“Khaila….cukup kau menggorogoti benakku
dengan senyummu yang manis…..senyum yang memberiku kebahagian sejenak di alam
mimpi….”
“Bang….senyumku….adalah kekuatan atas
segala rasa yang pernah ku patrikan kepadamu walau sejenak kita bersama, walau
sejuta mimpi yang tak dapat terpenuhi tapi itu membuatku berada di surga…”
Kutipan message dari kaila yang membuatku menyerah dengan perdaban
globalisasi…Khaila yang telah membangun pondasi di sudut batin-batin yang
merindu…di sudut batin yang gusar tentang lentik mata dan mendamparnya di
lorong-lorong kegalauan pas depan kamar di wisma itu.
Ia telah berenang dengan kalbu dan
melukiskan pelangi di sela-sela kebisingan penat yang terpaku dalam sepi…dan
kini menjadi butiran-butiran kristal yang mengalir dari awan pekat di kaca
jendela bus menuju salah satu kota Sulawesi Barat.
Kursi bernomor 23 dekat jendela, Aku
terpaku menatap senyum dibibir mungilnya dan nanar yang memancarkan cahaya
dibrokaku sebab itulah kenangan. Sebuah memory yang mesti tertepis dengan
sejuta risalah dan catatan sejarah digedung putih berlantai 5.
Di hadapan pelangi zaman-zaman silam
memaksaku untuk merenungi beberapa catatan-catatan jurnal dari risalah indah
yang pernah tercatat….Khaila….kau gadis kecil yang lugu telah mencatatkan kisah
indah di kalbu….kau gadis kecil bernanar lentik…menulis dengan kanvas di atas
pelangi pas ketika embun menyapa dengan irama suara muadzin berkumandang…
Di kamar ini….setelah salat subuh
dengan tadarrus, ku buka kembali laptop dan Aku menulis tentang perjalanan
sakral tentang pertemuan dua hati….
Khaila…si gadis kecil
Kau telah membuatku membayangkan
sesuatu pada taman impian…taman mimpi yang ditaburi dengan kembang-kembang
mekar dengan senyummu dan aroma farfum…. Aku tahu Khaila…kau telah membuatku
jatuh hati kepadamu hingga odong-odong telah menjadi saksi kita berdua..dan
duduk pas paling belakang…
Catatan ini akan menjadi saksi
kerinduan kelak ketika kita tak bersua sebab jarak telah menyekatnya dan tak
mungkin kita bersama.
Januari 2010
Di kamar 320
“Bang…..sarapan yuuk….” Tandas Salim
“Ya….Aku off-kan dulu laptopku…”
Usai menulis beberapa kata yang kuuntai
menjadi bait… Aku dan Salim menyusuri lift
dan menuju lobby, dengan kekuatan
senyum dari gadis kecil yang kunamia Khaila, dan berharap bersua pada saat di lobby walau hanya melempar senyum dan
lirikan mata.
“Pagi…Bang…” sahut Khaila dengan busana
abu-abu….dan sepatu hak tinggi yang ia beli semalam, seakan mengatakan Bang
terima kasih telah menemaniku membeli sepatu semalam.
“Pagi…gadis kecil….”
“Aku bukan gadis kecil lagi…”
Wajah Khaila cemberut seakan memaksaku
untuk mengatakan ia telah menjadi perempuan dewasa, perempuan yang telah
mengenal nama cinta dihatinya…
“Iya…iya…kamu bukan anak kecil lagi...yang
membawa boneka Barbie…dan memeluknya pada saat ketika kau akan
tertidur….”sahutku dengan senyum.
Khaila berlalu tanpa kata…amarahnya
mulai menanjak seakan Aku mengejek dengan sengaja….yah…tanpa kata penutup atau
basa-basi agar Aku duduk didekatnya bersama untuk menikmati sarapan pagi
sebelum ujian dimulai….
“Bisa…duduk di sini…” kataku kepada
penghuni meja 3…”
Khaila, Mirna, dan Salma….tak menjawab
apa-apa…mereka hanya saling menatap setelah itu kembali menikmati sarapan pagi…
“Bisa duduk di sini…” kuulangi kalimat
itu lagi….agar tak ada yang keberatan….
“Bang…kalau mau duduk, duduk
saja….kenapa mesti minta isin…kursi itukan kosong tak ada penghuninya…silahkan
saja…” Sambut Kaila dengan wajah memerah…
Kuletakkan piring dan duduk semeja
dengan mereka…suasana hening di meja itu, yang ada hanya suara sendok dan
piring saling berperang, Salma berdiri mengambil segelas air, dan duduk
kembali..masih sepi ternyata.
“Ehm….bagaimana persiapan ujian
sebentar…? Kucoba untuk mencairkan suasana, mungkin dengan cara itu membuat
mereka berkata walau satu huruf saja..
“Yah…sudah dong..kami sudah siap dengan
ujian sebentar….”
