Membaca berita yang akan dimuat besok ditribun timur tentang garis kemiskinan dilihat dari penghasilan Rp 167.000/bulan membuat saya heran, ternyata selama ini saya tidak sadar bahwa gaji dari guru honorer yang diceritakan oleh teman saya, yang pernah mendapat gaji dari pendidikan gratisnya per jam Rp. 1000 ini membuat saya menarik sebuah benang merah bahwa tenaga guru honorer ternyata masuk dalam kategori miskin, bahkan lebih dan tidak menuntut kemungkinan bahwa ada yang hanya mendapatkan intensif/gaji per bulan yaitu Rp 100.000, di bawah dari standar yang ada.
Sementara disisi lain bahwa UU telah menjamin bahwa semua warga negara berhak mendapat penghidupan yang layak, lantas dimanakah realisasi dari UU ini, kalau tenaga guru honorer mendapat gaji sekian. Beberapa tahun yang lalu sebuah negara yang pernah terkena BOM yaitu Jepang, seorang pemimpin menyatakan bahwa berapakah guru yang masih hidup? maka guru tersebutlah yang membangun negara itu. berbeda dengan bagsa ini, dengan menganalisis bahwa pemberian gaji untuk tenaga guru honorer tidaklah sepadan dengan kewajiban yang mereka pikul. dengan dasar kondisi ekonomi ini pula mereka berbondong memasukkan berkas untuk database, kalau seandainya pemerintah berinisatif untuk memberikan gaji sesuai dengan upah minimun propinsi, tunjangan hari tua, dan permuahan untuk mereka, dan jaminan kesehatan maka bisa saja mereka tak akan memasukkan data untuk berharap lulus pada pendatabasean K1 dan K2. Untuk itu pemerintah berhak mengkaji permasalahan ini agar terwujudnya amanah UU tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar