Sore itu, langit agak mendung, sosok laki-laki duduk di depan pondoknya,
bermain kecapi bersama alam bernyanyi.
Suara
riuh menderu memasuki relung kalbu Toakala, di balai depan pondoknya di Simbang
Bantimurung, sambil memetik kecapi, pikirannya melayang, mengingat bayang
wanita bernama Bissudaeng, seorang gadis yang ayu, perempuan yang menjadi
rebutan para lelaki di kerajaan Simbang
Tak
henti-hentinya ia menyelam ke dalam lamunannya, menjadikan ia semakin tak kuasa
membendung perasaannya yang hampir tiap detik, menit, siang bahkan malam ia
resah oleh tarian-tarian Bissudaeng yang ada pada pelupuk matanya.
“Oh....
Bissudaeng.....oh....Bissudaeng, kapan kita dapat bertemu?” lirihnya dalam
hati.
Kecapi
yang setia menemaninya, ia petik sambil menyanyikan lagu kesayangannya, untuk
penghibur hatinya yang sedang galau. Tengah malam, tepat pukul 23.50, purnama
tepat dihadapnya, ia membayangkan bayang wajah Bissudaeng pada purnama itu.
Lamunannya tiba-tiba buyar dengan suara gemuruh...ia memalingkan wajahnya,
Toakala mencari suara itu.
“Suara
apa itu...?’ lirihnya dalam hati
Rasa
penasaran melandanya sama halnya ketia ia mulai mencari nama Bissudaeng dalam
hatinya.. suara gemuruh itu hampir sama, keraguannya mulai memuncak, ia
mendekati suara itu...Toakala mulai menunjukkan sikap yang tidak seharusnya. Ia
berkonsentrasi ingin mengetahui suara apa gerangan, kicauan jangkrik mulai
memudar.
“Benti merrung....iya ...Benti merrung (Benti:Air, Merrung: Suara)”
Toakala
mulai berjalan menuju suara gemuruh yang ia sebut dengan benti merrung itu, medan yang terjal, semakin dekat, suara gemuruh
itu perlahan-lahan menjadi jelas. Hari mulai pagi, namun Toakala belum jua
menemukan suara air itu, namun semakin jelas suara itu ditelinganya, kokokan
ayam satu per satu telah berbunyi, Toakala bersandar pada pohon di kaki bukit,
kelelahanya ia lampiaskan terlebih dahulu kemudian melanjutkan perjalanannya,
sinar matahari menyelusup masuk ke matanya hingga ia terbangun.
Rasa
penasaran masih membayangi pikirannya, seperti apa Benti merrung itu, rasa lelahnya perlahan menghilang kemudian ia
kembali melompat, berlari, berjalan tergopoh-gopoh, sambil nafasnya
terengah-engah tetap ia berjalan menyusuri hutan, sungai, pepohonan,
rerumputan, ia berjalan menyusuri lereng-lereng gunung.
Semakin
dekat suara gemuruh itu, semakin membuat Toakala bersemangat untuk melihat air
terjun tersebut, seperti apa keindahannya, seperti apa modelnya, bagaimana
keadaan tempat tersebut, Toakalah terus berlari, hingga ia mendengar suara
orang tertawa riang sambil memainkan percik-percik air, rasa penasaran,
siapakah gerangan, semakin ia mendekat, suara orang tersebut semakin jelas.
“Aku
pernah mendengar suara itu, tapi di mana...?” pikiran Toakala melayang, hati kecil
Toakala bertanya-tanya, suara itu...suara perempuan...ya... suara perempuan,
tapi siapa? Pikiran Toakala melayang-layang, ia menyusuri lorong-lorong kecil
dibenaknya, Aku ingat...suara itu, Bissudaeng...iya ....gadis belia nan cantik
itu....Tapi, Aku tak boleh melihat ia mandi, biarkan Bissudaeng mandi dulu baru
Aku mendekatinya....”pikirnya
Kegirangan
dalam hati Toakala karena bertemu dengan gadis yang ia dambakan, perempuan yang
tercantik di kerajaan Simbang, seorang putri yang dipuja oleh banyak lelaki.
Namun, Toakala berpikir sejenak, mana mungkin seorang Toakala akan
mempersunting putri cantik itu, badannya ditumbuhi bulu-bulu lebat, dan tinggal
di hutan, pasti ia akan heran melihatku kalau ia bertemu denganku.
Nyali
Toakala kemudian menjadi ciut, ia tak berani menampakkan diri dihadapan
Bissudaeng, jika disandingkan dengan dirinya pasti Bissudaeng tak akan mungkin
memilih Toakala, semangat yang membara dalam dirinya kini padam sebelum ia
melihat kemegahan lukisan Ilahi, dan bertemu dengan pujaan hatinya.
“Toakala....tetaplah
bersemangat, pasti suatu saat ia akan bertemu dan melihatmu” suara ini berasal
dari palung hatinya.
Dua
jam, ia menuggu, matahari telah menampakkan diri, suara gadis-gadis itu pun
semakin menghilang, perlahan-lahan Toakala merangkak, mendaki gunung untuk
melihat jelas suara air terjun tersebut. Alangkah herannya Toakala melihat air
terjun itu, sampai matanya tak berkedip, sungguh luar biasa katanya dalam hati.
Ia duduk sambil menikmati air terjun tersebut, ia kemudian mendekati air terjun
dan mandi, suatu kesegaran dalam tubuh Toakala.
Hampir
tiga jam ia memanjakan tubuhnya di air terjun tersebut, sambil bermain sendiri,
kupu-kupu beterbangan sebagai teman di dekat air terjun tersebut. Tiba-tiba
selendang biru yang dibawa arus mendekatinya, pas dikakinya selendang itu
berhenti, Toakala mengambil selendang itu dan berpikir mungkin ini selendang
Bissudaeng, wanita pujaan hatinya.
Segera
Toakala menyusul rombongan dari kerajaan Simbang tersebut. Namun, ia tak
menjumpainya, hingga ia berada di hadapan kerajaan tapi tak bisa masuk, karena
penjaga terlalu ketat, walau hajat Toakala amat ingin bersua dengan pujaan
hatinya dan memberikan selendang tersebut namun, tak apa daya ia mesti memendam
hasratnya tersebut.
Dengan
rasa kecewa ia pulang ke pondoknya, dengan wajah murung, pikiran melayang ia
menyusuri jejak-jejak setapak pinggir gunung, hingga sampailah ia kepondoknya,
ia langsung mengambil kecapi dan memainkan kecapinya dengan rasa sendu di balik
dadanya. Selendang biru yang ia dapat tadi sore di dekat air terjun, ia ikat
dikecapinya dengan harapan ia tetap bersama dengan pujannya walau wujud
eksistensinya tak tampak di depannya.
Dua
hari berlalu, tak ada kabar, sahabat Toakala bernama La Beddu menjumpai Toakala
dipondoknya, La Beddu khawatir jika Toakala menjadi sakit, karena suara kecapi
tak pernah lagi terdengar, biasanya Toakala memainkan kecapinya pada saat
sesudah sholat subuh atau pada saat senja.
“Toakala...ada
apa gerangan denganmu?” kata La Beddu.
Toakala
hanya diam, sambil memandang selendang biru yang ia ikat pada kecapinya. Seakan
memberikan semiotik bahwa ia telah menemukan selendang miliki pujaan hatinya.
La Beddu hanya mengamati sikap dari Toakala dan ikut menatap selendang
tersebut.
“Toakala..bagus
benar selendang itu, punya siapa, dan di mana kau membelinya?
“La
Beddu, itu miliki Bissudaeng, Aku temukan ketika kudengar suara air di balik
gunung itu”
“Toakala,
sungguh cantik, pantas kau menatapnya terus, dan pantas petikan kecapimu tak
pernah Aku dengar, ternyata kau telah jatuh hati pada Bissudaeng”
“Apa
katamu? Toakala heran sambil memandang La Beddu
“iya...kamu
jatuh cinta saudaraku”
“Tak
mungkin La Beddu....tak mungkin....”
“Saudaraku,
apanya yang tak mungkin...?”
“Kamu
liat Aku, aku hanya orang biasa La Beddu...orang yang penuh dengan bulu, orang
pinggiran semacam Aku tak mungkin berada di kerajaan saudaraku”
“Toakala...kemarin
Aku mendengar bahwa, Kerajaan Simbang akan menggelar sayembara lomba kecapi,
ikutlah saudaraku karena potensimu untuk memetik kecapi sangat luar biasa,
konon katanya Putri kerajaan atau Bissudaeng lagi bersedih karena kehilangan
barang sangat berharga dalam hidupnya”
“Betulkah,
perkataanmu itu saudaraku....?”
“Iya...saudaraku,
besok...jam 08.00 pagi, pendaftaran sekaligus pembukaannya”
“Kalau
begitu, tolong temani Aku La Beddu ke kerajaan besok”
Spirit
Toakala kembali memuncak, ia kemudian memainkan kecapinya dan larut dalam
petikan-petikan kecapinya.
*****
Usai
sholat subuh, La Beddu dan Toakala berangkat menuju ke Kerajaan, Ia berjalan
kaki sejauh 10 Kilometer dengan berharap bahwa ia akan datang tepat waktu,
kecapi yang dihiasi selendang biru yang terbuat dari sutra tersebut menjadi
hiasan pada kecapinya dan ia bungkus dengan daun Lontar
Tepat
dihadapan kerajaan, masyarakat Simbang telah memadati pintu masuk kerajaan,
para penjaga memeriksa satu per satu pengunjung yang ingin menikmati sayembara
tersebut, ternyata sayembara ini bukan hanya diikuti dengan oleh masyarakat Simbang
tetapi juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan lain karena konon katanya bahwa
barang siapa yang dapat membuat putri kerajaan tersenyum maka ia akan dijadikan
sebagai pendamping putri tersebut.
Toakala
dan La Beddu, akhirnya mendaftar pada sayembara tersebut, kecapinya ia bungkus
agar tak nampak, ia gemgam terus sampai pada dihadapan ruang khusus di rumah
panggung atau di kediaman raja Simbang.
“Hadirin
yang saya hormati, bahwa hari ini, Raja Simbang mengadakan sayembara kecapi
agar putri beliau yaitu Bissudaeng dapat tersenyum, karena sejak Bissudaeng
pulang dari mandi yaitu di air terjun, wajahnya murung. Mungkin ada diantara
saudara-saudara yang akan membuatnya tersenyum lagi”
“Baiklah
hadirin sekalian, penampilan pertama, petikan kecapi dari kerajaan Cenrana,
suara alunann musik kecapi dari putra mahkota kerajaan Cenrana tak mampu
membuat tersenyum Bissudaeng hingga penampilan dari putra mahkota raja kerajaan
Lau dan akhirnya penampilan terakhir adalah Toakala, masyarakat Simbang kaget
dan heran, mereka bertanya-tanya dari mana Toakala, ia berasal dari kerajaan
mana, mengapa ia menjadi peserta dari sayembara ini”
Toakala
naik kepanggung, dan mengeluarkan kecapi yang ia bungkus dari daun lontar,
Bissudaeng dengan kondisi tak bersemangat perlahan-lahan membuka bibir pas
ketika ia melihat selendang biru yang terikat pada kecapi Toakala, lantunan
musik petikan kecapi Toakala menjadi hangat di hati Bissudaeng, sementara Raja
Simbang pun menikmati lantunan musik kecapi itu, Raja Simbang tak pernah
mendengar seindah petikan kecapi dari Toakala. Bissudaeng yang duduk kemudian
berdiri mendekati Toakala, namun Toakala tetap memainkan kecapinya dengan penuh
hikmat, sesekali ia berdiri, duduk di tangga panggung, dan mendekati masyarakat
yang telah menikmati petikan kecapinya seakan tersihir oleh kecapi.
Suara
riak dari penonton tiba-tiba hening, mata mereka melotot, badan mereka
menari-nari seperti terkena sihir. Dua puluh menit waktu yang diberikan Toakala
untuk memetikkan kecapinya ia selesaikan dengan baik, susara sorak tepuk tangan
menghiasi sayembara tersebut. Bissudaeng mendekati Toakala, dan membawanya ke
atas rumah panggung Raja Simbang.
“Toakala..sudah
lama saya menanti, orang yang membawa selendang biru tersebut, selendang
pemberian dari Ibunda, Puang Bani”.
“Maafkan Aku puang....waktu itu Aku temukan di dekat Air terjun, sudah Aku
upayakan untuk mengembalikan akan tetapi
senja telah nampak dan pintu gerbang kerajaan sudah tertutup akhirnya Aku
membawanya ke pondokku”
“Naiklah...Toakala”
“Hadirin
sekalian, inilah sang Juara kita, ia berasal dari sebelah gunung sana, ia
adalah anak muda yang memiliki bakat alami, memainkan musik kecapi yang sangat
indah, Ia adalah raja dari salah satu hutan menurutnya , mari kita tepuk
tangan..puk...puk....pukk....”
Toakala
yang tak pernah menyangka akan memenangkan sayembara ini, tersenyum, dalam
dadanya cuma ingin bertemu dengan Bissudaeng...yah Bissudaeng, wanita yang
ayu...cantik jelita...tak ada yang menandingi kecantikan di Kerajaan Simbang
ini.
Raja
Simbang sesungguhnya tak sudi menjadikan Toakala sebagai Putra Mahkota, karena
tubuhnya dipenuhi dengan bulu, maka dengan sigap iya memanggil pengawal dan
menyuruhnya untuk menuruti satu permintaan sang raja yaitu membendung air yang
mengalir deras di gunung dekat kerajaan dengan waktu semalam.
Suatu
hal yang mustahil bagi Toakala membendung air terjun Gunung Saraung, apalagi
dengan waktu yang diberikan hanya semalam. Bissudaeng mencoba untuk membujuk
raja, namun raja simbang telah mengeluarkan kalimat itu maka secara otomatis ia
tetap tidak akan menarik perkataannya, Bissudaeng tahu persis tabiat
ayahandanya, Raja Simbang.
“Toakala....Aku
tahu pasti kamu bisa membendung air terjun itu...”
“Bissudaeng....jika
purnama kamu minta, maka akan Aku kabulkan, dan Aku yakin bahwa sukmaku telah
menyatu dalam dirimu seperti itu pula sukmamu telah terpatri dalam darahku”
Toakala
berlalu, menyusuri lorong menuju gunung Saraung, sebelum matahari tenggelam di
ufuk barat ia mesti berada di air terjun tersebut. Bissudaeng hanya bisa
menangis, dan berdiam diri dikamarnya karena permintaan Raja Simbang yang mesti
terkabulkan untuk menyatukan mereka.
Matahari
telah tenggelam, suara jangkrik telah menghiasi perjalanan Toakala, beberapa
kera mengikutinya, kunang-kunang dan kupu-kupu juga turut menemani Toakala,
mengikuti jejak Toakala, akhirnya ia telah sampai di air terjun tersebut.
Ada
ratusan kera putih di dekat air terjun tersebut, seakan ia mengatakan Toakala,
kami datang untuk membantumu, mari kita bekerja sebelum fajar berada pada
peraduannya dan menggantikan malam menjadi pagi, menggantikan hari ini menjadi
esok.
Satu
per satu batu-batu diangkat oleh Toakala, yang dibantu oleh ratusan kera, mulai
dari batu yang kecil hingga yang besar ia susun untuk membendung air terjun
tersebut. Sudah hampir setengah tiga namun pekerjaan ini belum usai. Masih
setengahnya sementara waktu makin sempit.
“Wahai
pasukan kera...kuatkan kembali kekuatan kita, dan bantu Aku untuk membendung
air terjun ini karena waktu kita semakin sempit”
Kera-kera
mempercepat proses pembendungan, waktu semakin cepat berlalu tak sadar bahwa
kokokan ayam sudah mulai terdengar satu per satu. Toakala......lembayung fajar
telah nampak, matapagi mulai bersinar, Toakala, tak mampu membuat membendung
air terjun tersebut. Suara bergelagar dari langit, petir menyambar-nyabar tak
hentinya kera berjingkrak-jingkak tak karuan seakan membahasakan Toakala
maafkan kami, kami telah mengerahkan kemampuan kami untuk membantumu namun apa
daya waktunya telah sampai dan kita tak dapat membuat bendungan air terjun ini.
Toakala
hanya dapat diam, matanya mengeluarkan kristal-kristal membanjiri pipinya yang
berbulu lebat, kakinya menggigil, dan badanya kaku, ia bergegas melompat namun
surata nasibnya berkata lain, keinginannya tak dapat terpenuhi dengan
mempersunting Bissudaeng, kakinya perlahan-lahan menjadi batu sampai ia seluruh
menjadi batu dengan gaya mengangkat batu di atas kepalanya.
Dan
kini semua tubuhnya menjadi batu, suara petir perlahan-lahan mulai menghilang,
awan pekat kembali menjadi terang, hujan yang turun kini menjadi reda,
kupu-kupu mulai menghampirinya, suara air terjun jatuh berderai tak bisa
dibendung, Bissudaeng yang telah mendapat kabar bahwa Toakala menjadi batu
karena permintaan ayahnya sang raja tak dapat terpenuhi menjadi pendiam dan
akhirnya meninggal dengan kenangan dari Toakala. Air tejun itu dinamai Benti
merrung (Bantimurung) yang artinya air terjun.
****
Maros,
5 Desember 2012
Indra
Anwar
Terinspirasi dari drama yang dipentaskan oleh Teater Kuman
yang distradarai oleh Husni siame
Catatan:
·
Puang ( Gelar kebangsawanan daerah Maros
Sulawesi Selatan)
·
Benti Merrung (Air Terjun)