Ternyata
dugaanku benar, mereka akhirnya bersuara juga, rupanya pertanyaan ini memiliki
kharismatik tersendiri untuk membuat bibir mereka mengeluarkan huruf-huruf dari
alat artikulasi mereka..
Usai sarapan…seperti kebiasaan Aku dipagi
hari, kuteguk kopi sambil menikmati sebatang kretek dan lamunan tentang materi,
tentang perpisahan, tentang banyak hal yang telah menjadi warna-warni di hotel
Darma Nusantara ini. Warna-warni pelangi yang tak terasa bahwa sebentar pas jam
15.00 kawan-kawan satu persatu akan berkemas dan kembali ke dunia nyata.
Yah…dunia nyata kata Salma.. Aku kembali memusatkan konsentrasi dengan pikiran
ke materi yang telah berbaur selama ini dalam benakku semoga tak seperti air
yang mengalir ke dalam sungai, atau seperti ombak yang telah terhempas di
pantai, harapku seperti air dalam cawan yang memberikan bekas walau setetes
ketika tertumpah.
Tepat pukul 07.20, sebentar lagi masuk
kelas, Aku bergegas naik lift dengan
segala perlengkapan, pemikiran itu kembali menghantuiku, tentang Khaila…si gadis
kecil dengan mata lentik dan senyumnya.
“Khaila…esok kita tak bersama, esok
kita dalam dunia nyata, esok semuanya telah menjadi kenangan, dan kita telah berpisah”
lirihku dalam hati..
Sampai di kelas, Aku duduk di bagian
depan, Khaila duduk di bagian tengah….walau tadi ketika Aku berjalan di samping
dia sempat melirikku dengan senyum..yang seakan menyuntikkan spirit untuk
mengikuti ujian ini, tapi pikiranku telah tergauli dengan energy elegy episode
yang endingnya tak nikmat.
“Baik..para peserta diklat, waktu Anda
menjawab hanya 60 menit dengan butir soal 40, kalian manfaatkan baik-baik,
karena ini adalah evaluasi Anda tahap akhir, apakah Anda layak dikatakan ada
peningkatan atau tidak” sahut Widyasuara
Semua peserta telah menjawab, waktu
terus berlalu hingga soal yang terjawab siswa 10 menit, konsentrasiku buyar
dengan sebuah pertanyaan yang ada dalam benakku, sebuah pertanyaan yang sejak
kemarin-kemarin telah menyayat nuraniku, sebuah bisikan wacana yang terdengar
dalam diriku sendiri, perpisahan..yah perpisahan.. yang begitu berat. Tapi
kucoba untuk kembali pada kontemplasi untuk menjawab sisa butir soal tersebut
tanpa mau digerogoti lagi.
60 menit telah berlalu, satu persatu
peserta mengumpulkan lembar jawaban, dan berlalu ke kamar untuk packing-packing, kuayungkan kaki dengan
berat menuju kamar, aktifitas semua peserta sama, packing-packing, ada dua kabar yang terdengar, kabar pertama adalah
kebahagian karena sebentar lagi berkumpul dengan keluarga, kabar kedua adalah
kabar tentang perpisahan, tapi inilah konsekuensi logis yang mesti diterima,
ada awal pasti ada akhir, ada pertemuan pasti ada perpisahan tak ada yang
abadi.
Kembali ku buka laptop dan mencatat
kegelisahanku….
Seiring waktu yang bergulir, seiring
waktu yang beranjak meninggalkan masa-masa bahagia, sebentar lagi Khaila…sebentar
lagi Khaila kita tak bersua, kuharap kau baik-baik saja, kuharap semua bayangku
dan bayangku segera pulih dari ketidaksadaran kita, sebab esok kita berada di
dunia nyata.
Januari 2010
Di kamar 320
“Bang….barang-barang uda dikemas,
sebentar lagi kita berpisah..kuharap kita dapat berkomunikasi..” sahut Salim
rekan sekamarku
“Iya…dinda….harapku juga seperi itu..”
Suara dering message berkecamuk pada Handphoneku,
“Bang…berat rasanya perpisahan ini, Aku
tak sanggup untuk kembali ke dunia nyata sebab dunia mimpi ini membuatku
bahagia…Aku tak akan melupakanmu Bang… dariku Khaila..”
Sebuah pesan yang membuatku terpaku
duduk dihadapan cermin, sambil mengenang masa-masa yang bahagia itu dan mengajakku
berkelana dengannya, tapi cepat Aku sadar sebab sebentar lagi upacara penutupan
akan dimulai dan peserta akan berlalu dari Wisma ini..
Kaila…..Aku menitip rinduku di wisma
ini, Aku tak berani membawanya pulang dan tak berani membawanya di dunia nyata
sebab kau dan Aku tak akan menjadi kita, kau akan menjadi kau dan Aku menjadi Aku.
Cahaya senja menampar wajahku
menandakan bahwa sebentar lagi rembulan akan nampak, segera Aku tersadar dari
perjalanan zaman-zaman yang asyik dalam dunia mimpi dan Aku tersadar bahwa Aku
telah berada didunia nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar