(Refleksi
Hari Pendidikan, Mimpi Sang Guru Honorer)
Awal
bulan Mei, dua tanggal yang diperingati sekaligus Hari Buruh dan Hari
Pendidikan Nasional. Media massa memberitakan kedua momen ini, yang muncul
dalam benak saya, apa perbedaan antara Buruh dan Guru, tentunya sangat jauh
berbeda, Buruh kerja di perusahaan sementara Guru bekerja di Sekolah. Objek
buruh adalah benda mati, sedangkan objek Guru adalah Manusia. Bahkan Guru
mencetak buruh, mencetak mereka yang duduk di parlemen.
http://media.viva.co.id
Akan
tetapi, Coba tanyakan kepada buruh dan guru honorer berapa besaran gaji mereka
terima per bulan. Tentunya buruh akan menjawab secara variasi, ada yang
menjawab Rp. 500.000/bulan sampai Rp 1.100.000/bulan. Nah, jika pertanyaan ini
diacukan ke Guru Honor, pasti jawabanya ada yang Rp 100.000/bulan sampai Rp
500.000/bulan.
Sangat
miris kondisi pendidikan kita ini, apalagi jika guru honor dituntut untuk
meningkatkan kualifikasi akademiknya sementara bantuan dana pendidikanpun tak
ada. Lima bulan lama penantian sebagai guru honorer yang ada di Kabupaten Maros
menunggu dana BOS yang tak kunjung cair (Khusus Kementrian Agama Kab. Maros),
konon katanya pihak DPR telah membintangi tiga kementrian yang ada dipusat
yaitu Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Agama, dan Kementrian
Pemuda dan Olahraga. Hal ini mengakibatkan kondisi kantong guru honorer telah
kering karena mereka hanya mengandalkan dari anggaran dana BOS dan tunjangan
sertifikasi mereka.
Padahal
media telah mengabarkan bahwa pihak DPR telah membuka bintang (baca:blokir)
dari Kementrian Agama karena dana BOS dan Tunjangan sertifikasi menyangkut
orang banyak. Bahkan salah satu anggota DPR mendesak Kepada kementrian Agama
untuk mencairkan secepatnya dana BOS (Baca: http://news.liputan6.com/read/576474/dana-bos-belum-cair-dpr-darimana-guru-dapat-gaji)
Penderitaan
guru honorer ini sudah dirasakan bertahun-tahun tak ada perubahan. Entah, apa
yang diinginkan oleh pejabat kita, padahal mereka telah diajari secara tidak
langsung oleh guru baik PNS maupun Non PNS, akan tetapi ketika mereka menjadi
pejabat mereka seakan lupa siapa yang mengajari mereka membaca, mengajari
mereka menulis, mengajari mereka berhitung, sangat ironis.
Sebagai
pejabat yang memegang amanah rakyat, tanpa terkecuali juga guru honorer
sepatutnyalah mereka memperjuangankan hak seorang guru, seharusnya merekalah
yang berada digarda depan untuk kondisi hal ini kalau mereka punya panggilan
jiwa buat Guru Honorer.
Paling
tidak ketika ia menjadi pengambil kebijakan dalam suatu daerah, pejabat
tersebut membuat suatu terobosan baru yaitu meningkatkan kesejahteraan guru
honorer yaitu salah satunya adalah Upah Minimum Regional, dengan sebuah asumsi bahwa
gurulah yang akan membuat perubahan di Negara tercinta kita, akan tetapi
mungkin saja ini adalah hal yang mustahil bagi pemangku jabatan. Sehingga
sampai detik ini tak ada gerakan atau angin surga buat guru honorer.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan
mengupayakan gaji guru honorer di atas biaya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di
Jakarta sebesar Rp 1.978.789 per bulannya. Tenaga dan jasa guru honorer dinilai
sangat membantu dalam peningkatan kualitas pendidikan di Jakarta. (http://megapolitan.kompas.com).
Inilah
pemimpin yang tak melupakan jasa-jasa gurunya. Dan inilah suatu terobosan bagi
Pemkab yang lain, yang patut ditiru dan tentunya melihat anggaran yang ada.
Sehingga profesionalisme dari guru Honor dapat diimplemantasikan.
Jika
gaji guru honorer masih pada area Rp 100.000-Rp 500.000 maka secara otomatis
yakin dan percaya bahwa kondisi pendidikan yang ada di daerah akan masih di bawah
rata-rata. Ini disebabkan guru tersebut harus mengais rezeki ditempat lain agar
anak-anak mereka dan istri mereka dapat makan tiap hari.
Sinkornisasi
ketika dana BOS dan tunjangan sertifikasi belum cair maka gaji UMP yang tentunya
akan menambal uang pembeli bensin untuk guru agar mereka dapat tetap mengajar,
pembeli susu bagi anaknya, pembeli kebutuhan dapur dan lainnya.
Saya
ingat benar sebuah peristiwa yang dijelaskan dalam buku Guru-guru Dahsyat, di
mana seorang kepala sekolah harus bekerja sampingan sepulang mengajar sebagai
pemulung dan kerap dicemooh oleh se profesinya bahwa ia telah mencoreng dunia
pendidikan. Pekerjaan sambilan sebagai seorang pemulung bukanlah keinginan
Kepala sekolah tersebut akan tetapi kondisi di mana keluarganyalah sehingga
terpaksa menjadi pemulung.
Mungkin
saja bukan hanya kepala sekolah tersebut yang akan menjadi pemulung untuk
menghidupi keluargaanya akan tetapi, jika gaji guru honorer ini tetap
dipertahankan oleh pemangku jabatan maka secara otomatis tak adalagi yang akan
mau jadi guru, karena pekerjaan guru dianggap pekerjaan yang terakhir oleh
mereka yang menggeluti dunia kerja.
Sebuah
mimpi besar bagi saya jika pejabat pemangku kepentingan mau dengan rela membuat
sebuah regulasi yang pro terhadap nasib guru honorer yaitu peningkatan
kesejahtraan guru melalui Upah Minum Regional dan jaminan kesehatan bagi guru
honorer.
Sekali
lagi ini adalah sebuah mimpi di siang bolong saya dan semoga mimpi di siang
bolong ini menjadi kenyataan bahwa pemerintah mau berupaya untuk menggodok
payung hukum bagi guru honor dan mengimplmentasikan payung hukum tersebut dalam
bentuk Upah Minum Regional di Kab.Maros.
Wallahualawam
fisabilhaq
Maros. 10 Mei 2013
Indra Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar