“Pagi”
“iya,
Aku sedang di jalan”
Prak….prak…prak……
Suara dari seberang HP itu, lalu hening…
Nisa
duduk di sofa tanpa berkata apa-apa, dihadapanya secangkir teh hangat, wajahnya
pucat, bibirnya agak memutih dan matanya berlinang bulir-bulir Kristal banjir
di sungai pipi, Nokia E-27 terjatuh dari gemgaman, tanpa ia sadar.
Masih
duduk di sofa, Suara musik kembali terdengar dari Nokianya, 1 message, “Nisa, Gunawan kecelakaan, ia
sekarang di rumah sakit Pangkep”.
Nisa
berlari ke kamar, memakai jilbab kemudian berlalu, dengan niat segera bersua
dengan Gunawan, meski ia belum menyegarkan badannya dari bau, meski tehnya
belum selesai ia teguk, pikirannya tertuju pada Gunawan.
“Gun…semoga
kamu baik-baik saja” lirih dalam hati
Pete-pete
berhenti tepat di depan rumah sakit Pangkep, Nisa berlari ke receptionis, jam dinding menunjukkan
8.30, sudah 30 menit Gunawan terbaring, di ruang tunggu seorang ibu tua
memanggilnya, derai air mata pecah di situ, dihadapan perawat, pasien, dan tabung
oksigen, mereka berpelukan.
“Nak…den’repa na mat’tama
diruangan ICU, de’pa na sadar” (Sejak dari tadi, ia
diruangan ICU, namun belum sadar jua) bisik ibu Gunawan.
“Mak….. Puange Maraja….pallisui lokka
dipuange” (Mak…Allah SWT yang berkuasa, kembalikan kepadanya).
Seiring
langkah Nisa ke ruang ICU bersama ibu Gunawan, dengan harap-harap cemas di
broka Nisa, semoga Gunawan tak apa-apa, semoga dia diberikan hidayah oleh Allah
SWT.
Gunawan
yang terbaring, katanya ada luka robek di bagian jidat bagian kanan dan kini
sedang proses jahitan, kaki kanan patah sebab benturan dengan kap mobil, dokter
sementara berupaya menangani pasiennya, dengan hati-hati.
Nisa,
ibu Gunawan, dan kerabat Gunawan duduk di depan ruang ICU, dengan asa semoga
Gunawan dapat tertolong, tepat pukul 10.00 Dokter ke luar dari ruangan ICU,
semua yang menunggu tiba-tiba berdiri.
“Dok….Bagaimana
kondisi anakku” sahut ibu yang cemas dengan kondisi Gunawan.
“Bu….
Alhamdudillah, berkat pertolongan Yang Maha Kuasa, Gunawan bisa kita
selamatkan, tapi….”
“Tapi..apa
dok…?” Nisa dengan cepat berkomentar, ketika dokter tiba-tiba tunduk dan diam.
Dengan
suara agak terbata-bata, wajah Dokter Fuadi menatap kerabat Gunawan, sambil
melepas kacamata dan tangannya dia masukkan disaku baju praktek berwarna putih.
“Maafkan
Aku….., Gunawan mengalami luka patah di bagian kaki kanannya, dahinya robek,
mungkin benturannya agak keras”.
Tubuh
Nisa lemas….ia lalu duduk dibangku ruang tunggu, menatap hampa, suara isak
tangis…kembali mengalir.
Dokter
Fuadi memanggil Ibu Gunawan untuk bicara empat mata, mungkin sangat rahasia
hingga kerabat lain tak boleh mendengarnya.
“Bu…Aku
mencari nama Nisa, apa ibu kenal denganya?” sahut dokter.
“Iye….Itu
dia”
“Bu….saya
harap, Nisa mau merawatnya, Nisa adalah kekuatan dalam diri Gunawan”
Dengan
rasa penasaran Nisa menghampiri Dokter Fuadi, untuk meminta izin agar
diperkenangkan melihat kondisi Gunawan, Dokter Fuadi melihat dari mata Nisa,
ada rasa khawatir, Dokter Fuadi mengizinkannya, dan berharap yang merawatnya
adalah Nisa.
Nisa
masuk ke dalam ruang ICU, jantungnya berdetak tak menentu ketika ia menatap
tubuh Gunawan terbaring di kasur, tangan kanannya dihiasi dengan inpus, Nisa,
menatap dalam-dalam, seakan ingin memeluk Gunawan, tapi kondisi gunawan masih
dalam keadaan kritis.
Nis…..Nis….Nisa…..nama
Nisa disebut oleh Gunawan, matanya terpejam, kakinya sedikit bergetar, tangan
yang terimpus bergerak sedikit-sedikit, Ada rasa gembira dihati Nisa…saat
mendengar namanya disebut.
“Gun..iya,
Aku di sini Gun..tepat di sampingmu”
Nisa
menggemgam tangan Gunawan, pancaran rasa sayang mengalir dalam aliran darah,
terus mengalir dinadi Gunawan. Jarum jam merah menunjukkan pukul 13.30, Nisa
pamit dengan Ibu Gunawan untuk melaksanakan Sholat Dzuhur, ia langkahkan
kakinya ke Masjid, masih di area rumah sakit. Air wudhu melepaskan sebagian
jerit hatinya, kegalauan, dan keresahannya, Ia tunaikan kewajibannya sebagai
ummat muslim, menghadap ke Sang Pencipta, Setelah selasai, ia panjatkan doa agar
Gunawan segera pulih dari apa yang ia rasakan.
Usai
sholat, Ia kembali ke kamar ICU, dibukanya pintu perlahan-lahan, sangat pelan,
takut kalau Gunawan terbangun. Tersentak, ia melihat Gunawan sudah sadar,
berbicang dengan ibunya, lalu dia menghampiri Gunawan.
“Nak….idi si..jagai daengnu….elo’ka dolo
lokka ma’sumpajang” (Nak….Saya sholat dulu, kamu di sini saja temani,
kakakmu)”
“Iye….Mak..”
Nisa
menatap Gunawan, cahaya keceriaan terpancar pada raut wajah Nisa, dalam hati
memuja dan memuji syukur kepada Ilahi, atas jawaban doa.
“Nisa…Aku
tak sempurna lagi….mama, telah menjelaskan segalanya kepadaku, sebuah
peristiwa, tadi pagi, kamu lihat sendiri…”
“Tak
usah banyak bergerak dulu, kamu istirahat saja dulu…, Kamu sudah makan?”
“Iya..mama
telah menyuapiku tadi”
Udara
panas menyengat di tubuh, panasnya berbeda dengan kemarin, mungkin akan turun
hujan deras, kulap keringat Gunawan, dengan rasa kasih sayang, Suara ketokan
terdengar dari balik pintu..tok…tok..tok…, seorang perempuan dan laki-laki
masuk diantar oleh ibu Gunawan. Aku hentikan aktiftas melap keringat Gunawan,
dan kulihat ia simpan kata dikeringat itu pas ketika ia melihat perempuan yang
masuk tadi dan lelaki kurus berambut agak gonrong.
“Siang
Gun….”
Perempuan
berambut panjang, tinggi 160 cm, menaruh ole-ole di atas meja, pas didekatku.
“Siang
Wan..........” “Hey….San….”
Rona
wajah Gunawan tak bersahabat ketika melihat wajah Sanni, seakan ia ingin
memaki, menyumpahi lelaki itu, meludahi lelaki itu, dan Aku baru tahu siapa
nama perempuan itu, nama yang asing bagiku, tak pernah Gunawan menyatakan
kepadaku tentang nama Wani ditelingaku, siapa gadis ini?, mengapa gunawan
sangat kesal nampaknya?.
Aku
berjalan ke arah jendela, ku buka 1 kuping daunnya, membiarkan angin
masuk, kulihat ibu Gunawan akrab dengan
Wani, selalu saja pertanyaan dalam benakku muncul, siapa gadis itu?, siapa Wani?,
ada hubungan apa mereka?, kenapa Gunawan tak pernah memberitahukan Aku tentang
Wani?. Namun kututup rapat-rapat wajahku yang resah tentang gadis itu dengan
senyuman.
Lima
menit Aku dipinggir jendela, kuputuskan untuk meninggalkan mereka, berjalan ke
taman, kegalauanku terhadap perempuan itu kutancapkan pada tanah melalui angin.
Menatap hampa dengan beberapa resah dikalbuku. Sungguh tak habis pikir, mengapa
Gunawan menyembunyikan biografi gadis itu?, sudah hampir setahun Aku jalan
bersamanya, sangat rahasia dan sangat rapat, sungguh lihai Gunawan
menyembunyikannya.
Tanpa
sadar Aku kembali melihat Sanni dan Wani keluar, dengan kendaraan roda dua,
mungkin mereka sepasang sejoli.
“Magaki daeng, na de’sipada denre kuita pa’kasiatta”.
(Kamu kenapa kak…tak seperti tadi perasaanmu Aku lihat) sahut Anna, sambil
memegang pundakku dari belakang.
“De’ma ndi….”.
“Magaiki pale daeng,
siapa tau malasaki?”(Lalu, kamu kenapa kak…apa kamu sakit?)
“Ehm…manawa-nawama sedding ndi…kira-kira
igaro den’re makkunrai’e”. (Saya hanya berpikir, siapa perempuan tadi)
Anna,
adik Gunawan cuma diam, menyembunyikan sesuatu.
“Ndi…elokka diolo lok’ka dikamarana daengmu,
pettang ni se’ding na elo’ka lisu lokka di Maru, ba’japi ku lao mai’si”.
(Dik…Aku mau ke kamar kakakmu, karena hari sudah agak gelap, Aku ingin kembali
Ke Maros, nanti besok baru Aku ke sini lagi)
“Iye…daeng”
Berjalan
menyusuri lorong-lorong Rumah sakit, letak kamar Gunawan agak jauh dari taman,
sudah hampir ruangan ICU, suara pertengkaran antara Gunawan dan Ibunya
terdengar, Suara membentak keluar dari bibir Gunawan, Aku urungkan Niatku untuk
masuk, Aku dengar bahwa laki-laki itu adalah sahabatnya, tapi yang paling
mengejutkan Aku, perempuan yang bersama sahabatnya adalah mantan kekasih.
Khusus buat: Becek, Opiq
oh gitu yah......
BalasHapus