)”
“Iye….Mak..”
Nisa menatap Gunawan, cahaya keceriaan terpancar pada raut wajah Nisa, dalam hati memuja dan memuji syukur kepada Ilahi, atas jawaban doa.
“Nisa…Aku tak sempurna lagi….mama, telah menjelaskan segalanya kepadaku, sebuah peristiwa, tadi pagi, kamu lihat sendiri…”
“Tak usah banyak bergerak dulu, kamu istirahat saja dulu…, Kamu sudah makan?”
“Iya..mama telah menyuapiku tadi”
Udara panas menyengat di tubuh, panasnya berbeda dengan kemarin, mungkin akan turun hujan deras, kulap keringat Gunawan, dengan rasa kasih sayang, Suara ketokan terdengar dari balik pintu..tok…tok..tok…, seorang perempuan dan laki-laki masuk diantar oleh ibu Gunawan. Aku hentikan aktiftas melap keringat Gunawan, dan kulihat ia simpan kata dikeringat itu pas ketika ia melihat perempuan yang masuk tadi dan lelaki kurus berambut agak gonrong.
“Siang Gun….”
Perempuan berambut panjang, tinggi 160 cm, menaruh ole-ole di atas meja, pas didekatku.
“Siang Wan..........” “Hey….San….” 
Rona wajah Gunawan tak bersahabat ketika melihat wajah Sanni, seakan ia ingin memaki, menyumpahi lelaki itu, meludahi lelaki itu, dan Aku baru tahu siapa nama perempuan itu, nama yang asing bagiku, tak pernah Gunawan menyatakan kepadaku tentang nama Wani ditelingaku, siapa gadis ini?, mengapa gunawan sangat kesal nampaknya?.
Aku berjalan ke arah jendela, ku buka 1 kuping daunnya, membiarkan angin masuk,  kulihat ibu Gunawan akrab dengan Wani, selalu saja pertanyaan dalam benakku muncul, siapa gadis itu?, siapa Wani?, ada hubungan apa mereka?, kenapa Gunawan tak pernah memberitahukan Aku tentang Wani?. Namun kututup rapat-rapat wajahku yang resah tentang gadis itu dengan senyuman.
Lima menit Aku dipinggir jendela, kuputuskan untuk meninggalkan mereka, berjalan ke taman, kegalauanku terhadap perempuan itu kutancapkan pada tanah melalui angin. Menatap hampa dengan beberapa resah dikalbuku. Sungguh tak habis pikir, mengapa Gunawan menyembunyikan biografi gadis itu?, sudah hampir setahun Aku jalan bersamanya, sangat rahasia dan sangat rapat, sungguh lihai Gunawan menyembunyikannya.
Tanpa sadar Aku kembali melihat Sanni dan Wani keluar, dengan kendaraan roda dua, mungkin mereka sepasang sejoli.
Magaki daeng, na de’sipada denre kuita pa’kasiatta”. (Kamu kenapa kak…tak seperti tadi perasaanmu Aku lihat) sahut Anna, sambil memegang pundakku dari belakang.
De’ma ndi….”.
“Magaiki pale daeng, siapa tau malasaki?”(Lalu, kamu kenapa kak…apa kamu sakit?)
Ehm…manawa-nawama sedding ndi…kira-kira igaro den’re makkunrai’e”. (Saya hanya berpikir, siapa perempuan tadi)
Anna, adik Gunawan cuma diam, menyembunyikan sesuatu.
Ndi…elokka diolo lok’ka dikamarana daengmu, pettang ni se’ding na elo’ka lisu lokka di Maru, ba’japi ku lao mai’si”. (Dik…Aku mau ke kamar kakakmu, karena hari sudah agak gelap, Aku ingin kembali Ke Maros, nanti besok baru Aku ke sini lagi)
“Iye…daeng”
Berjalan menyusuri lorong-lorong Rumah sakit, letak kamar Gunawan agak jauh dari taman, sudah hampir ruangan ICU, suara pertengkaran antara Gunawan dan Ibunya terdengar, Suara membentak keluar dari bibir Gunawan, Aku urungkan Niatku untuk masuk, Aku dengar bahwa laki-laki itu adalah sahabatnya, tapi yang paling mengejutkan Aku, perempuan yang bersama sahabatnya adalah mantan kekasih.


  Khusus buat: Becek, Opiq

     

1 komentar: