Tengah kerinduan yang secara sadar membuatku harus berkelana dan berkecimpung dalam resah. Siang, malam, pagi dan sore terus bayangan itu menjelma di sudut-sudut kamar, sudut-sudut ruang kota dan di perempatan batin yang terkoyak-koyakkan, rasa yang tak dapat dibendung sebab rasa telah menjadi gamang, percaya tak lagi percaya, sebab kadar percaya itu pun telah surut dengan kadarnya. Emas tak mungkin menjadi berlian, perak tak mungkin menjadi intan, apalagi almunium mustahil menjadi permata yang balutannya adalah emas. Terkadang malam dengan sambutan ringtone poliponik melantun batin yang menangis, akibat cambukan, irisan, dan akibat melodi dari kalimat-kalimat dan kata-kata dusta yang terpaksa menjadi hukuman, konstitusi dari hakim yang tak adil.
Awal pemberangkatan ke kota asing hanya menjadi wacana belaka, pesawat yang lepas landas meninggalkan diriku tepat jam 09.00, sebab proses berpikir kataku yang membuatku terlambat, mungkin belum saatnya sebab kalimat dari perempuan yang harus dianalisis secara dalam-dalam. Ketidaktegaan juga membuatku mesti berada pada bumi yang tak lagi perawan ini, karena amanah dari seorang bapak terhadap anak perempuannya ada pada pundakku. Amanah ini yang membuatku bertahan sejenak tanpa berpikir harus menderita dengan kejadian ini.
“Nak…. Kutitip anak perawanku padamu, sebab tak ada sanak family di sana, di pundakmu ku titip ia di tanganmu, Kami sekeluarga berharap banyak dari kamu. Sebab ia berada di rantau orang”. Katanya dengan isak tangis yang ada pada matanya.
“Nak, iya gadisku yang keempat, sebenarnya kami tak ingin melepaskannya, kami ingin ia berada di kampungnya, mengikuti kakaknya sebagai pendidik, yang memiliki pendidikan tinggi seperti kakaknya”.
“Pak…., Bu… Insya Allah amanah yang Jbu berikan kepadaku akan kuimplementasikan dan kurealitaskan dalam bingkai tanggung jawab”.
Lentera menjadi titik pandangan yang terakhir. Bapak dan ibu itu menyarankan agar beristirahat sebab esok masih panjang perjalanan yang akan dilalui, kemudian mereka berlalu dan masuk ke kamar, kemudian aku menyusul ke kamar tamu yang telah menjadi tempat peristirahatan antara Aku dan Ram.
Ram… Entah kenapa, aku menjadi bagian dari keluarga ini, ayah Luna telah ku anggap sebagai bapakku sendiri, ibunya pun sama, terasa aku bagian dari rumah ini. Ram… keluarga ini baik buat kita, suatu saat nanti kiranya ketika kita sampai ke Maros, Aku akan menjadikannya pelabuhan terakhir, menjadikan perempuan yang memberikan kehangatan kepadaku.
“Iya…., Akupun merasa demikian, mereka baik, kita banyak memikul hutang budi di keluarga ini”.
Denting jam berbunyi, tepat pukul 1 dini hari, bantal guling, dan kasur serta serbek, dan selimut sejak dari tadi menatapku dengan gusar, kubaringkan tubuhku dan menatap langit-langit kamar, kembali terdengar di gendang telingaku kalimat dari orang tua Luna, bahwa Aku mesti menjaga dan bertanggung jawab atas semuanya tentang Luna. Iya… jawabku.
Imajinatif itu memberikan penegasaan yang dalam bahwa ia adalah perempuan yang menjadi kekasihku, dan kuhajatkan menjadi pendampingku. Bu .. Pak… restui kami dengan hubungan ini, semoga Allah memberikan pula restu kepada kami sehingga menjadi keluarga sakina yang mawaddah wa rahma.
Perjalanan Sinjai ke Maros, dalam ruang hatiku bertanya-tanya, apakah aku sanggup…. sanggup memikul tanggung jawab ini, Iya…. Rabb… Engkau Maha Tahu… Engkau Maha Adil dan Maha Penyayang, hamba-Mu yang hina ini meminta kepada-Mu agar beban dipundak ini dapat teratasi dengan mudah. Tanpa hambatan dan konflik yang mengakibatkan konfrontasi.
Jarak kota Maros dan Sinjai, membuat pikiranku melayang dan berpikir tentang tanggung jawab tersebut, tiba diperbatasan antara Bone-Maros, sopir meminggirkan mobilnya untuk sholat jum’at. Air wudhu yang membasuhku perlahan-lahan meninggalkan keringat yang penuh dosa. Disujud akhirku Aku meminta kepada pemilik bumi ini, agar perempuan yang kujadikan pendampingku setia menemaniku sampai seumur hidupku. Iya,… Maha Rahman… lahualata’illah billah. Yah.. Maha Rahman jadikan ia sebagi istriku yang taat ibadah, jadikan ia sebagai istri yang soleha dan jadikan ia sebagai istrtiku yang mengikuti kata suaminya, dan bukakanlah pintu hatinya bahwa perkataan seorang laki-laki yang mesti diikuti.
Setelah sholat Jum’at, kulangkahkan kaki ke arah mobil, dan melanjutkan perjalanan, petak sawah yang artistik dengan gambaran gunung yang istemewa, dengan iringan musik ugi. Gumamku dalam hati Luna, andai kau tahu bahwa ini pertama kalinya aku menginap dirumahnya kekasihku, dan pertama kalinya diberikan amanah oleh seorang ayah dan ibu dari perempuan. Luna… Ingin rasanya kubangun istana di tengah kebun itu, di mana anak-anak kita bermain-main di bawah dego-dego dan kita memetik cengkeh, sambil sebutan ayah … kau memanggilku untuk membantumu memindahkan tangga. Keinginan ini hanyalah sebuah hayalan yang istemewa, harapku ini menjadi realitas. Seperti itulah ilusi yang kumainkan dengan tanpa sadar mesti jatuh, jatuh dalam kelam yang tak pantas dengan sebutan.
Bengo, Kiri kataku, motor yang 2 hari kutinggalkan telah setia menemaniku untuk ku bawa pulang, sejak berangkat dari Sinjai 2 hari ia motor itu menjadi kusut. Ram… Engkau yang memakainya kataku, nanti sampai di rumahmu aku mengemudinya.
* * * *
Pada penanggalan 23 Agustus 2009, kabar dan warkat menjadi urgensial ketika kuberi kabar sanak familiku di Sinjai dan perempuanku, bahwa ujian akhir telah selesai. Saatnya untuk libur, mungkin liburan ini akan kembali ke kampung perempuan itu karena kerinduanku menjadikan hidup lebih bermakna, setelah sholat Magrib kutunaikan dan sarapan malam, ku lajukan motor ke arah selatan di Terminal kota, disana ada perempuan tinggi, ayu, yang sejak dari tadi menunggu untuk bercanda tawaku, sapaku pada bintang sambil kretek kuisap diperjalanan.
Ku parkirkan motor, tepat di dekat lampu merah itu, Aku cukup menawarkannya untuk jalan-jalan, tapi bibirnya kaku untuk menjawab dan hingga akhirnya tak ada jawaban yang ada dibibirnya. Hingga ku lajukan motorku ke arah barat dengan membeli bensin, sepulang itu ketemukan ia telah naik di motor dengan kemesraan yang nampak di wajahnya.
Laju motor yang tak kencang berubah menjadi laju yang tak pernah lagi ku jalankan sejak paska jatuhnya Aku di arena balap tahun lalu yang membuat kaki patah dan tangan juga patah yang mesti dirawat setengah tahun waktu itu, tapi karena kebencian dan janji yang tak dapat diikuti membuatku harus berbuat itu, karena wajahku telah suram untuk sebuah kenangan yang dihianati.
Aku, menenangkan batinku yang telah menjadi ah….? Entahlah seperti apa, yang ada hanya benci, kacau, dan gusar serta resah ingin rasanya memaki dan mencaci, tapi bukan itu kataku… biarkan ia menjadi milik orang lain.
Malam ini kuhapus suka dan hayalanku tentang keindahan rumah panggung dan di dego-dego anak-anak kita bermain, malam ini harapan menjadi seorang kasih dan seorang Ayah telah punah dengan pilihanmu. di tanganmu ada pilihan. Pilihan untuk meninggalkanku adalah pilihanmu. biarkan nostalgia kita endingnya sampain disini.
Maros, 24 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar