Senin, 13 Mei 2013

UPAH MINUMUN REGIONAL BAGI GURU HONOR


(Refleksi Hari Pendidikan, Mimpi Sang Guru Honorer)

Awal bulan Mei, dua tanggal yang diperingati sekaligus Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional. Media massa memberitakan kedua momen ini, yang muncul dalam benak saya, apa perbedaan antara Buruh dan Guru, tentunya sangat jauh berbeda, Buruh kerja di perusahaan sementara Guru bekerja di Sekolah. Objek buruh adalah benda mati, sedangkan objek Guru adalah Manusia. Bahkan Guru mencetak buruh, mencetak mereka yang duduk di parlemen.
                                          http://media.viva.co.id
Akan tetapi, Coba tanyakan kepada buruh dan guru honorer berapa besaran gaji mereka terima per bulan. Tentunya buruh akan menjawab secara variasi, ada yang menjawab Rp. 500.000/bulan sampai Rp 1.100.000/bulan. Nah, jika pertanyaan ini diacukan ke Guru Honor, pasti jawabanya ada yang Rp 100.000/bulan sampai Rp 500.000/bulan.
Sangat miris kondisi pendidikan kita ini, apalagi jika guru honor dituntut untuk meningkatkan kualifikasi akademiknya sementara bantuan dana pendidikanpun tak ada. Lima bulan lama penantian sebagai guru honorer yang ada di Kabupaten Maros menunggu dana BOS yang tak kunjung cair (Khusus Kementrian Agama Kab. Maros), konon katanya pihak DPR telah membintangi tiga kementrian yang ada dipusat yaitu Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Agama, dan Kementrian Pemuda dan Olahraga. Hal ini mengakibatkan kondisi kantong guru honorer telah kering karena mereka hanya mengandalkan dari anggaran dana BOS dan tunjangan sertifikasi mereka.

Padahal media telah mengabarkan bahwa pihak DPR telah membuka bintang (baca:blokir) dari Kementrian Agama karena dana BOS dan Tunjangan sertifikasi menyangkut orang banyak. Bahkan salah satu anggota DPR mendesak Kepada kementrian Agama untuk mencairkan secepatnya dana BOS (Baca: http://news.liputan6.com/read/576474/dana-bos-belum-cair-dpr-darimana-guru-dapat-gaji)
Penderitaan guru honorer ini sudah dirasakan bertahun-tahun tak ada perubahan. Entah, apa yang diinginkan oleh pejabat kita, padahal mereka telah diajari secara tidak langsung oleh guru baik PNS maupun Non PNS, akan tetapi ketika mereka menjadi pejabat mereka seakan lupa siapa yang mengajari mereka membaca, mengajari mereka menulis, mengajari mereka berhitung, sangat ironis.
Sebagai pejabat yang memegang amanah rakyat, tanpa terkecuali juga guru honorer sepatutnyalah mereka memperjuangankan hak seorang guru, seharusnya merekalah yang berada digarda depan untuk kondisi hal ini kalau mereka punya panggilan jiwa buat Guru Honorer.
Paling tidak ketika ia menjadi pengambil kebijakan dalam suatu daerah, pejabat tersebut membuat suatu terobosan baru yaitu meningkatkan kesejahteraan guru honorer yaitu salah satunya adalah Upah Minimum Regional, dengan sebuah asumsi bahwa gurulah yang akan membuat perubahan di Negara tercinta kita, akan tetapi mungkin saja ini adalah hal yang mustahil bagi pemangku jabatan. Sehingga sampai detik ini tak ada gerakan atau angin surga buat guru honorer.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan mengupayakan gaji guru honorer di atas biaya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Jakarta sebesar Rp 1.978.789 per bulannya. Tenaga dan jasa guru honorer dinilai sangat membantu dalam peningkatan kualitas pendidikan di Jakarta. (http://megapolitan.kompas.com). Inilah pemimpin yang tak melupakan jasa-jasa gurunya. Dan inilah suatu terobosan bagi Pemkab yang lain, yang patut ditiru dan tentunya melihat anggaran yang ada. Sehingga profesionalisme dari guru Honor dapat diimplemantasikan.
Jika gaji guru honorer masih pada area Rp 100.000-Rp 500.000 maka secara otomatis yakin dan percaya bahwa kondisi pendidikan yang ada di daerah akan masih di bawah rata-rata. Ini disebabkan guru tersebut harus mengais rezeki ditempat lain agar anak-anak mereka dan istri mereka dapat makan tiap hari.
Sinkornisasi ketika dana BOS dan tunjangan sertifikasi belum cair maka gaji UMP yang tentunya akan menambal uang pembeli bensin untuk guru agar mereka dapat tetap mengajar, pembeli susu bagi anaknya, pembeli kebutuhan dapur dan lainnya.
Saya ingat benar sebuah peristiwa yang dijelaskan dalam buku Guru-guru Dahsyat, di mana seorang kepala sekolah harus bekerja sampingan sepulang mengajar sebagai pemulung dan kerap dicemooh oleh se profesinya bahwa ia telah mencoreng dunia pendidikan. Pekerjaan sambilan sebagai seorang pemulung bukanlah keinginan Kepala sekolah tersebut akan tetapi kondisi di mana keluarganyalah sehingga terpaksa menjadi pemulung.
Mungkin saja bukan hanya kepala sekolah tersebut yang akan menjadi pemulung untuk menghidupi keluargaanya akan tetapi, jika gaji guru honorer ini tetap dipertahankan oleh pemangku jabatan maka secara otomatis tak adalagi yang akan mau jadi guru, karena pekerjaan guru dianggap pekerjaan yang terakhir oleh mereka yang menggeluti dunia kerja.
Sebuah mimpi besar bagi saya jika pejabat pemangku kepentingan mau dengan rela membuat sebuah regulasi yang pro terhadap nasib guru honorer yaitu peningkatan kesejahtraan guru melalui Upah Minum Regional dan jaminan kesehatan bagi guru honorer.
Sekali lagi ini adalah sebuah mimpi di siang bolong saya dan semoga mimpi di siang bolong ini menjadi kenyataan bahwa pemerintah mau berupaya untuk menggodok payung hukum bagi guru honor dan mengimplmentasikan payung hukum tersebut dalam bentuk Upah Minum Regional di Kab.Maros.
Wallahualawam fisabilhaq
Maros. 10 Mei 2013
Indra Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar